Tiap kelahiran Kartini pada 21 April, berbagai macam cara dilakukan untuk memperingatinya. Mulai dari lomba masak khusus bapak-bapak hingga peragaan busana (khususnya kebaya). Dari tahun ke tahun yang tidak pernah absen adalah anak-anak kecil hingga ibu-ibu yang mengenakan kebaya ala Kartini. Seolah-olah ingin menyampaikan kesan bahwa hari Kartini identik dengan kebaya. Coba bayangkan jika Kartini mengenakan gaun panjang ala Barat yang sedang trend di masa itu, apakah gaun ala Barat itu lah yang sekarang dikenakan?
Kebaya sendiri di masa Kartini dan sebelumnya juga dikenakan oleh perempuan Belanda yang dipadukan dengan kain batik hasil kreasi perancang-perancang peranakan Tionghoa dan Indo. Dalam salah satu koleksi Nieuwenhuys Met vreemde ogen: Tempo doeloe – een verzonken wereld (1988) terdapat foto seorang nyai dari tuan besar Belanda di abad ke-19 yang mengenakan kebaya sutera hitam dengan disemat tiga bros.
Namun, kain kebaya yang dikenakan pada abad ke-19 berbeda dengan kebaya yang dikenakan di masa VOC, terutama dalam hal jenis bahan dan potongannya. Kain batik yang dipadukan dengan kebaya ini pun coraknya beragam. Sekitar tahun 1830-an yaitu setelah kekalahan keluarga kerajaan dalam Perang Diponegoro (Perang Jawa dalam historiografi Belanda), batik sebagai bahan pakaian ekslusif bagi keluarga kerajaan dan kaum bangsawan diambil oleh Belanda dan dijadikan sebagai bahan pakaian pilihan. Bila sebelumnya para perempuan ningrat yang menjadi perancang pola batik, kini perancang batik diambil alih oleh perempuan Indo. Kain batik itu kemudian dijual kepada perempuan Indo lainnya.
Para perempuan Jawa keturunan bangsawan tetap mengenakan kain batik tulis dengan pola serta warna khusus. Kebaya mereka terbuat dari sutera, beludru dan brokat. Sementara itu para kebaya pagi perempuan Indo terbuat dari kain katun putih yang dihiasi renda buatan Eropa dan kebaya malam terbuat dari sutera hitam.
Kain dan kebaya, campuran adaptasi antara kebudayaan Jawa dan mestizo (baca: Indo) yang muncul kemudian, misalnya yang dikenakan oleh para nyai. Pemakaian kebaya sempat terancam di masa pemerintahan Raffles. Ketika itu gaun terusan Eropa mulai diperkenalkan. Perlahan-lahan kain dan kebaya berpindah ke dunia yang lebih privat dan terbatas hanya dikenakan oleh kaum pribumi sebelum kelak kembali menjadi pakaian ‘wajib’ perempuan yang akan tinggal di Hindia menemani para suami mereka.
Kebaya menurut Jean Gelman Taylor merupakan kostum bagi semua kelas sosial pada abad ke-19, baik bagi perempuan Jawa maupun Indo. Bahkan ketika para perempuan Belanda mulai berdatangan ke Hindia sesudah tahun 1870, kebaya menjadi pakaian wajib mereka yang dikenakan pada pagi hari.
Pada akhir abad ke-19 para perempuan Belanda yang akan berangkat ke Hindia membeli pakaian tropis, sarung dan kebaya (seperti saran dalam buku panduan) di toko-toko yang khusus menjual pakaian tropis, seperti Gerzon’s dan de Bijenkorf. Meskipun sebenarnya untuk sarung dan kebaya disarankan untuk membelinya di Hindia. Hasilnya, seperti kritikan nyonya Catenius-van der Meijden, penulis buku Naar Indië en terug: Gids voor het gezin, speciaal een vraagbaak voor dames (tanpa tahun), panduan bagi perempuan Belanda yang hendak ke Hindia: ‘kebaya yang dibeli dengan harga mahal di Belanda terlihat konyol ketika dikenakan di Hindia’. Nyonya Catenius juga mengingatkan untuk tidak membawa pakaian terlalu banyak karena di Hindia: ‘semuanya, sangat murah, dibandingkan di Belanda.’
