[caption id="attachment_363627" align="aligncenter" width="300" caption="Poster film "][/caption]
Setelah sekian lama berpuasa gelar, dan kehilangan harga diri sebagai negara yang memiliki pencinta sepakbola terbesar di Asia Tenggara, Indonesia akhirnya berhasil menegakkan kepala setelah Timnas U-19 mencatat prestasi demi prestasi, dengan penampilan gemilang di lapangan hijau. Terlebih ketika menjuarai Piala AFF 2013 dengan menundukkan Timnas U-19 Korea Selatan, yang dikenal sebagai negara raksasa sepakbola Asia.
Namun masyarakat atau penggila bola di tanah air umumnya hanya tahu hasil akhir, tanpa mendapatkan informasi yang lengkap tentang latar belakang pembentukan tim yang diasuh oleh pelatih (coach) Indra Sjafri itu, serta perjalanannya yang sempat tertatih-tatih.
Melalui film terbarunya Garuda 19 yang diproduksi oleh Mizan Productions, sutradara Andibachtiar Yusuf ingin memberikan informasi itu kepada masyarakat. Garuda 19 adalah film ketiga Andibachtiar setelah Romeo Juliet dan Hari Ini Pasti Menang. Selain sebagai sutradara, Andibachtiar juga seorang pengamat sepakbola.
Didadaptasi dari novel karya FX Rudy Gunawan dan Guntur Cahyo Utomo, Garuda 19 sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi film dengan dramaturgi yang baik, sehingga mampu menyentuh hati penonton, selain keingintahuan seperti apa latar belakang perjalanan Timnas U-19. Mengapa tim nasional yang awalnya tidak dikenal itu tiba-tiba muncul, dan memberikan rasa bangga kepada bangsa Indonesia, yang telah sekian lama haus akan torehan prestasi. Masyarakat tentu ingin tahu, siapa sih Evan Dimas, Ilham Udin Armayn, Maldini Pali, Paulo Sitanggang, Yabes Rony, dan semua anggota Timnas U-19 lainnya?
Tantangan itu ternyata tidak dijawab dengan baik oleh Andibachtiar Yusuf, yang berpegang pada skenario karya Swastika Nohara. Melalui film ini Andibachtiar sebenarnya telah berusaha untuk menjawab keingintahuan masyarakat, sekaligus memberi tontonan yang bernilai lebih. Tetapi keinginan itu tidak mudah diwujudkan, karena plot-plot yang muncul serta pengadegan yang digarap, terkesan terburu-buru. Andi, mungkin mengikuti skenario, sehingga tidak mampu memberi prioritas mana bagian yang harus diberi porsi lebih untuk mengikat emosi penonton, dan mana yang harus diabaikan. Informasi awal tentang para pemain Timnas U-19 yang akan muncul sepanjang cerita,
terasa membosankan.
Eksploitasi tokoh Yabes Roni yang berkepanjangan juga mubazir, walau di sisi lain memberikan warna segar dalam film ini, karena karakter humoris Yabes dan keluguannya yang bisa dieksplorasi untuk membuat penonton tertawa. Tetapi kehidupan Yabes yang sulit tidak tergambar dengan utuh, karena lebih banyak ditampilkan secara verbal. Secara visual, gambaran kehidupan Yabes sebagai keluarga miskin, tidak terasa. Sedangkan aspek roman yang ingin dibangun melalui kisah cinta Yabes dengan kekasihnya pun, kurang kuat.
Dalam menggarap film ini Andibachtiar nampak kesulitan memvisualisasikan momen-momen dramatis di balik kehidupan para tokoh, maupun Timnas U-19 sebagai sebuah tim. Kita tidak mendapatkan atmosfir yang membangkitkan emosi ketika film ini menggambarkan pertandingan hidup-mati melawan Timnas Korsel di final Piala AFF. Suasana itu hanya terlihat di layar televisi yang ditonton oleh masyarakat di kampung Yabes. Padahal jika penonton dibawa masuk ke dalam atmosfir yang lebih mendekati suasana di stadion, juga dengan pengadegan pertandingan yang lebih dramatis, emosi penonton lebih terbawa.
Apa yang ditampilkan dalam Garuda 19 memang seperti syndrom yang dialami film nasional ketika menggarap adegan yang melibatkan banyak manusia. Film Indonesia selalu kesulitan menggambarkan suasana gemuruh, ekspresi penonton yang tertumpah dan suasana yang benar-benar membuat penonton hanyut. Persoalan dana mungkin menjadi penyebab utama. Namun jika mau berusaha, mungkin bisa diupayakan vootage-vootage suasana pertandingan sesungguhnya untuk dikawinkan ke dalam film ini. atau menggunakan visual effect.
Untunglah di film ini adalah Mathias Mucus, yang mampu menunjukkan keaktorannya. Melalui ekspresi dan intonasi dialog yang kuat, Mucus mampu melebur menjadi sosok Indra Sjafri yang punya sikap, mampu menjaga emosi dan mengayomi. Adegan ketika Indra Sjafri meminjam uang tabungan kepada isterinya untuk menalangi biaya hotel untuk Timnas U-19, sangat menyentuh. Hanya, lagi-lagi sangat disayangkan, konflik-konflik yang ingin dibangun terasa sangat verbal. Tidak ada satu pun tokoh yang menggambarkan pengurus PSSI di film ini, atau keluarga Indra Sjafri yang mampu memperkuat pengadegan.
Lepas dari kelemahan yang ada, lahirnya film ini patut diapresiasi. Masih ada upaya untuk melahirkan film yang baik, mencoba mendekati suasana sesungguhnya, sehingga penonton juga masih mendapatkan sesuatu. Paling tidak, kita masih melihat sisi lain Indonesia yang lebih nyata, dibandingkan visualisasi pada film-film berbiaya rendah yang selama ini diproduksi, atau sinetron-sinetron yang menyesakkan. Dukungan Pertamina Foundation dan komitmen Mizan Production, sangat berarti bagi lahirnya sebuah karya-karya yang berawal dari ide positif. (herman wijaya/hw16661@yahoo.com)