Fenomena intip kelamin itulah yang menjadi ide dasar film “Prenjak” karya Wregas. Bisa jadi praktek intip kelamin dengan sebatang korek api menyala, hanya terjadi di Indonesia, tepatnya di Yogyakarta. Ketika dunia melihatnya melalui sebuah film, ini adalah sebuah fenomena luar biasa. Para Juri di Festival Film Cannes pun terkesima dibuatnya, terlebih Wregas memang piawai mengemasnya. Hasilnya adalah La Semaine de la Critique Festival de Cannes 2016.
Keberhasilan Wregas dalam “mengharumkan” nama Indonesia tak lepas dari bantuan berbagai pihak di tanah air. Yang pertama adalah BPI, lembaga yang, menurut UU No.33 tentang Perfilman, bertugas untuk menangani festival film di Indonesia di luar negeri. Artinya kalau ada yang ingin mengikuti festival film di luar negeri, harus melalui BPI, walau siapa saja bisa berpartisipasi dalam festival-festival film di luar negeri.
BPI, walau pun tidak memiliki anggaran sendiri, akan turun tangan mencarikan dana bagi film-film yang dinilai memiliki kriteria untuk mengikuti festival di luar negeri.
Untuk mendapatkan dana itu apakah dengan cara seperti Robin Hood atau melakukan lobi-lobi kepada sponsor. Biasanya kementerian yang mengurus perfilman juga yang akan disambangi, dengan cara “Sudilah Kiranya”.
Yang kedua, tentu saja pemerintah, dalam hal ini Pusat Pengembangan (Pusbang) Perfilman, yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Pusbang Perfilman memang memiliki anggaran untuk membiayai insan film yang akan mengikuti festival di luar negeri. Siapa saja yang mendapat fasilitas, biasanya menunggu rekomendasi dari BPI.
Terkait dengan film “Prenjak”, tentu perlu dipertanyakan apa dasar yang dipakai oleh Pusbang Perfilman untuk membiayai film, yang menurut banyak orang yang telah menontonnya, isinya “saru” (dalam terminology Jawa). Sesuatu yang kurang patut, tidak pantas untuk ditampilkan, memalukan dlsb.
Mengapa perlu dipertanyakan? Karena Pusbang Perfilman berada di bawah Kemdikbud, kementerian yang membawa nama mulia: Pendidikan dan Kebudayaan. Tentu segala kebijakan dan tindakannya tidak boleh lepas dari dua unsur penting dan mulia itu. Katakanlah kalau ingin memfasilitasi film, apakah film yang difasilitasi sudah memiliki unsur pendidikan dan kebudayaan, setidak-tidaknya salah satu dari kedua unsur itu. Kalau melihat “Prenjak”, film yang keikutsertaannya difasilitasi oleh Pusbang Perfilman, rasanya jauh dari nilai-nilai yang harus diusung oleh Kemdikbud.
Ketika memutuskan untuk memfasilitasi “Prenjak” berangkat ke Cannes, apakah Pusbang sudah melakukan pertimbangan matang, karena factor “saru” itu? Jangan-jangan pejabat yang menandatangani persetujuan untuk memfasilitasi “Prenjak” malah belum nonton filmnya, walau menurut wartawan yang menyaksikan pemutaran “Prenjak” di XXI Plaza Indonesia, Kamis (27/5/2016), artis Olga Lydia mengatakan pejabat-pejabat dari Pusbang Perfilman sudah menonton film itu, ketika di Cannes. Jadi baru menonton di Cannes, ketika film itu sudah siap atau bahkan sudah didaftarkan untuk mengikuti festival. Ini semacam faitaccomply atau jebakan?
Sayang dalam pemutaran di XXI Plaza Indonesia itu tidak ada pejabat dari Pusbang Perfilman. Entah tidak datang untuk menghindari pertanyaan wartawan atau bentuk penyesalan atas keputusan memfasilitasi “Prenjak”.
Bila diamati tidak adanya karpet merah bagi Prenjak dari pihak pemerintah atas kemenangan Prenjak di Cannes, itu juga menjadi petanda lain. Sebab biasanya pemerintah, apalagi jika merasa berjasa, pasti akan tampil paling depan untuk memberi sambutan, walau sebelumnya ketika mendapat kabar "Prenjak" menang, Mendikbud Anies Baswedan mengatakan sebagai hal yang membanggakan.
Wregas Bhanuteja sendiri tidak salah. Dia adalah seorang pembuat film yang bagus, mampu menangkap realitas dan menuangkannya ke dalam film. Justru sineas semacam inilah yang punya harapan untuk menampilkan wajah Indonesia dalam film, ke depan. Wregas tidak ingin terjebak ke dalam paham, “film harus memberi mimpi mimpi kepada penontonnya”, sehingga membuat film untuk membuai penonton dengan impian-impian.