[caption id="attachment_361045" align="aligncenter" width="300" caption="Ketua Sinematek Indonesia Adisurya Abdy menemani Corporate Secretary Grup 21 Catherine Keng di tempat penyimpanan film SI di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta. (Foto: Ist) "][/caption]
Kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap pemeliharaan arsip di Indonesia sangat lemah. Seringkali tempat penyimpanan arsip hanya dianggap sebagai gudang kotor yang tidak perlu diperhatikan. Padahal arsip merupakan tempat menyimpan literatur maupun benda-benda yang penting karena terkait dengan sejarah.
Sinematek Indonesia (SI) adalah pusat penyimpanan arsip (kepustakaan) dan benda-benda bersejarah yang terkait dengan dunia perfilman Indonesia. Keberadaan sinematek sangat penting, karena di tempat itulah bisa ditelusuri sejarah perkembangan perfilman di Indonesia, termasuk film-film lama berbahan seluloid yang kini tidak dibuat lagi. Di sinematek pula banyak mahasiswa atau peminat film mencari referensi untuk kepentingan study mereka.
Untuk menjaga agar sinematek tetap eksis, bisa menjaga kekayaan yang ada serta menambah koleksi-koleksi yang dibutuhkan, tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tetapi apa yang terjadi? Kondisi SI sangat memprihatinkan. “Anggaran yang kita terima tiap bulan cuma cukup untuk membayar gaji karyawan. Itu pun belum mencukupi kebutuhan mereka untuk hidup di Jakarta,” kata Ketua Sinematek Indonesia, Adisurya Abdy, ketika ditemui di kantornya Senin (22/9/2014).
Selama ini untuk membayar gaji karyawannya, SI memperoleh kucuran dana dari Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (YPPHUI) sebesar Rp. 30,2 juta per bulan. Untuk gaji karyawan habis Rp.26,5 juta, dan sisanya digunakan untuk biaya operasional.
Jumlah itu jelas sangat kurang bagi SI yang harus menjaga dan merawat perpustakaan, merawat dan membeli kebutuhan kantor, serta merawat film-film koleksi SI di gudang. Kondisi SI jelas sangat memprihatinkan. Gordyn yang terbuat dari kain yang dijahit di kantr SI – bukan window blind sebagaimana lazimnya – untuk menutupi kaca-kaca kantor agar sinar matahari tak menerobos langsung, adalah cermin keprihatinan itu.
“Selain dari Yayasan memang tidak ada pemasukan lagi,” kata Adi. “Dulu di masa Orde Baru, Departemen Penerangan rutin membantu Sinematek, dan di masa kepemimpinan Pak Misbach Yusa Biran (alm.) Pemda DKI juga membantu. Tapi itu kan sifatnya karena kedekatan Pak Misbach aja dengan orang DKI.”
Sekarang ini pemerintah tak peduli. Di tengah kengototan Kemenpraekraf dan Kemendikbud untuk “menguasai” perfilman, apa yang dialami SI, sangat ironis. Apalagi kedua kementrian itu kerap menyelenggaran event perfilman yang anggarannya mencapai milyaran rupiah, termasuk membiayai delegasi ke festival-festival film internasional yang tidak signifikan manfaatnya.
Kemendikbud memang pernah membantu membuat digitalisasi film seluloid koleksi SI senilai Rp 3 milyar dari total anggaran Rp 10 – 15 milyar. Tapi Kemendikbud lupa bagaimana mendanai tempat penyimpanan, perawatan dan orang-orang yang bekerja melakukan itu. Mereka inilah yang batinnya terus-menerus menjerit.
Sementara itu kalangan insan film juga tidak peduli dengan kondisi SI. Banyak produser yang memberikan filmnya ke SI hanya sekedar untuk titip simpan, supaya filmnya terawat dengan baik. Mereka tidak pernah tahu bagaimana film-film bisa tetap utuh, meski jaman terus berganti.
Kadang ada produser yang datang lagi ke SI untuk meminjam filmnya yang dititipkan, karena motivasi keuntungan. Banyak yang datang meminjam film mereka untuk didigitalisasi, karena dengan format digital itu bisa dijual ke televisi atau perusahaan rekaman video.