[caption id="attachment_385536" align="aligncenter" width="624" caption="KOMPAS/PRIYOMBODO Petugas memeriksa kondisi lembaran Dollar AS yang akan dijual di tempat penukaran valuta asing. "][/caption]
Sebagai negara yang mengeluarkan/memegang mata uang rupiah, keadaan Indonesia benar-benar tidak menguntungkan. Maju kena mundur kena. Memegang mata uang rupiah itu ibarat memakan buah simalakama. Di makan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Atau sebaliknyalah.
Betapa tidak. Nasib mata rupiah sangat tergantung kepada keadaan di dunia luar. Baik keadaan ekonomi maupun geopolitik. Apa saja yang terjadi di luar, langsung mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dolar Amerika. Bila krisis ekonomi melanda sebagian besar negara di dunia, rupiah ikut merosot. Eh giliran perekonomian di luar baik, seperti keadaan di Amerika saat ini, rupiah juga ikut anjlok. Pekan lalu kurs dolar terhadap rupiah mencapai Rp 12.900, hampir menyentuh angka Rp 13.000.
Beberapa tahun lalu, setiap kenaikan harga dolar yang mengakibatkan anjloknya nilai rupiah, langsung direspons negatif oleh pasar. Masyarakat pun ikut-ikutan panik. Akibatnya harga-harga langsung meningkat dan dolar terus melambung. Jika sudah demikian, kecemasan pun melanda sebagian besar masyarakat, takut krisis ekonomi akan terulang lagi. Beruntung anjloknya nilai tukar rupiah akhir-akhir ini tidak membuat masyarakat panik. Entah karena masyarakat sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, atau pasrah dengan apa pun yang bakal terjadi.
Nasib rupiah juga bukan hanya tergantung kepada luar negeri. Keadaan di dalam negeri pun sering dituding jadi biang keladi anjloknya nilai rupiah. Misalnya situasi politik di dalam negeri, disebut-sebut juga sebagai salah satu penyebab melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
Dalam menghadapi nilai tukar rupiah, para pakar kita juga suka bersikap ambivalen. Mencoba melihat celah positif dari turunnya nilai tukar rupiah, dengan mengatakan penurunan nilai tukar rupiah akan menguntungkan ekspor kita. Makanya ada yang mengatakan agar nilai tukar rupiah terhadap dolar AS jangan terlampau kuat, karena akan melemahkan ekspor. Padahal dibanding manfaatnya, kenaikan harga dolar jauh lebih tinggi mudaratnya. Karena sebagian besar kebutuhan dalam negeri masih diimpor. Sampai garam pun yang bisa dibuat hanya dengan menampung air laut lalu dikeringkan, harus impor juga. Kalau garam saja yang sangat mudah dibuat harus impor, bagaimana pula dengan barang-barang yang dibuat dengan teknologi tinggi.
Naiknya nilai tukar mata uang dolar terhadap rupiah juga akan memberatkan pemerintah dan swasta yang memiliki pinjaman kepada pihak asing. Begitu waktu pembayaran utang jatuh tempo, dan nilai dolar sedang naik, maka nilai yang dibayarkan pun terasa sangat besar. Apalagi utang Indonesia yang mencapai Rp 3.000 triliun, mabok juga bayarnya kalau harga dolar naik. Karena para kreditor asing bukan seperti "Warung Ucok" yang mau menerima pembayaran utang dengan rupiah. Kreditor asing selalu minta dibayar dengan dolar. Itu pun yang kertasnya belum lecek.
Lalu bagaimana agar nilai tukar rupiah tetap stabil? Sampai sekarang para ahli pun tidak ada yang mampu menjawabnya. Paling tidak, tak mampu memberikan resep jitu. Yang bisa dilakukan adalah menyampaikan analisis berdasarkan teori-teori yang dipelajarinya. Tetapi teori itu tidak bisa menjawab persoalan (kalau bisa menjawab kan rupiah tidak anjlok seperti sekarang). Di Indonesia banyak ekonom, tapi keahlian mereka tidak berlaku jika berurusan dengan nilai tukar. Sebutan ekonom itu sangat ampuh jika jadi pembicara dalam seminar, menjadi narasumber acara dialog/debat di televisi atau menjadi pengajar di perguruan tinggi dalam negeri.
Dulu ada saran agar nilai rupiah dibuat tetap terhadap dolar AS. Misalnya 1 dolar sama dengan Rp 1.000,- sampai kiamat pun nilai tukar itu tidak berubah. Tetapi kemudian ada yang mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan oleh sebuah negara yang perekonomiannya lemah seperti Indonesia. Akhirnya wacana itu gagal lagi.
Seingat penulis, sebelum krisis tahun 1998 nilai tukar rupiah terhadap dolar Rp 2.000 per satu dolar. Harga dolar terus naik dalam waktu singkat hingga mencapai Rp 15.000 per dolar. Ketika Habibie menjadi presiden, dolar sempat turun hingga Rp 8.000, dan di era SBY sampai di kisaran Rp 9.000 per dolar AS. Belakangan harga dolar naik terus dan bertahan cukup lama di kisaran Rp 12.000. Bagaimana kelanjutannya waktu yang akan membuktikan.
Sebagai negara yang mengeluarkan uang rupiah, bangsa dan negara Indonesia benar-benar sial. Nasibnya terombang-ambing keadaan di dunia luar. Sehingga kekayaan yang dimiliki bangsa ini seperti tidak berarti apa-apa untuk menolong rupiah. Untung rakyat Indonesia seperti tokoh kartun Mickey Mouse. Walaupun terjatuh, kegencet, terbentur benda keras atau dibanting-banting, tetap saja bisa bangun lagi sambil tertawa -- kecut. (hw16661@yahoo.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H