Cinta itu milik siapa saja. Cinta tak pernah melihat warna kulit, latar belakang atau kondisi seseorang. Rasa cinta itulah yang mengikat emosi Angel dan Gilang. Meski pun Angel seorang penyandang disabilitas, dan belakangan terserang kanker stadium empat, tak menyurutkan hati Gilang untuk mencintainya. Padahal Gilang adalah seorang penyanyi terkenal, ganteng dan diidolakan oleh banyak gadis.
Bukan hal yang sulit bagi Gilang untuk mendapatkan perhatian dari gadis-gadis. Salah satunya adalah dari Agnes, teman sekelas Angel yang angkuh dan berambisi untuk memiliki Gilang. Namun demikian cinta Gialng kepada Angel tak tergoyahkan. Untungnya meski sudah divonis kanker stadium empat, Angel kembali sembuh.
Cerita yang sederhana dan tidak berbelit-belit: itulah sekilas gambaran film Sebuah Lagu Untuk Tuhan yang diperankan oleh Steven William (Gilang), Agnel, (Eriska Rein), Agnes (Nina Zatulini) dan Ibu Angel (Dewi Yull). Dari kesederhanaan cerita yang ditulis oleh Agnes Davonar itulah, sutradara Allyandara mencoba menggali unsur dramatik untuk mengaduk emosi penonton.
Dari awal sudah diperlihatakan karakter hitam putih dua tokoh yang akan mengisi plot. Yakni Angel yang lembut dan patut mendapatkan empati karena menyandang disabilitas, dan tokoh Agnes yang digambarkan sebagai gadis kaya dan angkuh.
Film ini dibuka dengan adegan Gilang dikejar-kejar oleh sekelompok gadis pelajar yang berusaha untuk meminta tandatangannya atau berfoto bersama. Ketika ia berlari, tanpa disengaja menabrak Angel yang sedang naik sepeda menuju sekolahnya hingga terbalik. Akibat tabrakan itu keduanya terjatuh. Buku milik Angel terlepas, dan CD yang dipegang Gilang terlempar. Tanpa disengaja, kedua benda itu tertukar.
CD dan buku itu kemudian menjadi media untuk mengantar pertemuan mereka, termasuk Agnes yang berusaha mendekati Gilang meski pun harus meminta bantuan kepada Angel. Agnes cukup beruntung, karena kemudian arranger dan produser music yang menangani album Gilang ternyata paman Agnes. Oleh sang paman Agnes diberi kesempatan untuk menyanyi duet yang akan dipertunjukkan dalam acara sekolah.
Meski pun Agnes berusaha untuk menarik perhatian Gilang, cinta Gilang terhadap Angel tak berubah. Bahkan ketika kemudian Angel harus masuk rumah sakit dan divonis menderita kanker stadium empat, sehingga rambutnya harus digunduli.
“SLUT” merupakan film yang bukan saja mengisahkan tentang seorang penyandang disabilitas, tetapi film ini pun diperuntukan bagi penonton disabilitias. Film ini diberi teks, semacam transkrip dialog dari pemerannya, bahkan bunyi-bunyian yang terdapat dalam film seperti musik, atau efek suara yang ada. Maksudnya agar penonton dari kalangan disabilitas dapat lebih utuh mengikuti cerita.
Berbeda dengan film bioskop kebanyakan yang menampilkan tata fotografi yang kadang minim untuk menghasilkan gambar-gambar puitik, gambar-gambar dalam “SLUT” dikonsep seperti gambar-gambar untuk iklan yang full tata cahaya. Konsep tata cahaya seperti ini justru mengurangi aspek dramatik yang ingin dibangun.
Aspek dramatik dalam SLUT sebenarnya bisa dibangun lebih kuat untuk memepermainan emosi penonton. Sayang penyelesaian setiap konflik masih terburu-buru. Untung para pemain, terutama Eriska Rein, mampu memainkan karakter yang diperankannya, meski masih terasa kurang total karena untuk mendapatkan tokoh berkepala plontos, harus melalui proses komputerisasi (CGI), sehingga tampilkan plontosnya terlalu licin. Akan jauh lebih menarik jika sang aktris berani tampil gundul, seperti Demi Moore dalam “GI Jane”, atau Halle Bary dalam Napilly Ever After atau di Indonesia ada artis Dian Ariesta dalam film “Puteri Giok”, Sukma Ayu (alm.) dalam “Kecil Kecil Jadi Penganten” (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H