Mohon tunggu...
Matkodak
Matkodak Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Peminat masalah sosial politik, kesenian dan kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Yang ditangkap KPK itu Wanita Berjibab dan Bendahara MUI

6 Oktober 2013   22:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:54 2274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DARI foto yang diposting oleh rekan di facebook di atas, saya menulis artikel tentang hijabers dan koruptor  berikut ini. Bernarlah. Lima orang yang digerebeg KPK bersama-sama Ketua Mahkamah Kontitusi di Kompleks Menteri Widya Chandra, Jakarta, Rabu (2/10) malam lalu itu, ada Anggota Dewan, Wakil Rakyat, yang ternyata juga menjabat sebagai Bendahara Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dialah Chairun Nisa.

Wajahnya keibuan, anggun, dan sudah tiga kali menjabat wakil rakyat di DPR-RI. Tapi ketangkap sebagai penyogok penegak hukum, pemain kasus skala miliaran rupiah. Dan dia pengurus MUI - Majelis Ulama Indonesia, yang gencar menegakkan moral umat dan bangsa.

Chairun Nisa adalah bendahara MUI di devisi Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM).

Wanita kelahiran 1958 ini menambah daftar panjang wanita berjilbab yang berurusan dengan KPK. Sebelumnya ada Wa Ode Nurhayati dan Nunun Nurbaiti, Neneng Sri Wahyuni – isteri Mohammad Nazaruddin. Juga Julianis, Bendahara grup Permai, anak buahnya. (Juliani bahkan bukan cuma berjilbab. bahkan bercadar-pen). Angelina Sondakh, juga sosialita yang sesekali tampil berjilbab di PN Tipikor.

Chairun Nisa lahir 27 Desember 1958. Dia menyelesaikan pendidikan S-3 di Universitas Negeri Jakarta. Bisa dibilang dedengkot wakil rakyat, dia sudah tiga periode menjabat anggota DPR RI. Sudah menjadi legislator sejak Pemilu 1997.

Perempuan yang berlatar belakang dosen selalu dipercaya mewakili Golkar di Kalimantan Tengah. Posisi tertingginya menjadi Wakil Ketua Komisi VIII DPR.

Tak mau kecipratan abunya, MUI menyatakan siap menon-aktifkan salah satu bendaharanya itu. Katanya, jika sudah definitif terpidana, MUI akan memberhentikannya dari kepengurusan.

"Kami akan nonaktifkan karena sekarang berstatus tersangka," kata Ketua MUI, Ma'ruf Amin. "Kalau terpidana akan kami berhentikan. Masa orang terpidana jadi pengurus MUI?" kata Ma'ruf Amin saat dihubungi VIVAnews, Sabtu (5/10) ini. Bukan ulama namanya kalau tidak bisa berdalih. Ma'ruf Amin pun berkelit, MUI menjadikan politikus Golkar itu sebagai salah satu bendahara karena sebelumnya tak memiliki catatan hukum apa pun. "Kenapa dia dimasukkan? Karena track recordnya bagus sebelum kasus ini muncul," katanya.

Kelitannya agak berbau ngibul. Sebab,sebelum tertangkap tangan, Chairun nisa sudah pernah berhadapan dengan KPK. Dia dua kali dipanggil KPK terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Al-Quran di Kementerian Agama.

Koleganya, anggota Badan Anggaran dari Partai Golkar, Zulkarnaen Djabbar, dan putranya, Dendy Prasetya, Direktur Utama PT Karya Sinergi Alam Indonesia, merupakan tersangkanya.

KPK kini sudah menetapkan Chairun Nisa sebagai tersangka atas dugaan penyuapan terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar terkait dengan sengketa Pilkada di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

KPK menangkapnya bersama dengan Akil dan pengusaha Cornelis Nalau ketika akan menyerahkan uang senilai Rp. 3 miliar di rumah dinas Akil di Kompleks Widya Candra, Jakarta, Rabu 2 Oktober 2013 malam.

Atas perbuatan tersebut, Chairun Nisa dikenakan Pasal 12 huruf c Undang-undang Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP, atau Pasal 6 ayat 2 Jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.

JILBABISASI DAN OMONG KOSONG

Nampaknya ada yang sakit dengan bangsa Indonesia. Jilbabisasi yang gencar sering lebih tampak sebagai omong kosong, karena pemakaian jilbab – sebagai petunjuk ketaatan terhadap perintah Allah - tidak paralel dengan kelakuan pemakainya.

Di televisi beberapa hari lalu, ada ekspose kasus penipuan CPNS oleh sindikat yang menampilkan korban CPNS yang telah mengakui menyogok mafia penipu CPNS itu hingga ratusan juta. Dia terlihat berjilbab. Wanita berjilbab menyogok ratusan juta agar bisa jadi PNS.

13810724331560598430
13810724331560598430

Daftar hijabers yang lancung bisa diperpanjang. Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah juga selalu tampil berjilbab. Tapi pejabat yang wajahnya licin bak boneka ini lebih sering disorot karena kegigihannya membangun dinasti dan menempatkan keluarganya di posisi-posisi strategis, ketimbang mengurus rakyat. Menjalankan amanah pemilihnya.

Kekuasaan yang diraih dan digenggamnya bukan untuk mensejahterakan warganya – karena angka kemiskinan di Banten masih tinggi – melainkan untuk memakmurkan keluarganya sendiri. Adiknya merupakan kolektor mobil supermewah Lexus, Bentley, Ferrari dan Lamborghini.

Rakyat kini belajar pada satu hal : Jilbab itu identitas Islam. Tapi pemakainya belum tentu islami. Bisa jadi cuma asesori.

Ekspose KPK atas penangkapan para koruptor, menegaskan integritas seseorang tidak dikaitkan dengan jilbab dan tidak berjilbab. “Koruptor mah koruptor aja, “ begitu seloroh pak sopir taksi.

HUKUM KARMA MUI

Sejauh yang saya alami, orang-orang di pulau Jawa percaya pada hukum karma – apa pun agama yang dianutnya. Majelis Ulama Indonesia pun nampak sedang menuainya kini.

MUI yang gencar membela pekerja-pekerja berjilbab di berbagai perusahaan/pabrik yang menerapkan seragam, busana kerja tanpa jilbab,dan merekrut wanita berjilbab, kini tengah menuai hukum karma.

MUI sudah mengeluarkan Fatwa Antikorupsi. Tapi MUI kini dipermalukan karena salahsatu pengurus terpentingnya ketangkap KPK karena kasus korupsi.

Adalah Ma'ruf Amin pula, Ketua Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang telah mengeluarkan fatwa mengenai korupsi, tahun 2009 lalu. "Fatwa yang kami keluarkan adalah korupsi itu haram," kata Ketua Fatwa MUI, Ma'ruf Amin, kepada VIVAnews, Selasa 27 Januari 2009 lalu.

Dijelaskan bahwa risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada pejabat dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak. Pemberi disebut sebagai rasyi, penerima disebut murtasyi, dan penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra'isy. Dalam fatwa itu juga dijelaskan mengenai definisi suap, yakni uang pelicin, money politic, dan lain sebagainya. Suap ini dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak. Atas dasar itu, Majelis Ulama memutuskan memberikan risywah dan menerimanya hukumnya adalah haram. Serta melakukan korupsi hukumnya adalah haram.

Fatwa Haram itu berlaku untuk seluruh umat Islam di Indonesia. Ironisnya, fatwa itu tidak digubris, bahkan oleh bendaharanya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun