Wisma Atlet (WA) sebelumnya menjadi salah satu icon dari Pemerintah Daerah Jakarta, kebanggaan warga Ibu Kota tempat dimana para atlit dari berbagai negara bermukim di sini. Sebuah kompleks gedung bertingkat di Kemayoran, Jakarta Pusat. Tempat ini digunakan untuk menginap atlet yang mengikuti Pesta Olahraga Asia 2018 dan Pesta Olahraga Difabel Asia 2018 untuk perlombaan di Jakarta dan sekitarnya. Kompleks ini terdiri dari sepuluh menara dengan 7.424 kamar. Total kapasitas akomodasi sebesar 22.272 atlet melebihi standar Komite Olimpiade Internasional, yang mewajibkan tuan rumah Olimpiade untuk menyediakan kamar bagi 14.000 atlet.
Selama pandemi korona virus di Indonesia, empat dari sepuluh menara digunakan sebagai rumah sakit darurat. Kementerian Keuangan menetapkan kawasan Wisma Atlet sebagai tempat isolasi pasien dengan gejala ringan penyakit COVID-19 sejak Maret 2020. Dengan kapasitas hingga 3.000 ranjang, rumah sakit darurat ini menjadi salah satu yang terbesar di dunia guna penanganan pasien terkait pandemi corona virus. (*)
Perjalanan ke WA
Berawal dari kepulangan putera kami dari Bali setelah 1 minggu berlibur selepas wisudanya. Ia kembali dalam kondisi batuk pilek, katanya di Bali sempat kehujanan ketika sedang keliling naik motor. Hari kedua di rumah ia demam, saya membalurnya dengan minyak angin dan mulai menggunakan masker.Â
Kemudian, kami minta dia untuk test swab, hasilnya positif covid 19. Putera kami dirujuk ke WA Kemayoran Tower 7 dengan status Orang dengan gejala (ODG). Setelah itu kami sekeluarga satu rumah melakukan test swab, hasilnya semua negatif kecuali saya. Jadilah saya penghuni Tower 5 Orang Tanpa Gejala (OTG).Â
Mulanya terasa galau, terasing, membayangkan WA tempat dikumpulkannya para penderita Covid 19, bagaimana pula kondisi Rumah Sakit Darurat Covid ini? Sempat terpikir oleh kami untuk mengurus mandiri saja, masuk Rumah Sakit yang kami pilih. Tetapi dengan beberapa pertimbangan diantaranya kepingin juga saya merasakan fasilitas yang ditanggung pemerintah ini. Dalam pengobatan yang kami jalani mulai dari swab hingga perawatan di WA Â tidak dipungut biaya sama sekali.
Tanggal 10 Desember 2020, hari yang ditentukan petugas Puskesmas Bendungan Hilir tempat kami menjalani test swab, saya diminta hadir sebelum pk. 16.00 untuk bersama penderita lainnya diberangkatkan ke WA. Saya berjalan sendiri karena Puskesmas dekat dengan rumah sekitar 8 menit perjalanan.Â
Tas berisi pakaian saya minta suami membawa langsung ke Puskesmas, dengan demikian kami tidak perlu berada dalam satu mobil dengan pertimbangan karena suami sehat. Saya memang tidak merasa ada sesuatu yang tidak enak dalam tubuh saya terkecuali (jarang-jarang) batuk kecil kering.Â
Di Puskesmas saya menunggu hingga pk.18.00 baru kami berangkat. Dua jam menunggu dengan perasaan tak enak karena sekeliling orang bergejala semua, banyak nyamuk pula. Alasan Puskesmas karena masih menunggu seorang pasien lagi yang belum datang... pertanyaan dalam benak saya, jika memang berangkat pk. 18.00 kenapa saya diminta hadir sebelum pk.16.00? Kedua, kok ada orang yang masih ngaret dalam kondisi ditunggu orang yang juga sakit? Maklum, ini pertanyaan-petanyaan orang yang sedang sensi, siapa sih yang suka didatangi sang Covid 19?
Insiden di Ambulans
Akhirnya berangkatlah kami bertiga dengan ambulans disertai seorang perawat pria dari Puskesmas dan seorang supir. Format duduk di belakang seperti angkot berhadapan, saya duduk paling depan.Â
Antara penumpang dan supir di depan ada partisi kaca. Sejak mulai jalan saya merasa ambulans ini dikendarai dengan begitu cepat, saya masih berpikir mungkin memang ini prosedur bakunya bahwa ambulans harus berjalan cepat agar penderita Covid tidak berlama-lama dalam kendaraan.Â
Namun kemudian, saya merasa kecepatan kendaraan sudah berlebihan, selap selip....tangan ini ingin mengetuk kaca pembatas untuk mengingatkan supir agar tidak terlalu kencang...terlambat karena seketika saya melayang ke depan dan dengan keras kepala dan tubuh ini menghantam partisi.Â