Usai membaca artikel Bapak Tjiptadinata Effendi berjudul "Mengapa Kehidupan Rumah Tangga Disebut Bahtera?" (lihat di sini), saya jadi tertarik untuk menelusuri dan mereka-reka dari mana asalnya istilah "bahtera rumah tangga". Ada tiga kata dalam "bahtera rumah tangga". Saya akan mencoba menggali arti "bahtera rumah tangga"dari sudut pandang asal-usul kata atau etimologi.
Bahtera
Menurut website Kamus Besar Bahasa Indonesia milik Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, bahtera (kata benda) berarti kapal atau perahu (lihat sumber). Tentu kita semua sepakat bahwa "bahtera" memang berarti "perahu" atau "kapal". Terlebih lagi, kata "bahtera" biasanya digunakan untuk membayangkan suaatu kapal yang besar yang berlayar (atau mungkin juga didayung) untuk jarak yang jauh dan waktu yang lama. Kata "bahtera" jarang digunakan untuk menyebut perahu dan kapal yang sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari. "Bahtera" lebih terkesan puitis dan cocok untuk memberi kesan yang "angan" daripada "sungguhan".
Kata "bahtera" mungkin bukan merupakan kosa kata asli Austronesia. Bahasa Austronesia adalah bahasa tutur manusia di Asia Tenggara Maritim, Madagaskar, sampai Oseania. "Perahu" adalah istilah penutur Austronesia (termasuk penutur Bahasa Indonesia) untuk sarana angkut yang melintasi perairan. "Bahtera" berasal dari bahasa Jawa Kuna "bahitra" (lihat sumber) yang adalah pinjaman dari bahasa Sansekerta "vahitra" (lihat sumber) yang berarti perahu. Tentu saja peminjaman ini terjadi ketika orang India masuk ke Nusantara. Bahasa Sansekerta erat kaitannya dengan bahasa ritual orang Hindu-Buddha di Indonesia waktu itu.
Kata "kapal" juga sebenarnya bukan bahasa Indonesia melainkan bahasa Tamil "kappal" (lihat sumber). Bahasa Tamil merupakan kelompok bahasa Dravida dari India Selatan. Orang Tamil datang ke Nusantara untuk berdagang dan ternyata kosa kata yang mereka gunakan dalam perdagangan diserap oleh penduduk Indonesia, seperti istilah "kapal". "Kapal" ternyata lebih sering digunakan sebagai pengganti "perahu" dibandingkan "bahtera". "Kapal" dimengerti oleh orang Indonesia sebagai perahu yang lebih besar atau lebih maju teknologinya. Mengapa orang tidak menggunakan kata "bahtera" untuk kehidupan sehari-hari dan lebih memilih kata tersebut untuk gagasan yang mengawang?
Menurut saya, "bahtera" datang sebagai gagasan rohani atau spiritual. Kata "bahtera" masuk melalui bahasa Sansekerta yang lebih digunakan sebagai bahasa ritual dibanding bahasa Tamil yang (menurut saya) lebih banyak digunakan sebagai bahasa perdagangan. "Bahtera" diterima sebagai bentuk sarana perjalanan rohani dan "kapal" diterima sebagai sarana perjalanan jasmani, walau demikian saya tidak menyangkal bahwa kata "perahu" juga cocok untuk mengungkapkan perjalanan rohani. Pasti ada bukti-buktinya di naskah Jawa Kuna atau Bali Kuna tentang isitlah "bahitera" atau "vahitra".
Perjalanan dengan perahu tentu saja bukan hal yang asing bagi orang Austronesia. Pulau Madagaskar diduduki oleh orang-orang Kalimantan pada abad kelima Masehi. Bahasa Austronesia tersebar tidak hanya sampai Madagaskar tetapi sampai Hawaii. Di Indonesia, kita mendengar lagu "Nenek Moyangku Seorang Pelaut" yang menggambarkan kenangan para leluhur kita dalam mengarungi samudra. Ada pula lagu-lagu seperti "Lancang Kuning", "Mutiara Samudra", "Si Patokaan", "O Ulate" dan masih banyak lagi yang menggambarkan kemesraan leluhur orang Indonesia dengan laut. Orang Dayak Kayan percaya bahwa setelah mati, jiwa yang berpulang akan menyusuri sungai menuju hulunya yaitu alam akhir bahkan merancang peti matinya dalam bentuk kapal. Pembaca dapat pula mencari di Google bagaimana orang Nias merancang peti matinya. Ternyata "perahu" juga dekat dengan arti kematian atau berpulang ke keabadian.
Bagi saya, "bahtera" memang kosa kata yang cocok untuk menggambarkan suatu perjalanan hidup baik pribadi, keluarga, atau kelompok. "Bahtera" melampaui perjalanan jasmani di dunia dan dapat menggambarkan perjalanan jiwa manusia itu sendiri. "Bahtera" menggambarkan perjalanan hingga akhir. "Bahtera" mengungkapkan rasa haus dan lapar akan tujuan yang kekal, teristimewa bagi pribadi orang Indonesia (terutama yang tradisional) yang hidupnya begitu bergantung pada sungai dan laut.
Rumah Tangga
Kata "rumah tangga" diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan keluarga (lihat sumber) atau juga dapat berarti keluarga itu sendiri. "Rumah tangga" terdiri dari gabungan kata "rumah" dan "tangga". Kata "rumah" berarti tempat tinggal dan "tangga" yang berarti tumpuan atau pijakan untuk memanjat. Mungkin tidak semua orang menggunakan tangga di rumahnya namun rumah tradisional beberapa suku di Sumatra, Kalimantan, dan Jawa menggunakan tangga. Tangga, dalam konteks rumah tradisional, adalah bagian penting dalam bangunan rumah. Tangga, tentu saja, membuat rumah terbagi menjadi dua bagian yaitu bawah dan atas (sebenernya tengah, karena atap menjadi bagian ketiga yang juga memiliki makna penting). Kita anggap jenis rumah ini adalah "rumah panggung". Rumah panggung memang baik untuk melindungi penghuninya dari  banjir, hewan buas, dan musuh (dalam peperangan). Orang yang tinggal di sekitar sungai atau di pantai tentu terlindungi saat bajir berkat rumah panggungnya. Sayang, sekali orang meninggalkan jenis rumah panggung ini yang terbukti aman dari banjir. Kolong panggung biasanya digunakan sebagai tempat tinggal ternak, misalnya babi atau ayam. Panas dari tubuh hewan dan dari kegiatan bakteri menghangatkan orang-orang yang tinggal di atas saat malam.
Pembagian rumah juga memiliki makna spiritual disamping kegunaannya dalam keseharian. Secara umum, "tangga" dapat berarti jalan ke "dunia atas". Orang Indonesia memiliki ikatan yang erat dengan jiwa leluhurnya. Mereka percaya bahwa arwah leluhurlah yang mengantarkan permohonan dan doa mereka kepada Yang Mahakuasa. Mereka menghormati para leluhur dengan sungguh-sungguh dan mengungkapkan itu dalam kehidupan sehari-hari. Wujudnya bisa ada dalam nyanyian, mantra, sesaji, patung, dan bangunan rumah. Adanya "tangga" di rumah mengingatkan mereka pada leluhurnya yang menjadi perantara manusia dengan Tuhan.