Kebaya dikenal pula sebagai kostum yang mewah dan anggun. Kebaya seakan-akan menyimbolkan ‘waktu yang hilang’ serta diasosiasikan dengan ketentraman, ketenangan dan keteraturan sosial yang menghubungkan orang Indo, Belanda, dan Jawa.
Sehubungan dengan identitas Indonesia adalah hubungan kekuasaan politik dengan kaum pria. Kostum nasional yang menurut Jean G. Taylor dikembangkan oleh Soekarno dan Soeharto terdiri atas setelan Barat (jas) bagi para pria dan kain kebaya bagi para perempuan. Kain dililitkan dengan kencang seakan mencegah gerakan yang cepat dan nyaman. Sementara kaum pria dapat bergerak dengan cepat dibalut setelan-setelan Barat.
Di masa Soekarno, kain dan kebaya kembali muncul di kalangan elit di wilayah publik dan mendapatkan status sebagai pakaian nasional. Menurut Saskia Wieringa dalam disertasinya “The Politization of gender relations in Indonesia:The Indonesian women’s movement and Gerwani until the New Order state”, sikap Soekarno terhadap perempuan tersebut lebih cenderung didorong oleh kekaguman dan hasrat dibandingkan keinginan tulus untuk memasyarakatkan persamaan hak.
Soekarno memang dikenal sebagai ‘pengagum’ perempuan berkebaya. Ia memiliki koleksi kebaya yang lumayan banyak. Kesan mengenai kebaya ini dituturkan oleh salah seorang menteri perempuan di masanya. Ketika itu sang menteri diminta menghadap Soekarno. Rupanya Soekarno ‘memarahi’ sang menteri karena ada suatu hal yang membuatnya tidak berkenan. Usai ‘memarahi’ sang menteri, Soekarno memanggil ajudannya. Tak berapa lama kemudian Soekarno datang membawa setumpuk kebaya dan memberikan pada sang menteri yang masih bingung.
Sementara itu dalam kesempatan yang lain, K’tut Tantri, seorang penulis perempuan Amerika yang sukses membuat naskah pidato bahasa Inggris untuk Presiden Soekarno diundang ke istana. Ia menghadap presiden dengan bersarung kebaya,. Ia terkejut karena melihat Presiden Soekarno berbusana santai. Sarung dengan jas pendek dan kopiah. Padahal gambaran sebelumnya yang ada di kepala Tantri adalah sosok gagah Soekarno yang bersetelan putih-putih atau seragam khaki. Alasan Bung Karno yang sebelumnya sudah berseragam lalu mengganti pakaiannya adalah: “Anda sudah repot-repot berdandan dengan busana nasional. Jadi kurasa sepatutnya Anda kuterima dengan pakaian nasional pula.” Dan seperti yang sudah kita duga, Bung Karno pun memuji kepantasan K’tut Tanri berkebaya
Kain sebagai pelengkap kebaya yang dililitkan kencang di tubuh perempuan memang seolah mencegah gerakan cepat dan nyaman, tetapi para perempuan modern Indonesia tidak kehabisan akal. Suatu jenis kain kebaya yang sering dikenakan pada acara-acara resmi adalah kain yang dijahit seperti sarung sempit lalu dilengkapi risleting. Sehingga mudah dikenakan dan dilepaskan.
Di atas-atas panggung publik tubuh perempuan yang mengenakan pakaian kebaya menunjukkan ciri khas bangsa ini sebagai non-Barat. Tubuh-tubuh para perempuan mewakili esensi bangsa, tradisi yang hidup dan terpelihara pada akhir abad ke-20. Tubuh perempuan sebagai pemakai kebaya yang dianggap ‘kostum nasional’ memberikan kesan seolah-olah perempuan adalah penjaga esensi nasional yang luput dari jamahan penjajahan. Ditambah lagi di masa sekarang tubuh perempuan tampaknya menjadi obyek semata yang perlu diundang-undangkan. Jauh dari keinginan dan cita-cita Kartini.
artikel ini pernah dimuat di www.kabarindonesia.com 21 April 2007
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H