Menyambung apa yang disampaikan oleh Uskup Ignatius Suharyo, Mikael Gorbachev Dom, S.Si.,M.Si, Â Wakil Ketua Pepulih yang saat ini sedang menjalani pendidikan S3 Lingkungan Hidup di UI, selaku Moderator mengemukakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia (Mega Biodiversity). Kepulauan Indonesia terbentuk karena tumbukan lempeng benua dan Samudra, sehingga memiliki banyak ekosistem. Di atas keberagaman itu tumbuh juga keanekaragaman budaya, suku dan bahasa sehingga Indonesia merupakan negara yang multikultur. "Maka toleransi sesungguhnya adalah cara adaptasi kita dalam bernegara di tengah keberagaman tersebut," jelasnya mengantar paparan materi dari empat pembicara yang mewakili tiga generasi X, Y, Z.
Pembicara pertama Prof. Drs. Adrianus Eliasta Sembiring Meliala, M.Si.,M.Sc.,Ph.D , Kriminolog, Guru Besar FISIP UI mengusung topik Kebersamaan Mewujudkan Pembangunan Rumah Ibadah Seluruh Agama di UI. Ia mengatakan, kerinduan sivitas akademika Katolik UI untuk memiliki gereja di dalam kampus adalah karena kebutuhan akan tempat berkumpul dosen dan mahasiswa yang semakin tahun semakin bertumbuh dari segi jumlah. Selain itu, keinginan ini juga tak bertentangan dengan hakikat UI yang merupakan miniatur dari Indonesia.
Prof. Adri panggilannya, menyatakan toleransi juga bukan sesuatu yang akan terjadi dengan sendirinya, namun sesuatu yang perlu diperjuangkan. Salah satunya dengan simbolisasi UI membangun 6 rumah ibadah di dalam kampus. Cita-cita akan menjadi rumah ibadah bersama ini sedang berjalan dengan melibatkan seluruh alumni dari berbagai agama. Memang dalam prosesnya perlu melalui lika-liku di dalam kampus, namun itu lebih bersifat teknis penempatan dan pembiayaan pembangunan. "Hal ini bukan berarti ada isu intoleransi di UI," tambahnya.
Eduardo Erlangga Drestanta Moerdopo, Kandidat Doktor EthnoGeografi, Sorbonne University, Perancis mengulas topik Persaudaraan Pemuda dengan Berbagai Bangsa. Pengalaman hidup tinggal di luar negeri membuatnya menjadi lebih terbuka pada keberagaman global, bagaimana bergaul melewati sekat-sekat agama, sukubangsa dan bahasa. Kehidupan di Perancis yang memisahkan secara tegas antara agama dan kehidupan bernegara, menjadikannya juga belajar untuk dapat memahami bahkan mereka yang mengaku tidak beragama.
Salah satu yang dapat menumbuhkan toleransi global ini adalah kemajuan teknologi komunikasi melalui sosial media. Edo panggilannya, yang gemar membuat vlog ini mengakui, kemampuan dalam menggunakan media komunikasi digital akan sangat membantu dalam mempromosikan keberagaman dari bermacam aspek. "Sebelumnya sebagai yang disebut pendatang atau migran, saya beranggapan untuk dapat diterima oleh warga setempat saya perlu mampu berbicara bahasa lengkap dengan aksennya. Ternyata tidak sepenuhnya benar, bahkan seorang teman asli Perancis mengatakan bahwa mereka sangat menghargai jika kita tetap beraksen dari bahasa asal kita walau sedang berbicara bahasa setempat," paparnya.Â
Hal-hal seperti ini perlu terus disosialisasikan terutama kepada teman-teman sebangsa agar persepsi yang keliru terhadap orang asing dan budaya mereka dapat lebih diperkecil karena hal ini sering menjadi kendala dalam bergaul secara internasional.
Rumah Toleransi
Prof. Veronica Irawati Soebarto, PhD, Dosen di School of Architecture and Built Environment The University of Adelaide, Australia sebagai Pembicara ketiga berbicara tentang Keluarga sebagai Rumah Toleransi. Keluarga yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat namun sangat penting mengajarkan toleransi sejak dini kepada anak-anak.Â