Media Internasional dan nasional di Jakarta menyoroti kasus perkosaan janda W di Atjeh ini, karena adanya perempuan yang menjadi korban dua kali. Pertama, dia diancam hukuman cambuk karena perzinahan sesuai Qanun Syariat Islam. Dan digerebeg oleh sejumlah pemuda Aceh yang menegakkan hukum Islam dengan cara memperkosa pelakunya beramai-ramai.
Ini abad 21 dan kita hidup di abad 21. Dalam logika sehat di dunia yang beradab di abad 21, dua manusia dewasa bebas melakukan apa yang mereka sepakati, sejauh tidak merugikan pihak lain. Sedangkan perkosaan adalah tindak kejahatan abadi, yang terlarang dan tidak boleh dilakukan sejak dulu maupun sekarang. Dalam keadaan perang maupun damai, kepada wanita bebas, isteri, ibu rumah tangga, janda, wanita tawanan, dan wanita yang telah tertangkap sehabis berzina sekali pun .
Di Aceh, dalam Qanun Syariat Islam, memperkosa hanya dihukum cambuk sembilan kali. Sepertinya ini menjadi semacam “undangan” ke Aceh.
Selain masih dikenal sebagai provinsi terkorup, pemilik ladang ganja dan pengirim ganja terbanyak ke Jawa, Aceh dengan Qanun Syariat Islamnya, juga ringan dalam menghukum pemerkosa.
Perkara pemerkosaan terhadap pelaku yang dituduh melakukan mesum bukan kali ini saja terjadi. Pada 2010, tiga polisi syariat (Wilayatul Hisbah) Kota Langsa memperkosa tahanan wanita berinisial MN, 29 tahun.
Dari tiga tersangka, dua sudah menjalani proses hukum, sementara satu lainnya hingga saat ini masih buron. Alih-alih kaum wanita terlindung dengan berlakunya Qanun Syariat Islam, justru menjadi korban perkosaan berkali-kali. Dan beramai-ramai. Menyedihkan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H