Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika Kecantikan “Aisyah” Tertutupi Romansa “Rangga dan Cinta”

22 Mei 2016   17:55 Diperbarui: 22 Mei 2016   18:02 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: liputan6.com

Pesan lain yang cukup kuat ditujukan kepada generasi muda, mereka yang punya keinginan untuk menjadi pendidik. Selama ini sulit dibedakan antara kaum muda pencari kerja dan pendidik, ketika mereka ramai-ramai berkumpul di kota besar untuk mengisi lowongan tenaga guru. Aisyah memberi pesan, jika tujuannya untuk menjadi seorang pendidik, tenaga mereka lebih dibutuhkan di desa-desa, bahkan di tempat terpencil yang miskin fasilitas. Di tempat terpencil, anak-anak membutuhkan pendidikan, tetapi jangan harap mereka bisa membayar biaya pendidikan atau memberi hadiah-hadiah kepada guru seperti kebiasaan di kota.

Yang ketiga tak kalah menariknya adalah pesan kepada anak-anak di kota yang terbiasa hidup serba mudah. Apa yang dibutuhkan tersedia, walau pun orangtuanya harus membanting tulang sejak matahari terbit hingga larut malam, atau mengotak-atik peraturan demi uang tambahan. Dalam film ini digambarkan betapa anak-anak di Desa Derok hidup dengan berbagai kesulitan. Sekolah mereka jauh dari tempat tinggal, bangunan berupa gubuk dengan lantai tanah, dan berbagai kekurangan lainnya. Bahkan sehari-hari pun anak-anak itu harus mengambil air untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga mereka. Apa yang digambarkan dalam film ini mungkin akan menjadi alat becermin yang baik bagi anak-anak dalam menghadapi kehidupan. Pesan yang ingin disampaikan, bahwa hidup itu tidak selalu mudah. Banyak hal yang perlu diperjuangkan.

Sayangnya pesan-pesan luhur dalam ABKB bisa jadi luput dari tangkapan orang Indonesia kebanyakan, baik anak-anak maupun orangtua. Terbetik kabar perolehan penonton film itu kurang menggembirakan. Dan bila dalam minggu depan penontonnya tetap kurang, maka dia akan berhadapan dengan hukum pasar: diturunkan dari layar bioskop.

Kenyataannya saat ini, kecantikan Aisyah memang sedang tertutupi oleh romansa  “Rangga dan Cinta” yang sudah selama 14 tahun. Rangga dan Cinta datang dengan bahasa yang universal: cinta, selain janji untuk menghilangkan rasa penasaran penonton yang sejak lama menunggu-nunggu akan seperti apa kelanjutan kisah cinta Rangga dan Cinta. Dibuat oleh nama besar Riri Riza – Mira Lesmana; strategi promosi yang jitu; hubungan produser yang sangat dekat dengan pemilik jaringan bioskop  sehingga pintu bioskop terbuka lebar; maupun media-media besar yang dengan sukarela menjadi kekasih film itu, maka dalam tempo singkat AADC-2 meraih sukses laur biasa. Soal minimnya perhatian media besar kepada Aisyah bisa dipahami, karena media saat ini memandang bisnis lebih penting dari pada idealisme.

Anak-anak muda, mereka yang lagi kasmaran atau bahkan penonton dewasa yang tidak mau ketinggalan, ramai-ramai menyerbu bioskop untuk melihat kembali datangnya Rangga dan Cinta, tak perduli bahwa sang pemeran Cinta, saat ini sudah menjadi seorang ibu, dan perutnya sudah agak melar. Bagi anak muda, tontonan menghibur jauh lebih penting dibandingkan pesan sebuah film. Apalagi jika tontonan itu berbicara tentang cinta, yang menjadi dunia mereka.

Pada saat hampir bersamaan, para orangtua muda yang kini sedang tumbuh menjadi kelas menengah baru, di mana uang bukan masalah buat mereka, ramai-ramai mengajak anak-anak mereka untuk menonton aksi si Burung Pemarah buatan Hollywood, “Angry Bird”. Bagi para orangtua muda itu, lepas dari adegan film yang penuh kekerasan, di mana pasukan burung melakukan balas dendam terhadap kelompok babi yang telah mencuri telur-telur mereka, “Angry Bird” dianggap sebagai tontonan yang cocok bagi anak-anak. Sejak dulu banyak orangtua memang salah kaprah, menganggap film animasi adalah tontonan anak-anak, tanpa pernah mencerna esensi cerita dan adegan film tersebut. Mereka juga tidak perduli dampak film tersebut terhadap psikologi anak-anak mereka.

Lalu di mana posisi Aisyah?

Aisyah (ABKB) mungkin saja menjadi sebuah film korban apriori. Melihat posternya yang menampilkan wajah Aisyah dengan busana muslimnya, serta anak-anak berkulit hitam dengan rambut keriting, serta alam yang gersang, kebanyakan masyarakat penonton mungkin memandang sebelah mata terhadap film itu. Sementara dukungan dari media-media berpengaruh dan bahkan pemerintah, sangat minim. Menteri Anies Baswedan memang sempat datang ke pemutaran terbatas film tersebut sebelum diedarkan. Tapi sang Menteri tidak sempat nonton, dan memberi statement yang normatif kepada wartawan, bukan sebuah pesan penting yang bisa mendorong penonton untuk menyaksikan film tersebut.

Seharusnya bila melihat isi film, bukan hanya Mendikbud yang memberi dukungan,  tetapi juga Menteri-menteri / kementerian-kementerian lain. Boleh Menteri agama karena di situ berbicara tentang toleransi, Menteri Daerah Tertinggal untuk melihat bagian dari Indonesia yang selama ini tertinggal kereta pembangunan. Bahkan Presiden perlu datang menonton. Jadi Presiden jangan hanya mengatakan “Ayo Nonton Film Indonesia” ketika didatangai insan film ke istana untuk merayakan Hari Film Nasional, Presiden perlu menugaskan orang untuk mengintip film-film yang perlu didukung. Bila ada film yang perlu didukung, seperti ABKB,  Presiden perlu datang ke bioskop. Kedatangan presiden, apalagi jika mengeluarkan pernyataan yang cerdas, akan sangat menolong film-film bagus seperti ABKB ini.

Yang terakhir, pihak bioskop sebaiknya mengendurkan batas toleransi, dengan tidak terburu-buru menurunkan film ini. Jika pemilik bioskop selama ini mengatakan hanya pembuat film jelek yang sok berbicara tentang nasionalisme; dan bioskop adalah sebuah entitas bisnis yang harus untung, lalu bagaimana sikapnya dengan film seperti ABKB? Jika bioskop tetap menempatkan diri sebagai kapitalis sejati, dan memberlakukan aturan tanpa hati, mari kita ratapi kepergian Aisyah (ABKB), yang sebentar lagi akan berlalu dalam sunyi. (hermanwijaya61@gmail.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun