Mohon tunggu...
Matius AsepGugum
Matius AsepGugum Mohon Tunggu... Lainnya - Semoga membantu

Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Resistensi Omnibus Law

16 Desember 2020   22:07 Diperbarui: 16 Desember 2020   22:21 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh

Veronica Cahya Nugraheni, Matius Asep Gugum Gumilar, Iren Enjelika Girsang

Fakultas Bioteknologi, Program Studi Biologi

Universitas Kristen Duta Wacana

Yogyakarta

Omnibus memiliki arti "segalanya" dalam bahasa Latin, dan Law yang berarti hukum. Omnibus Law merupakan undang-undang yang diamandemen, mencakup beberapa topik salah satunya topik lingkungan.

Amandemen yang dibuat ini bertujuan untuk menyederhanakan beberapa regulasi yang dianggap berbelit, menghilangkan ego sektoral dan meminimalisir terjadinya korupsi yang dimungkinkan dilakukan oleh pihak terkait. Namun, terdapat berbagai pihak yang resisten atau tidak setuju dengan lahirnya Omnibus Law diantaranya buruh, masyarakat, akademisi, pakar, hingga investor global.

Hal ini menandakan bahwa Omnibus Law tidak memiliki legitimasi. Resistensi Omnibus Law itu terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara ideologi perjuangan stakeholder yang resisten dengan ideologi negara. Beberapa pihak ini menganggap bahwa Omnibus Law hanya memberikan pengaruh buruk atau negatif pada keberlangsungan investasi dan dapat mengorbankan hak asasi manusia.

Selain itu, Omnibus ini hanya memberikan pelayanan kepada golongan menengah ke atas atau pemilik modal sebagai pengendali pasar ekonomi. Resistensi omnibus law ini terjadi dikarenakan adanya beberapa hal yang menurut beberapa stakeholder merugikan. Adapun persoalan-persoalan tersebut adalah sebagai berikut:

1.   Menjadi ancaman bagi lingkungan

Omnibus Law ini dinilai para stakeholder yang resisten akan melegitimasi investasi yang akibatnya akan merusak lingkungan dan kesejahteraan masyarakat terabaikan. Hal ini dikarenakan pemerintah yang tidak selektif dalam menarik investasi yang masuk dan dapat menyebabkan potensi perluasan eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan di Indonesia.

2.   Kesejahteraan buruh akan menurun

Omnibus Law ini dinilai dapat menimbulkan fleksibilitas tenaga kerja dalam hal bentuk penetapan upah yang di bawah minimum, lamanya waktu bekerja, dan perluasan alih daya (outsourching). Upah buruh yang dihitung per jam akan sangat kecil jika dihitung berdasarkan upah minimum provinsi Jakarta.

3.   Sentralisasi perizinan

Hal ini dinilai sudah menyalahi otonomi daerah yang sudah berjalan sejak dulu. Sentralisasi perizinan ini dapat menyebabkan jauhnya pelayanan publik dan dapat menyulitkan penyampaian aspirasi masyarakat.

4.   Izin investasi yang ringan

Omnibus Law ini dinilai memberikan kemudahan bagi korporasi untuk mengeksploitasi ruang hidup rakyat seperti tanah. Perampasan dan penghancuran ruang hidup rakyat atas nama kepentingan pembangunan dan ekonomi ini berpotensi akan semakin meningkat dan akan menyulitkan masyarakat.

5.   Ancaman PHK

Omnibus Law ini dinilai menghilangkan pesangon bagi buruh yang terkena PHK sehingga menyebabkan pemilik modal semakin mudah untuk melakukan relokasi ke daerah lain yang upahnya lebih murah. Hal ini akan menimbulkan terjadinya PHK massal.

6.   Penyusunan Omnibus Law dianggap tak transparan dan tak partisipatif

Serikat buruh menilai pemerintah tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) khususnya kaum buruh, dalam pembahasannya. Hal ini menimbulkan kecurigaan aturan itu ditumpangi suatu kepentingan tertentu.

Kemudian satuan tugas yang terdapat dalam Omnibus Law yang dibentuk pemerintah dinilai bersifat eksklusif dan elitis, sehingga tidak mengakomodasi kelompok masyarakat yang terdampak. Tercatat bahwa tugas-tugas yang ada di dalam Omnibus Law ini sebagian besar berasal dari kalangan pemerintah dan pengusaha.

Metode Kotter dan Schlesinger dinilai dapat mengatasi resistensi yang ada. Untuk mengatasi resistensi omnibus law ini, dapat dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu:

Pertama, pendidikan dan komunikasi, memungkinkan adanya penyuluhan atau pendidikan bagi pihak atau organisasi terkait yang melakukan reklamasi, seperti melakukan sosialisasi, diskusi kelompok atau melakukan presentasi. Pada tahapan ini dapat digunakan dalam kondisi informasi perubahan kurang akurat dan jelas. Namun kekurangan dari pendekatan melalui pendidikan dan komunikasi ini membutuhkan waktu yang lama.

Kedua, dapat dilakukan dengan cara partisipasi serta keterlibatan. Melalui cara ini, pihak dari pemerintahan akan mendengarkan saran dari orang-orang yang terjun dalam suatu perubahan dan akan menggunakan saran mereka dalam proses perubahan.

Pada tahapan yang kedua ini dapat digunakan ketika inisiator tidak memiliki informasi yang akan dibutuhkan pada saat pembuatan rancangan perubahan serta adanya pihak yang kuat dalam menolak perubahan tersebut.

Akan tetapi dalam metode kedua ini juga memiliki kelemahan yaitu jika partisipan salah atau kurang tepat dalam merancang perubahan maka akan menyebabkan dalam prosesnya memakan waktu yang lama. Harapan dilakukannya partisipasi dan keterlibatan ini supaya para pihak terkait atau pihak yang menentang Omnibus Law ini dapat memikirkan kembali mengenai gagasan penolakan yang mereka lakukan.

Ketiga, fasilitasi dan dukungan, dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan keterampilan baru kepada masyarakat, memberikan waktu istirahat pada karyawan setelah masa sulit, dan mendengarkan atau memberikan dukungan emosional kepada masyarakat atas adanya perubahan yang terjadi.

Jika terjadi situasi penolakan dalam proses perubahan maka cara ini bisa diterapkan. Namun upaya ini memiliki beberapa kelemahan yaitu memakan waktu yang lama, biaya yang mahal, dan masih ada kemungkinan untuk gagal.

Keempat, negosiasi dan kesepakatan, upaya ini dapat mengatasi resistensi dengan cara menawarkan kompensasi kepada masyarakat berupa kenaikan gaji atau perubahan aturan kerja. 

Kesepakatan negosiasi menjadi cara yang relatif mudah untuk menghindari perkawanan besar. Kelemahan dari upaya ini adalah dibutuhkan biaya yang dibutuhkan terlalu mahal jika banyak pihak yang harus dinegosiasikan.

Kelima, manipulasi dan kooptasi, dilakukan untuk mempengaruhi orang lain dengan cara melakukan kooptasi yang melibatkan stakeholder yang dianggap resisten pada perubahan yang terjadi.

Kelemahan dari upaya ini adalah dapat berpotensi menimbulkan masalah baru di masa yang akan datang jika orang tersebut merasa dimanipulasi untuk mendukung perubahan.

Keenam, pemaksaan, proses yang dilakukan ini dinilai lebih beresiko karena mau tidak mau orang orang akan sangat membenci perubahan yang tetap terjadi, terlepas dari hal itu, perubahan akan tetap terjadi dan harus dilakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun