Mohon tunggu...
Ahmad Mathori
Ahmad Mathori Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pemerhati Hak Kekayaan Intelektual

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pengawalan Omong Kosong terhadap Ekspresi Budaya Tradisional

5 November 2022   08:00 Diperbarui: 5 November 2022   08:02 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah melalui Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur tentang bagaimana pengakan hukum terkait hak cipta bagi inventor beserta segala jenis kewajiban dan larangannya, begitu pula dalam Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang kemudian disebut dengan (UUHC) menyebutkan, Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.

Sebelumnya, mari kita pahami terlebih dahulu apa itu Ekspresi Budaya Tradisional, Ekspresi Budaya Tradisional adalah segala bentuk ekspresi karya cipta, baik berupa benda maupun tak benda, atau kombinasi keduanya yang menunjukan keberadaan suatu budaya tradisional yang dipegang secara komunal dan lintas generasi.

Dapat diartikan pula bahwasanya, hakikat dari Ekspresi Budaya Tradisional yang kemudian disebuat dengan EBT dilahirkan secara turun-temurun sebagai warisan dari kelompok masyarakat pengembannya.

Namun penulis mengira ada ketidak bakuan dalam pengawalan EBT melalui UUHC, sebab dalam Pasal 38 ayat (2) UUHC menyebutkan Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Sekilas dari penggalan pasal tersebut kita akan berasumsi bahwa negara sebagai penjamin dan pelindung EBT telah menjalankan tugasnya dengan baik, atau dengan prosedur yang berlaku saja.

Hemat penulis, hal seperti inilah yang kemudian menjadi interpretasi kalangan akademisi maupun pegiat di bidang budaya tentang, 'apa yang dapat negara lakukan dalam menjaga Ekspresi Budaya Tradisional?'

Sebelum lanjut, mari kita ketahui terlebih dahulu konsep sederhana dari UUHC, Hukum Hak Cipta mengakui perlindungan Hak Cipta secara otomatis, ketika telah terwujud dalam bentuk nyata, sedangkan EBT dalam perjalanannya, hanya dimaknai sebagai warisan budaya yang Hak Ciptanya dipegang oleh Pemerintah, serta tidak dijaminnya hak masyarakat adat secara pasti sebagai pengemban EBT atas Hak Moral maupun Hak Ekonomi yang timbul dari adanya Hak Ekslusif dalam Hak Cipta.

Konsep UUHC yang telah penulis paparkan di atas memiliki perbedaan fundamental dengan konsep EBT, sebab pemerintah sebagai otoritas tertinggi dalam pemegang Hak Cipta EBT tidak mengeluarkan peraturan turunan yang menjelaskan bagaimana seharusnya EBT dipertahankan sebagai identitas dan warisan budaya, lebih lanjut jika mengacu pada Pasal 38 ayat (3) yang menyebutkan, "Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya." Seolah menggambarkan tentang situasi dimana pemerintah memperhatikan elemen masyarakat adat sebagai satuan komunal pewaris Ekspresi Budaya Tradisional pada kaitannya Hak Moral maupun Hak Ekonomi, walau kenyataannya dalam beberapa kasus yang terjadi tentang pengakuan sepihak oleh pihak ilegal masih kerap ramai digunjingkan, seperti misalnya yang terjadi pada Batik yang pernah diklaim sepihak oleh negeri jiran Malaysia, kemudian Reog Ponorogo pernah memanaskan suasana hubungan Tanah Air dengan negara yang sama yakni Malaysia, juga Lagu Rasa Sayange yang berasal dari Maluku pernah dikomersilkan oleh Malaysia pada salah satu iklan Pariwisata milik negara tersebut, dan masih banyak lainnya.

Perbedaan mencolok akan konsep fundamental dari UUHC dan EBT telah kita ketahui menimbulkan konflik kepentingan yang belum ditemukan solusinya, hal tersebut juga dapat terjadi akibat konsepsi "Droit de Suit" yang disepakati oleh Perancis sebagai pertumbuhan dari Hak Moral.

Perancis yang menjadi representasi negara maju di belahan eropa, dapat mempengaruhi sebagian negara-negara berkembang, alih-alih bertujuan untuk mengawal Hak Moral, justru pemaknaannya kadang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi di berbagai negara.

Artinya, kejadian tentang klaim sepihak yang dilakukan oleh Malaysia barangkali akan disifati merupakan sebuah kewajaran, apabila pada kancah internasional beberapa negara menerapkan prinsip "Driot de Suit" yang mana memiliki arti "Right to Follow" dengan penjelasan bahwasanya hak yang terus mengikuti pemilik benda.

Walau demikian, belum lama dikabarkan melalui laman resmi Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia, dalam sebuah acara Roving Seminar Kekayaan Intelektual di Medan, Kamis 14 April 2022 Anggoro Dasananto (Direktur Hak Cipta dan Desain Industri) berpesan bahwa, "Reog Ponorogo adalah Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) dari Indonesia. Kendati demikian, tarian ini boleh ditampilkan di mana saja di dunia, asalkan tidak diklaim milik Malaysia, kalau bilang itu dari Jawa, ya boleh." Anggoro menganalogikan dengan tarian Barongsai milik kebudayaan China yang sudah tampil di seluruh dunia.

Kesimpulan dari pemaparan singkat di atas menjelaskan tentang keresahan terhadap kekosongan hukum dalam menyikapi peran masyarakat adat yang terus mempertahankan nilai-nilai yang tumbuh berkembang menemani perjalanan EBT, yang dalam hal ini Pemerintah seharusnya telah menghadirkan aturan turunan dari UUHC terkait dengan pembahasan Ekspresi Budaya Tradisional, atau bila perlu konsentrasi terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dikawal dengan melahirkan peraturan baru yang khusus mengawal Ekspresi Budaya Tradisional.

Kemudian, serangkaian kasus yang menimpa budaya masyarakat adat kita dengan pengakuan sepihak oleh pihak asing perlu diupayakan dengan mendaftarkan segala jenis EBT oleh pemerintah kepada pihak yang berwenang, karena cipta karsa komunal ini berpotensi besar mendatangkan Hak Ekonomi bagi warga bangsa, serta dinilai mampu menaikkan taraf kesejahteraan pengembannya.

Referensi:

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 4 Tahun 2021, hlm. 305-315

https://www.dgip.go.id/artikel/detail-artikel/tak-bisa-diklaim-reog-ponorogo-boleh-ditampilkan-di-malaysia?kategori=liputan-humas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun