Mohon tunggu...
Muhammad Dahlan
Muhammad Dahlan Mohon Tunggu... Petani -

I am just another guy with an average story

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tontu

23 Juni 2017   08:08 Diperbarui: 23 Juni 2017   09:20 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


“Kapan kau akan pulang kampung untuk menjenguk dan bersimpuh memohon ampunan dari kedua orangtuamu? Mereka berdua semakin renta digerus usia dan terlebih oleh pikiran lantaran kehilangan anak tunggalnya berbilang belasan tahun lamanya sudah. Saban lebaran ibumu bertanya tentang keberadaanmu kepada setiap perantau yang pulang berlebaran di kampung.” Suara Haris yang pada awalnya meninggi berujung semakin pelan dan lemah, seperti menahan isak tangis.


Demikian pula Badrun, ada bulir air yang merembes dan nyaris jatuh dari tepi kedua bola matanya yang buru-buru dia seka dengan jari-jari tangannya mendengar ucapan Haris. “Izinkan aku pergi, Ris. Sebentar lagi anak dan istrimu keluar dari bilik kamar mandi. Berjanjilah untuk tidak memberitahu mereka tentang siapa aku,” pohon Badrun.


“Baiklah. Aku akan merahasiakan pertemuan kita ini, tetapi kau harus menukarnya dengan memberikan nomor teleponmu,” tawar Haris dengan jari-jari tangan kirinya yang tetap menggenggam pergelangan tangan Badrun.


“Tetapi kau tidak boleh memberikan nomorku kepada siapapun juga?”


“Baik.”


“Bisa aku mempercayai janjimu sebagaimana teguhnya orang saleh dalam menjaga rahasia dan sumpah? Sebagaimana yang aku tahu engkau anak yang baik dan taat beribadah semenjak dari bangku madrasah dulu?”


“Insyaallah, aku akan tetap seperti kawan sebangkumu dulu di madrasah semenjak dari tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah hingga aliyah,” ikrar Haris sembari melepaskan cengkeraman jari-jari tangannya  pada pergelangan tangan Badrun yang menyisakan warna kemerah-merahan pada pergelangan tangan kawannya itu.


Badrun menyebutkan nomor telepon selulernya yang segera Badrun masukkan ke daftar kontak telepon genggamnya.
“Itu istrimu dan anakmu sudah keluar dari kamar mandi. Aku harus pergi sekarang juga,” Badrun segera beranjak menuju sepeda motornya tanpa meminta persetujuan Haris lagi. Dia tergesa-gesa menghidupkan sepeda motornya dan berlalu pergi tanpa menoleh ke belakang untuk kemudian lenyap dari pandangan Haris ditelan tikungan menuju jalan raya.

Selama di atas sepeda motor dalam perjalanan pulang, Badrun tak bisa menghindari kenyataan bahwa pertemuannya dengan Haris barusan membawa dia menelusuri lorong kenangan yang teramat perih yang membawanya membuang diri.


“Telah bapak dapat kabar bahwa kau masih lagi menjalin hubungan dengan gadis itu meskipun sebelumnya kau telah berjanji untuk memutuskan hubungan kalian. Benar demikian, Badrun?


Badrun tersentak mendengar bapaknya membuka percakapan dengan pertanyaan yang teramat pelik untuk dia jawab. Ibunya yang tadi memanggil dia keluar dari kamar, memberitahu bahwa bapaknya ingin bicara di ruang tengah, turut hadir, duduk di sebelah bapaknya, menatapnya dengan pandangan gusar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun