Mohon tunggu...
Mathilda AMW Birowo
Mathilda AMW Birowo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Konsultan PR

Empat dasawarsa menggeluti bidang Corporate Communication di Kompas Gramedia, Raja Garuda Mas Group dan Bank CIMB Niaga. Memiliki pengalaman khusus dalam menangani isu manajemen serta strategi komunikasi terkait dengan akuisisi dan merger. Sarjana Komunikasi UI dan Sastra Belanda ini memperoleh Master Komunikasi dari London School of Public Relations serta sertifikasi Managing Information dari Cambridge University. Setelah purnakarya, menjadi Konsultan Komunikasi di KOMINFO. Saat ini mengembangkan Anyes Bestari Komunika (ABK), dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia; Universitas Multimedia Nusantara; Trainer di Gramedia Academy dan KOMINFO Learning Center serta fasilitator untuk persiapan Membangun Rumah Tangga KAJ; Dewan Pengurus Pusat Wanita Katolik RI; Ketua Umum Alumni Katolik UI; Koordinator Sinergi Perempuan Indonesia (Kumpulan Organisasi Perempuan Lintas Iman dan Profesi). Memperoleh penghargaan Indonesian Wonder Woman 2014 dari Universitas Indonesia atas pengembangan Lab Minibanking (FISIP UI) dan Boursegame (MM FEB UI); Australia Awards Indonesia 2018 aspek Interfaith Women Leaders. Ia telah menulis 5 buku tentang komunikasi, kepemimpinan dan pengembangan diri terbitan Gramedia. Tergabung dalam Ikatan Alumni Lemhannas RI (PPRA LXIV/Ikal 64).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Siapa Sesama Kita?

25 Desember 2020   10:33 Diperbarui: 25 Desember 2020   10:35 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cenderakasih dari Gramedia Widiasarana Indonesia untuk peserta

Isu-Isu Seputar Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan yang hingga saat ini masih menjadi persoalan besar adalah terkait dengan persoalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau juga biasa disebut dengan buruh migran yang seringkali dikaitkan dengan isu trafficking. 

Perdagangan orang tidak hanya terjadi pada tenaga kerja yang berada di luar perbatasan Indonesia tetapi juga di dalam wilayah negara Indonesia. Persoalah kemiskinan yang tidak kunjung selesai, membuat masyarakat tidak punya banyak pilihan untuk menyambung hidupnya. Dalam posisi yang serba sulit inilah, sekali lagi perempuan menjadi pihak yang dirugikan.

Indikator perdagangan perempuan di Indonesia menurut laporan Global Aliance Against Traffic on Women (GAATW), terlihat ada tiga aspek yaitu sebagai berikut :

1. Maraknya perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, baik terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri yang bukan atas keinginan atau pilihan bebas perempuan yang bersangkutan, melainkan karena terpaksa atau tekanan situasi berupa kemiskinan dan pengangguran, sehingga timbul keinginan yang kuat untuk memperbaiki nasib;

2. Meningkatnya jumlah perusahaan peyalur tenaga kerja, terutama yang illegal, karena keuntungan yang diperoleh perekrut, penjual, sindikat perusahaan disinyalir sangat besar.

3. Tingginya angka kasus penipuan, diantaranya berupa janji palsu, ikatan utang, perbudakan, pemaksaan, tekanan dan pemerasan.

Masih besarnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan menunjukkan masih belum berpihaknya hukum kepada kaum perempuan. Salah satu tuntutan yang masih diperjuangkan adalah pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Aktifis perempuan mendesak bahwa RUU ini krusial untuk segera disahkan dan dijadikan undang-undang secepatnya karena hukum yang ada di Indonesia belum cukup untuk memproteksi perempuan dari kekerasan.

Ketidakseimbangan dalam pemberitaan serta eksposur perempuan melulu sebagai obyek telah menambah bentuk ketidakadilan lainnya.  Bahkan  ketika mereka menjadi korban kekerasan, berlakulah yang disebut bad news is a good news.  Hal ini diperkuat dengan pernyataan   Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang menempatkan hal  ini sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Perempuan ditempatkan sebagai subyek yang dipersalahkan dan dipermalukan (blaming and shaming). Perempuan dieksploitasi tubuhnya dan bahkan menjadi objek seksual. Fenomena ini juga terjadi di ranah online dengan implikasi yang bisa membuat perempuan dipermalukan.

Di Indonesia, isu kesetaraan gender menjadi isu yang tidak ada habisnya dan masih sangat perlu di perjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Rohika Kurniadi Sari, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan, Keluarga, dan Lingkungan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menjelaskan kesetaraan antara perempuan dan lelaki masih menjadi pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Kesetaraan antara perempuan dan lelaki tersebut perlu dibangun mulai dari keluarga. Isu perkawinan anak menjadi sangat penting dalam hal kesetaraan karena banyak yang menganggap anak perempuan hanya sebagai aset dan tidak mempunyai kontrol atas dirinya sendiri.

Ketimpangan lain adalah pada kaum disabilitas. Meskipun pemerintah Indonesia telah meratifikasi, yang kemudian terwujud dalam UU No 19 Tahun 2011, serta diperkuat dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, penyandang disabilitas di Indonesia masih mengalami perlakuan diskriminatif. Bentuk ketidakadilan bagi kaum disabilitas tercermin pada tidak diberikannya kesempatan yang sama bagi mereka untuk beraktivitas secara bebas. Mereka masih sering kesulitan antara lain untuk mendapatkan akses fasilitas publik, peran politik,  ketenagakerjaan, perlindungan hukum, maupun pendidikan. Selain itu, fasilitas jalan dan alat transportasi umum di Indonesia belumlah bersahabat bagi penyandang disabilitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun