Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) mengenal sosok Lany Guito, seorang pemimpin perempuan yang berada di balik perjuangan umat Khonghucu memperoleh hak-hak sipilnya. Di tahun 1996 ia bersama suami menggugat Catatan Sipil Surabaya berkaitan dengan ditolaknya pernikahan mereka yang telah dilaksanakan secara agama Khonghucu. Keputusan Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan tuntutan mereka pada tahun 2000.Â
Abdurahman Wahid yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI, mengeluarkan Keppres No. 6 tahun 2000 dan mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 yang memulihkan hak-hak sipil umat Khonghucu setelah terenggut selama 32 tahun. Pertama kalinya MATAKIN Pusat Jakarta menggelar Perayaan Hari Imlek Nasional dan Perayaan Cap Go Meh di Surabaya, dihadiri Presiden Abdurahman Wahid. Tahun 2002 Hari Raya Imlek dinyatakan sebagai hari libur nasional.
Selain masalah kepemimpinan, aspek komunikasi masih sering menjadi kendala dalam kelangsungan organisasi. Komunikasi yang dimaksud di sini pertama soal keterampilan seorang pemimpin yang mampu mengarahkan tim kerja dan anggota menuju visi misi organisasi, disamping menyosialisasi kebijakan atau tata kelola organisasi sebagaimana semestinya. Hal lain adalah juga memahami strategi komunikasi termasuk didalamnya mengoptimalkan media digital untuk menyampaikan pesan-pesan strategis organisasi, membina jejaring dan relasi yang kuat dengan para stakeholders.Â
"Keterbukaan, saling percaya dan menghargai antar pengurus maupun anggota merupakan kunci bagi iklim organisasi yang sehat," jelas seorang narasumber yang merupakan mantan Ketua Presidium sebuah organisasi. Ditambahkan, komunikasi yang tidak lancar akan menjadikan organisasi kurang produktif, "karena hanya kisruh pada urusan internal yang tak beres-beres."
Menuju Indonesia emas 2045, perlu menjadi perhatian adalah agar para anggota di tingkat nasional hingga akar rumput dapat terlibat lebih pada pencapaian target kesehatan (terkait pandemi) dan kesetaraan gender guna meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Beberapa organisasi bahkan telah menyusun program mengacu pada 17 aspek Pembangunan Berkelanjutan / SGDs (Sustainable Growth Develoment).Â
Program-program yang dikembangkan oleh organisasi-organisasi Perempuan di Indonesia ini hampir menyentuh seluruh aspek yang menjadi perhatian dan keprihatian terhadap kaum perempuan. Â Sebagai contoh, dapat kita ikuti apa yang dikembangkan oleh organisasi-organisasi berikut.Â
WKRI secara spesifik menyoroti peran perempuan dalam konstelasi tiga isu yakni radikalisme dan terorisme; korupsi dan lingkungan hidup. Lies Pranowo, anggota Dewan Pengurus Pusat menyebutkan, Â dari ketiga isu tersebut perempuan memiliki peran, baik peran positif produktif juga peran-peran destruktif (merusak).Â
Maka program-program yang dikembangkan sepanjang 5 tahun sejak Kongres Nasional terakhir adalah mengacu pada isu-isu tersebut. Aspek-aspeknya diturunkan dalam berbagai bentuk pelatihan dan pendampingan kepada Dewan Pengurus Daerah (DPD), seminar/webinar serta kerjasama dengan berbagai Lembaga.Â
Hal ini diperkuat oleh narasumber lainnya yaitu Lucy Willar, Anggota Presidium 1 yang dengan pengalamannya sebagai perempuan pengusaha secara piawai mengorganisir kegiatan-kegiatan untuk memperoleh dana bagi kelangsungan hidup organisasi. "Kita adalah organisasi mandiri dan perlu secara kreatif mengembangkan kegiatan-kegiatan menggalang dana tanpa mengabaikan kegiatan-kegiatan probono lainnya yang menjadi tujuan dasar organisasi,"jelasnya. Â
Pergerakan organisasi-organisasi perempuan terutama berbasis agama di Indonesia menyadari penuh bahwa pembangunan sebuah negara yang utuh dan menyeluruh menuntut peran perempuan dalam segala bidang kehidupan. Baik sebagai warga negara maupun sebagai insan pembangunan. Keterlibatan perempuan menjadi syarat mutlak dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berkeadilan.
Nasyiatul Aisyiyah untuk Difabel - Ariati Dina Puspitasari dari Nasyiatul Aisyiyah menyadari kondisi perempuan dan anak difabel yang seringkali mengalami berbagai bentuk diskriminasi. Hal ini didukung beberapa data diantaranya 80% remaja difabel belum memahami pubertas dengan baik (Jogjatribunnews.com); baru ada 0,6% Â guru di SLB yang dapat menjelaskan kesehatan reproduksi secara baik kepada anak didiknya (unisayogya.ac.id), sebagian besar perempuan difabel dipaksa saat menentukan alat kontrasepsi (republika.co.id), masih minim pendampingan kesehatan reproduksi kepada perempuan difabel. Difabel masih mengalami diskriminasi (sapdajogja.com). Â Berdasarkan hal ini mereka melakukan program-program pelatihan, pendampingan dan pendidikan agar kaum difabel menyadari hak mereka serta bagaimana mereka dapat mengatasi keterbatasan fisik yang dialami.