Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Daftar Ulang, Modus Sekolah Cari Uang

30 Juli 2015   10:34 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:19 1721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini ada dua masalah dari dunia pendidikan yang menarik perhatian masyarakat. Yang pertama adalah tentang kegiatan MOS (Masa Orientasi Sekolah) yang minta dihentikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayan Anies Baswedan, dan yang kedua dalam skala lokal, ada kasus Bella, cucu tukang sapu yang tidak bisa melanjutkan sekolahnya di sebuah SMP Negeri di Jakarta Utara.

Keduanya sama-sama menarik. Kasus MOS mengemuka konon lantaran protes seorang penulis terkenal yang anaknya tidak mau mengikuti MOS di sebuah SMU di Depok, karena tak ingin dilecehkan. Melihat kontroversi yang timbul, Menteri Anies dengan sigap meminta agar MOS dihentikan. Walau pun untuk itu harus menimbulkan dampak psikologis yang juga tidak kecil bagi anak-anak yang sudah mempersiapkan dan menyiapkan diri untuk ikut MOS.

Andai larangan itu sudah dikeluarkan jauh-jauh hari, dan sang menteri tidak bersikap reaktif, tentu semua akan baik-baik saja. Sudahkah Pak Menteri memikirkan dampak psikologis yang ditimbulkan bagi anak-anak panitia dan peserta MOS di sekolah dengan sikap penguasanya itu? Tetapi begitulah, kita terbiasa menjadi pemadam kebakaran, ketimbang berjaga-jaga agar kebakaran itu tidak terjadi.

Yang kedua – ini yang berulang-ulang terjadi setiap tahun – adalah mengenai kewajiban daftar ulang bagi siswa yang naik kelas. Daftar ulang disertai persyaratan, termasuk tentunya menyediakan sejumlah uang untuk sekolah. Daftar ulang berarti uang.

Penulis tidak tahu persis kapan tepatnya ketentuan daftar ulang itu diberlakukan di sekolah-sekolah. Nyatanya itu kemudian menjadi “wabah” dan menjadi sebuah aturan yang wajar dan harus diikuti oleh semua murid yang ingin melanjutkan di sekolah yang sama.

Penulis memang angkatan “jadul”, yang tidak pernah mengalami kewajiban daftar ulang ketika sekolah dulu, sejak SD sampai SMA. Kalau sudah naik ya naik saja ke kelas yang lebih tinggi. Di hari pertama guru langsung mengabsen, jika murid tidak hadir, guru akan menanyakan alasannya. Bila murid yang bersangkutan tidak datang selama beberapa hari, akan ada utusan dari sekolah ke rumah orangtua/wali murid untuk menanyakan apa penyebab sang murid tidak datang ke sekolah.

Kalau memang tidak berniat melanjutkan sekolah, atau pindah ke sekolah lain, guru atau sekolah meminta orangtua / wali murid untuk membuat pernyataan mengundurkan diri atau mengurus kepindahannya. Tinggal menyelesaikan masalah administrasi di sekolah. Dulu pihak sekolah atau guru lebih proaktif.

Sejak ketentuan daftar ulang berlaku, keadaan berbalik. Murid atau orangtua/walinya yang harus aktif mengurus daftar ulang termasuk tetek-bengeknya. Jika tidak aktif, maka terjadilah kasus seperti yang dialami oleh Bella, si cucu tukang sapu.

Bahkan pihak sekolah, kalau apa yang ditulis di media atau media sosial benar, malah mengajurkan kepada keluarga Bella untuk mencari sekolah swasta, dan pihak sekolah yang akan menanggung biayanya. Tetapi keterangan keluarga Bella berbeda.

Bagi penulis yang tumbuh di masa lalu, ketentuan Daftar Ulang itu sangat membingungkan. Bagaimana mungkin siswa yang sudah bertahun-tahun berada di sekolah yang sama, ketika naik kelas harus mendaftar ulang. Apakah semua sekolah terkena syndrome aneh, yang membuat mereka ketakutan murid-muridnya akan hilang – entah pindah, mengundurkan diri – atau benar-benar lenyap dari bumi.

Kalau memang tujuannya untuk mendata kembali murid yang baik kelas, mengapa murid harus membayar biaya daftar ulang. Apakah proses daftar ulang itu demikian rumit sehingga membutuhkan anggaran yang besar untuk melaksanakannya?

Memang tidak semua sekolah menarik biaya daftar ulang. Tetapi kepada sekolah yang menarik biaya untuk daftar ulang, patut ditenggarai cara itu merupakan modus sekolah untuk mencari uang. Kita tahu, sekolah di Indonesia ini selalu terkait dengan masalah uang dan uang.

Buat Menteri Anies Baswedan, membuat aturan tentang MOS memang perlu, tanpa harus menghapuskannya, karena itu juga menjadi pengalaman tak terlupakan bagi anak-anak ketika sekolah. Tetapi yang paling mendasar adalah membenahi dunia pendidikan Indonesia, agar tidak melulu membebankan keuangan orangtua / wali murid. Percuma pemerintah mengucurkan BOS, tetapi pengawasan terhadap sekolah sangat lembek. Setiap tahun, banyak sekolah yang terlalu kreatif menciptakan uang. Salah satunya dengan ketentuan daftar ulang itu. (*)

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun