2
Nama Amsterdam muncul pertama kali dalam catatan sejarah tahun 1275. Ketika itu Floris V yang ketika itu menjadi Graaf memberikan hak pelayaran bebas di perairan Holland pada orang-orang yang tinggal di dam tepi Amstel. Amstelland, ketika itu masuk dalam keuskupan Utrecht.
10 Juli 2007
Amsterdam
Aroma Amsterdam mulai terhirup. Entah mengapa begitu kereta memasuki Centraal Station Amsterdam, aroma khas menyeruak. Para penumpang bergegas keluar dari perut kereta. Orang dengan beragam warna kulit melangkah terburu-buru. Aroma khas meruap semakin terasa. Aroma yang memusingkan kepala. Serombongan pengamen bernyanyi di depan stasiun. Entah lagu apa tapi sepertinya berbahasa Inggris.
Willy bergegas keluar dari stasiun. Berhenti di kerumunan orang yang menyeberang.Berjalan sebentar. Berpapasan dengan beragam orang. Hitam, putih, coklat, merah, kuning, hitam, putih. Lalu ia masuk ke Hotel Victoria. Seorang pria membukakan pintu.
“Selamat datang!” sambut pria itu ramah.
“Terima kasih!”
Sambil mengatur nafas ia mendekati meja resepsionis. Seorang pria tanggung berwajah kekanak-kanakan mengenakan jas berwarna biru gelap dan dasi merah cerah menyambutnya.
“Selamat siang, Pak!”
“Selamat siang! Bolehkah saya bertanya?”
Pria itu tersenyum.
“Natuurlijk!Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya diminta menemui Herr Bundchën, kamar 422!”
Telepon berdering.
“Moment, alstublieft. Hotel Victoria !”
“Baiklah
Pria itu berbicara dalam bahasa Inggris. Mungkin turis yang hendak memesan kamar. Pria itu meletakkan gagang telepon.
“Kamar berapa?”
“422. Atas nama Gerardo Bundchën.”
Pria itu menengok gantungan kunci di belakangnya.
“Sepertinya mereka sedang keluar, pak!”
“Begitu. Tapi mereka masih tinggal di sini, kan?”
“Benar karena mereka belum membayar rekeningnya.” Pria itu mengedipkan mata.
“Mungkin Anda ingin meninggalkan pesan?”
“Hm...ada nomor yang bisa saya hubungi?” Willy balas bertanya.
Pria itu melihat ke arah monitor dan mengetikkan sesuatu.
“Sepertinya tidak ada dan sepertinya mereka sedang menikmati Amsterdam. Berbelanja, duduk di kafe atau mengunjungi museum.”
Willy mengangguk.
“Terima kasih”
“Tot uw dienst, meneer !”
Bagaimana ini. Ada ratusan kafe, museum dan ada banyak jutaan turis di Amsterdam. Bagaimana menjejakinya.
Willy berjalan gontai. Kontras dengan saat kedatangannya yang begitu bersemangat.
Di Lobby ia menghempaskan bokongnya di kursi. Membelakangi resepsionis. Wajahnya menegang. Bagaimana rupa Gerardo Bundchen dan pasangannya itu. Bodohnya ia. Mengapa ia tak menanyakan pada penjual barang antik di Delft tadi. Berbagai gambaran profil wajah berdesakan memenuhi pikirannya. Apakah ia berambut pirang, gelap atau tanpa rambut?
Tiba-tiba perutnya mengisyaratkan untuk diisi. Ia melirik arloji. Hampir pukul dua. Apakah ia sebaiknya meninggalkan pesan supaya dihubungi atau tidak. Pilihan itu di bergumul di hatinya. Akhirnya Willy bangkit. Ia memutuskan untuk meninggalkan pesan supaya jika mereka kembali ia bisadihubungi.
Rupanya yang bertugas bukan pria tadi. Seorang gadis pirang dengan hiasan wajah tebal menggantikannya. Pakaiannya serupa dengan pria berwajah kekanak-kanakan tadi.
“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” kata gadis itu ramah.
“Ya. Saya ingin meninggalkan pesan untuk tamu hotel ini,”
Gadis itu mengambil pulpen dan siap mencatat.
“Tolong hubungi saya di nomor ini, jika meneer Bundchen, Gerardo Bundchensudah kembali,”
“Maksud Anda, kami yang nanti menghubungi Anda jika meneer Bundchen kembali?”
“Begitu tapi jika perlu meneer Bundchen yang menghubungi saya,”
Gadis itu tersenyum.
“Maaf, Anda siapa?”
“Willy de Kemp”
“Baiklah meneer de Kemp, pesan Anda sudah saya catat. Ada lagi yang bisa saya bantu ?”
“Nee, tidak itu saja. Dank u wel!”Willy menyahut.
“Tot ziens, meneer!”
Willy segera meninggalkan hotel. Ia menyusuri Damrak. Sebenarnya ia ingin mengambil sepedanya yang ia di taruh dekat stasiun. Tapi ia ingin mengisi perutnya. Di FEBO, ia membeli seporsi patat dengan majonaise. Sambil memandang orang-orang yang berlalu-lalang, ia menikmati kentang goreng itu.
Matanya mengawasi seorang yang tampak renta dan berjalan tertatih-tatih, mendekati seorang wanita. Tampaknya wanita itu seorang turis. Kedua tangannya memegang kantung belanjaan. Tas ranselnya dikenakan di depan. Bertahun-tahun tinggal di kota ramai ini, ia sudah mampu mengetahui mana yang pencopet dan mana yangbukan. Ia yakin pria itu adalah pencopet. Sebentar lagi ia beraksi. Pura-pura muntah. Ketika wanita itu menolongnya, tangan pria itu beraksi dengan cepat. Maka berpindahlah, dompet atau barang-barang berharga sang penolong ke tangan pencopet itu.
Willy melempar wadah patat ke tempat sampah di sisinya. Ia kembali masuk ke FEBO dan menuju ke arah dinding. Ia mengamati sejenak lalu memasukkan beberapa keping uang logam dan menekan tombol. Dibukanya jendela kecil di dekat lutut. Sekaleng minuman sudah berada di tangannya. Segera penutupnya dibuka. Ia langsung meneguknya dengan rakus. Rasa segar segera mengalir di kerongkongannya. Kaleng itu segera kosong. Ia kemudian berjalan ke arah stasiun mengambil sepeda.
Ia bernafas lega. Sepedanya masih bertengger di sana. Selama tiga bulan terakhir ia sudah kehilangan dua sepeda. Sepeda merupakan bagian dari kehidupannya. Jika sepeda hilang, rasanya seperti kehilangan pacar atau bahkan merasa sebagian nyawa juga hilang. Mungkin pengandaian ini terlalu berlebihan tapib tidak untuk seseorang yang pernah kehilangan sepeda di Belanda.
Setelah membuka gembok, ia mengayuh sepedanya. Tapi ia tidak melalui Damrak. Ia memutar langsung menuju apartemennya. Lima belas menit kemudian, ia sudah berada di depan pintu apartemen.
“Hey, Billy the Kid!”
Willy menengok. Hanya satu orang yang memanggilnya Billy.
Rob van Fisscher. Pria berbadan besar keturunan Amerika menyapanya. Pria itu lahir di Amerika. Ayah dan ibunya Belanda tulen dan ketika usia belasan mereka pindah ke Amsterdam menjalankan bisnis di Red Light Distric.
Rob dengan kemeja berlengan pendek warna biru muda serta celana coudoray warna krem bertengger di sepedanya.
“Hey Rob, hoe is het?”
Mereka bersalaman.
“Bagaimana bisnis?”
“Slecht, buruk, Billy! Banyak kamar yang ditutup. Lama-lama aku bisa bangkrut! Entahlah, gosipnya tempat bisnisku akan ditutup. Padahal, kebutuhan manusia 'yang satu itu' tak pernah bisa ditutup, bukan? Baiknya aku kembali saja ke Amerika, jadi petani ha...ha...ha...”
Rob tergelak.
Willy hanya terseyum.
“Tapi selama Bush masih menjadi presidennya, aku tak akan kembali ke sana. Lebih baik aku ke Australia, lebih dekat ke Bali. Kau pernah ke sana, heh Billy?”
Willy menggeleng. Liburan musim panas tahun lalu ia dan Kattie, kekasihnya yang keturunan Indonesia sebenarnya ingin liburan ke sana. Rencananya sambil mengumpulkan data selama sebulan di Jakarta, lalu sisa dua bulan akan dihabiskan di Bali. Orang tua Kattie punya sebuah vila di Ubud.
“Bagaimana denganmu. Kapan kau akan promosi?” Rob bertanya.
“Entahlah, Rob. Promotorku ini begitu menyebalkan. Bayangkan saja, aku harus mencari sebuah benda yang aku tak tahu bagaimana wujudnya hingga ke Delft.”
“Begitulah, anak muda. Tak ada kesenangan tanpa kesusahan. Baiklah. Semoga sukses!” Rob melambaikan tangan.
“Doei! Dah!”
Tangan Willy masuk ke kantung celananya mencari kunci. Pintu terbuka dan ia memasukkan sepeda ke dalam. Beberapa surat, kartu pos berserakan. Ia lalu memasukkan ke dalam kotak di sebelah kanan sesuai dengan nama yang dituju. Ada sepuluh nama di situ. Termasuk dirinya. Ada tiga surat untuknya. Penawaran berlangganan surat kabar, surat peringatan dari perpustakaan setempat dan sebuah surat tagihan. Ada perjanjian di antara penghuni apartemen ini, mereka yang menemukan surat atau tagihan berserakan harus memasukkannya ke dalam kotak di dinding.
Ia menaiki anak tangga yang sempit. Dalam gang ia berpapasan dengan Hitoshi, mahasiswa Jepang yang sedang mengikuti program master jurusan politik di UVA, Universiteit Van Amsterdam. Hitoshi separuh membungkuk.
“Selamat siang, Willy san!”
“Selamat siang, Hitoshi!”
Menurut kabar, Hitoshi anak pengusaha di Kobe. Pengusaha suku cadang mobil atau apalah.
Di lantai ini ada empat orang, di lantai atas ada lima orang. Seharusnya di lantai ini ada lima orang tapi bulan lalu, Kevin mahasiswa asal Kanada pulang ke negerinya. Sekarang penghuni lantai ini tinggal Willy, Ruud, Hitoshi dan Stevan. Di lantai atas Razief, Remco, Lucy, Annemiek dan Andreas.
Willy masuk ke kamar. Kamar yang tak terlalu luas tapi cukup nyaman. Satu ranjang, satu sofa berwarna hijau lumut, meja kecil dari besi serta meja tulis dan kursi. Di sebelahnya rak buku. Buku-buku berserakan di lantai. Di atas meja, ponselnya tergeletak di sebelah notebook. Willy melihat ada lima miscall di layar.
Dari siapa?
Willy lalu menelepon balik.
“Hotel Victoria, selamat siang!”
“Selamat siang. Dengan de Kemp. Tadi ada yang menelepon saya.”
“Tunggu sebentar, Pak!”
Terdengar alunan musik.
“Selamat siang, meneer Kemp!”
“Ya,”
“Dengan Rudy Vos, manajer Hotel Victoria”
“Ya,”
“Apakah tadi Anda meninggalkan pesan untuk meneer Bundchen?”
“Betul”
“Apakah Anda sempat bertemu dengannya?”
“Belum. Bahkan belum pernah sama sekali, ”
“Begitu,”
Tak ada suara.
“Meneer de Kemp?”
“Ya,”
“Bisakah Anda datang ke hotel kami?”
“Apakah meneer Bundchen sudah datang? Bolehkah saya bicara dengannya?”
“Hm...sebaiknya Anda datang ke sini, pak,”
Suara pria itu agak memaksa.
“Baiklah, saya segera ke sana.”
Willy bergegas turun. Ia meyeret sepedanya keluar. Lalu ia kayuh sekuat tenaga.
Mengapa ia diminta segera datang? Mengapa bukan Bundchen sendiri yang bicara dengannya? Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiran.
Di belokan, Willy hampir bertabrakan dengan seorang wanita tua.
“Hey! Pas op! Awas! Anak muda!, ”teriak wanita tua itu.
Willy terus mengayuh sepedanya. Ia hampir mencapai Damrak. Ia mencari tempat kosong untuk meletakkan sepedanya.
Di lobby, ia melihat kerumunan orang. Si gadis pirang yang tadi bertugas di resepsionis berada di antara kerumunan. Willy mencoba menebak yang mana Gerardo. Ada empat pria dan dua wanita di sana.
“Selamat siang! Saya Willy de Kemp!”
“Selamat siang! Rudy Vos!”
Seorang pria muda berkumis tipis berjas coklat muda mengajaknya bersalaman.
“Meneer de Kemp,”
Dua pria lainnya mengajaknya bersalaman.
Rudy Vos membimbingnya ke arah tempat duduk dan menyilakannya duduk.
“Mana Meneer Bundchen?” tanya Willy.
“Meneer de Kemp, apakah tadi Anda yang menitipkan pesan untuk bertemu dengan Meneer Bundchen?” salah seorang pria itu bertanya.
