Sudah budaya dan sudah wewenangnya kepala sekolah/ madrassah memberi masukan/ kritik konstruktif kepada guru binaannya. Di bawah kepala sekolah/ madrasah, hierarkhis struktural yang memiliki wewenang memberik masukan/ kritik konstruktif pada seorang guru adalah wakil kepala sekolah/ madrasah. Masukan/ kritik konstruktif itupun umumnya dilakukan pada masa supervisi di akhir tahun dalam rangka PKG (Penilaian Kinerja Guru).
Karena kewenangannya tersebut, maka tidak pernah ditemui jika bukan kepala sekolah/ madrasah ataupun wakil kepala sekolah/ madrasah memberi masukan kepada guru di lingkungan sekolah/ madrasah yang bersangkutan, kecuali mungkin itu dilakukan oleh guru senior di sekolah/ madrasah tersebut. Mulai sekarang, budaya dan wewenang itu didobrak oleh kurikulum merdeka.
Kurikulum merdeka mewajibkan setiap guru untuk bersedia menerima masukan/ kritik konstruktif dari rekan sejawat dan bahkan dari murid. Artinya pula bahwa kurikulum merdeka mendorong setiap guru untuk memberi masukan/ kritik konstruktif kepada rekan sejawat. Masukan/ kritik konstruktif tersebut nantinya dijadikan sebagai bahan untuk refleksi diri bagi guru yang bersangkutan. Refleksi diri adalah bentuk asesmen/ penilaian pada kurikulum merdeka. Setelah melakukan refleksi diri, kurikulum merdeka menginginkan terjadinya perbaikan pada perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran selanjutnya.
Permendikbudristek nomor 16 tahun 2022 menyebutkan bahwa penilaian proses pembelajaran merupakan asesmen terhadap perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran dilakukan dengan cara: a) refleksi diri terhadap pelaksanaan perencanaan dan proses pembelajaran; dan b) refleksi diri terhadap hasil asesmen yang dilakukan oleh sesama pendidik, kepala satuan pendidikan, dan/ atau peserta didik.
KENDALA DI LAPANGAN
Tidak mudah memberi masukan/ kritik konstruktif dari rekan sejawat yang posisinya sejajar secara struktural, karena ada budaya "ewuh pakewuh" terutama pada suku Jawa. Sebaliknya, tidak mudah menerima masukan/ kritik konstruktif dari rekan sejawat yang posisinya sejajar secara struktural, apalagi menerima masukan/ kritik konstruktif dari murid, karena ada ego dan harga diri.
Untuk merubah budaya harus dimulai dari merubah kebiasaan. Sudah semestinya jika terjadi kesulitan di awal pembiasaan baru (new normal), karena ada budaya "ewuh pakewuh", ego, dan harga diri.
Tahap pertama merubah budaya, dimulai dari merubah cara pandang (mindset) guru. Perlu diselenggarakan sosialisasi yang massif dengan tetap menjaga rasa terhormat si objek (guru). Salah satu bentuk sosialisasi yang sesuai adalah diskusi interaktif, bukan sekedar seminar yang bersifat memberikan informasi searah. Sehingga guru menerima bahwa memberi dan menerima masukan/ kritik konstruktif adalah kebiasaan yang baik.
Setelah terjadi penerimaan, tahap kedua yaitu merubah keyakinan (believe) yang sifatnya lebih tinggi dari cara pandang (mindset) guru. Pada tahap ini perlu diberi rasionalisasi sebagai dalil kontra yang dapat mendobrak rasa "ewuh pakewuh", ego, dan harga diri. Bukan sekedar simulasi, tetapi guru perlu mempraktekkan langsung. Setelah mengalami sendiri bahwa perilaku memberi dan menerima masukan/ kritik konstruktif itu baik, berarti telah terjadi itu keyakinan (believe) bukan sekedar cara pandang (mindset). Pada tahap selanjutnya, perlu dilakukan pembiasaan (habituasi) perilaku-perilaku tersebut. Pada tahap habituasi diperlukan keteladanan pimpinan dan guru senior dalam membiasakan (habituasi) perilaku menerima dan memberi masukan/ kritik konstruktif.
Kurikulum merdeka menginginkan terjadinya budaya saling belajar, kerjasama, dan saling mendukung pada sesama guru. Melalui masukan/ kritik konstruktif dari murid, kurikulum merdeka menginginkan guru dapat membangun kemandirian dan tanggungjawab dalam proses pembelajaran. Kurikulum merdeka juga menginginkan guru membangun budaya transparansi, objektivitas, saling menghargai, dan mengapresiasi keragaman pendapat dalam menila proses pembelajaran. Kurikulum merdeka menginginkan terjadinya suasana pembelajaran yang partisipatif dan melatih murid untuk berpikir kritis.
Guru, mari budayakan menerima dan memberi masukan/ kritik konstruktif untuk perbaikan proses pembelajaran.
Slawi, Mei 2022
Teguh S
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H