Wacana pemilihan presiden oleh MPR belakangan ini makin menguat, dan bukan tidak mungkin akan terealisasi. Hal itu bisa terjadi karena Koalisi Merah Putih (KMP) yang kini menguasai parlemen kelihatannya semakin membabi-buta, dan merancang apa pun yang bakal menguntungkan mereka secara politis, dan berujung pada kekuasaan.
Pemilihan oleh MPR bukan saja akan membawa kita kembali ke suasana seperti dalam pemerintahan Orde Baru yang totaliter, tetapi pemilihan oleh MPR juga berpotensi melahirkan diktator! Mengapa demikian?
Yang pertama harus dilihat, bahwa wacana pemilihan presiden oleh MPR yang kini digulirkan, bukan ujug-ujug lahir dari pemikiran orang per orang politisi yang bergabung dalam KMP. Wacana itu boleh jadi hasil pemikiran yang matang di KMP, terutama oleh para politisi kawakan yang tergabung di sana. Harus diingat, bahwa di KMP ada Akbar Tanjung, politis Golkar yang menikmati kemewahan Orde Baru, kemudian Amien Rais, penggagas reformasi yang belakangan berubah pikiran. Dari kedua politisi senior itulah, KMP dapat masukan menentukan langkah politik. Pemilihan oleh MPR merupakan langkah yang paling jitu untuk menduduki posisi presiden. Sebab kalau pemilihan presiden masih oleh rakyat, hasilnya tidak bisa diprediksi, dan harganya sangat mahal.
Yang kedua, bila kekuasaan sudah dalam genggaman, langkah selanjutnya adalah bagaimana mengamankan kekuasaan itu. Bila sistem demokrasi masih digunakan, maka kekuasaan yang digenggam belum tentu aman. Apalagi jabatan presiden dibatasi hanya dua periode. Agar pembatasan jabatan presiden itu hilang, maka KMP yang menguasai parlemen bisa saja menggolkan undang-undang baru yang menggantikan UU yang membatasi jabatan presiden.
Kolaborasi antara parlemen dan presiden, akan sangat mudah melakukan apa saja. Parlemen bermain di ranah undang-undang, dan presiden, dengan kekuasaan yang dimilikinya, akan mengatur birokrasi, TNI dan Polri, agar mendukung kebijakan yang melanggengkan kekuasaannya.
Orang boleh saja mengatakan rakyat sudah pintar, sudah melek politik. Tetapi bila kekuasaan sudah berbicara, dan kekuatan bersenjata dalam genggaman, maka yang melek pun akan pura-pura tidak melihat, atau dibutakan. Dalam hal ini, kita tidak boleh melupakan pengalaman di masa Orde Baru, di mana pemerintahan di bawah rezim Soeharto, berhasil sedemikian rupa menguasai angkatan bersenjata dan birokrasi, serta membonsai partai politik. Maka ketika jabatannya habis, rekayasa politik dilakukan, sehingga Soeharto berhasil melanggengkan kekuasannya. Pada jabatannya terakhir pun, MPR masih menjilat Soeharto, dengan mengatakan rakyat tetap menginginkan Pak Harto menjadi presiden. Padahal beberapa bulan kemudian massa bergolak, dan Pak Harto lengser dari jabatannya.
Apa yang terjadi di masa Orde Baru merupakan pengalaman sejarah yang sangat berharga bagi Bangsa Indonesia. Kini, setelah 16 tahun reformasi, para pengikut Orde Baru berusaha bangkit lagi. Mereka berusaha kembali menguasai perpolitikan di Indonesia, dan berusaha sekuat tenaga merengkuh kekuasaan. Tanda-tandanya sudah kelihatan. Oleh karena itu, siap-siaplah bangsa Indonesia menyambut diktator baru. (herman wijaya/hw16661@yahoo.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H