“Betul, Maaf Anda Siapa?”
“Saya Hendrik van der Leeuw, Inspecteur Hendrik van der Leeuw dari kepolisian Amsterdam,” ia mengangsurkan tangannya. Pria itu menggenggam tangannya kuat. Wajahnya serius, ada bekas luka di atas mata kirinya. Rambutnya berwarna keperakan dan bibirnya gelap. Tanda pecandu rokok. Ia mengenakan jas berwarna beige. Dua kancing kemejanya dibiarkan terbuka.
“Dan ini Agent Hassan Tariq,” ia memperkenalkan rekannya.
Pria itu bertubuh sedang. Willy menebak ia keturunan Marokko atau Turki. Hassan mengenakan jaket olahraga berwarna biru.
Willy segera teringat duo detektif di film-film Amerika. Pasti salah satunya ada yang bermasalah, temperamental atau apalah, gumamnya dalam hati.
“Maaf, saya ulangi pertanyaan tadi. Apakah Anda yang menitipkan pesan untuk bertemu dengan Meneer Bundchen?”
“Betul.”
“Ada urusan penting?”
“Begitulah, urusan bisnis,” jawab Willy sekenanya.
Sersan Hassan mencatat semua jawaban Willy.
Rudy Vos menyimak percakapan mereka. Wajahnya kian tegang.
“Di mana meneer Bundchen?”
Hendrik van der Leeuw menghela nafas.
“Anda benar-benar belum mengenal meneer Bundchen?”
“Belum”
Willy semakin sesak.
“Anda bekerja?”
“Saya mahasiswa doktoral di UVA,”
“Di bidang apa?”
“Sejarah”
“Boleh lihat kartu identitas Anda?”
Willie menggeragapi kantung celana dan mengambil dompet. Ia ambil kartu mahasiswa dan beberapa kartu identitas dirinya. Lalu ia serahkan pada Hendrik.
Hendrik memperhatikan kartu identitas itu lalu ia menyerahkannya pada Hassan. Hassan mencatat.
Willie semakin penasaran.
“Ada apa ini?”
“Bisa ikut kami?”
Rombongan itu menuju lift. Rudy Vos menekan tombol 4, 2, 2. Mereka bergerak ke atas.
Ketika pintu lift terbuka, dua orang berseragam polisi menyambut mereka.Di dinding terpasang. 401-415 Kiri. 416-430 Kanan. Rombongan itu belok ke kanan.
Perasaan Willy semakin tak enak.
Mereka berjalan di koridor. Kamar demi kamar mereka lewati. Di ujung sana ada seorang polisi. Mereka semakin mendekat. Ada tanda batas polisi di depan sebuah kamar. Kamar 422.
Mereka berpapasan dengan dua pria. Sepertinya anggota polisi.
Hendrik mengangguk pada mereka.
“Petugas koroner sedang dalam perjalanan,” kata salah seorang dari mereka.
Hendrik mengacungkan jempol.
“Kami sudah membuat foto dan memeriksa seluruh kamar! Siapa itu Hendrik?” tanya yang satunya.
“Saksi kunci,” jawab Hendrik ringan.
Mereka tiba di pintu.
“Bagaimana Jan?”
Hendrik menepuk bahu polisi itu di dekat pintu.
“Aman, pak!”
Mereka masuk. Setelah Hendrik mengangkat tanda garis polisi itu.
Di dalam tergeletak sesosok tubuh tertutup kain selimut.
Hassan mendekat dan membuka selimut itu.
Wajahnya membiru. Tubuhnya tak terluka sedikit pun. Tak ada ceceran darah.
Dia kah Gerardo Bundchen?
“Meneer de Kemp,”
Suara Hendrik mengagetkan Willy.
“Ini Meneer Bundchen.”
Willy tak terkejut. Ia sudah menduga.
Tubuh yang terbujur kaku itulah tubuh orang yang ia harus temui. Wajahnya lebih mirip orang Italia atau Spanyol. Rambutnya coklat gelap. Tubuh itu telentang di antara kamar mandi dan tempat tidur. Matanya yang keabu-abuan melotot.
Hendrik membaca paspor pria itu.
“Nama Gerardo Bunchen, tempat dan tanggal lahir Köln, 27 Januari 1974!” katanya keras.
(bersambung)
Bagian pertama: http://fiksi.kompasiana.com/novel/2012/03/20/wilhelmus/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H