Judul Buku        : My Father(less) Story
Penulis           : Rachmat Reza
Penerbit, Tahun  : Dian Cipta, Desember 2017
Tebal             : 211 halaman
Di Amerika ditemukan fakta bahwa sebagian besar jenis penyakit sosial yang dihadapi oleh anak-anak di Amerika memiliki korelasi dengan sosok Ayah yang hadir dalam kehidupan mereka. Antara lain yang dikemukakan United States Cencus Bureau pada bulan Maret 2011.Â
Biro Statistik Negara 'Uncle Sam' tersebut merilis Children's Living Arrangements and Characteristics yang mengatakan bahwa anak yang berada dalam kondisi ketiadaan ayah (fatherless) dalam sebuah keluarga akan lebih berpotensi hidup dalam kemiskinan dibandingkan anak yang berada dalam kondisi lengkap hidup bersama ayah dan ibunya, yakni sebesar 11 : 3.Â
Sebelumnya, pada tahun 1993, US Department of Health and Human Services melakukan survei kesehatan pada anak dan mendapatkan fakta bahwa anak yang hidup dengan fatherless memiliki potensi lebih besar terlilit permasalahan penyalahgunaan narkoba dan alkohol daripada yang hidup bersama ayah atau figur ayahnya.Â
Fakta lainnya ialah yang dikemukakan Hofferth pada tahun 2006 bahwa dari 1.997 anak balita yang hidup bersama dengan ayah kandung atau figur ayah memiliki lebih sedikit masalah citra diri dan perilakunya dibandingkan yang tidak hidup bersama dengan ayah kandung atau figur ayahnya. Dan masih banyak lagi fakta ironi tentang kondisi anak fatherless.
Kini yang menjadi pertanyaan orang kebanyakan, bagaimana bisa kehadiran dan figur ayah seakan lebih penting daripada kehadiran dan figur ibu. Wajib diketahui bahwa sesungguhnya secara psikologis, pembelajaran terkait nilai, norma, dan prinsip hidup dialami, didapatkan, dan dikembangkan secara positif oleh anak berkat kehadiran ayah atau figur ayah. Ayah menjadi penyetara dari sisi kelembutan yang dipunyai oleh ibu.Â
Apabila penyetaraan tersebut tidak terjadi pada anak laki-laki, maka anak tersebut berpotensi mengalami disorientasi seksualitas. Dan apabila penyetaraan tersebut tidak terjadi pada anak perempuan, maka anak tersebut berpotensi mengalami kecemasan dalam memilih seorang laki-laki dewasa yang kelak menjadi suaminya.
Rachmat Reza, seorang pengagum Tuhan melalui bukunya, My Father(less) Story, menyadari realita yang telah berkembang 3 dasawarsa terakhir ini dan potensi kekacauan yang amat dahsyat yang diakibatkan oleh kondisi anak fatherless. Ayah benar-benar diposisikan sebagai VVIP (Very Very Important People).Â
Oleh sebab itu, dalam bukunya ini, penulis menggambarkan sekilas tentang beberapa nabi yang dipercaya oleh orang Yahudi, Kristiani, dan Islam yang memiliki posisi sebagai Ayah dan berdampak pada kelangsungan hidup nabi itu sendiri, keluarga nabi, juga para pengikutnya atau kerajaannya.
Beberapa nabi tersebut digolongkan dalam 4 kelas ayah, yakni ayah ideal, ayah patung, ayah memori, dan ayah hantu. Terlepas dari persetujuan kita akan istilah penggolongan tersebut, perlu diketahui bahwa keempat kelas ayah tersebut dibuat berdasar kehadiran dan dampak.Â
Kehadiran dan dampak tersebut ditetapkan penulis sebagai indikator dari penggolongan kelas ayah dinilai sudah faktual dan bijaksana, karena semuanya itu penulis sarikan dari pengalaman hidup penulis sendiri yang tidak lain adalah anak fatherless. Inilah kekuatan buku ini yakni ditulis berdasarkan hidup penulis sendiri yang hidup dalam fatherless.Â
Amat berbeda apabila yang menulis keprihatinan akan anak fatherless adalah anak dari keluarga lengkap ayah dan ibunya, apalagi seorang ilmuwan yang kerapkali hanya berorientasi dari kebenaran yang termuat dalam ilmunya.
Singkatnya, penulis buku ini berbicara dan menawarkan alternatif akan anak fatherless dari hati ke hati. Pernyataan barusan bukanlah tanpa suatu alasan kuat.Â
Tengok saja buku yang dibuat ini ada beberapa bab yang menyediakan ruang curhat pembacanya tentang kehadiran ayahnya atau figur ayahnya.Â
Ruang tersebut dapat menjadi media pelepasan syukur, kerinduan, harapan, dan berbagai emosi lainnya dari seorang anak kepada ayahnya. Ingat, siapapun pembacanya mereka tetaplah seorang anak dan pasti memiliki ayah atau figur ayah.
Pada 2 bab terakhirnya, pria yang juga berprofresi sebagai arsitek ini, menegaskan bahwa kita semua harus bekerja sama dan bersama-sama mulai menyadari keberadaan fatherless dan potensi yang akan ditimbulkannya serta pada akhirnya berani menyatakan diri untuk ambil bagian secara aktif dalam memutus rantai fatherless.Â
Sebab kunci bagi seorang pria adalah menjadi ayah. Kunci bagi anak-anak sukses dan bahagia adalah dengan memiliki ayah. Kunci bagi masyarakat yang beradab adalah dengan menciptakan ayah. Bagi masyarakat moderen, hasil utama dari menjadi ayah adalah laki-laki yang melakukan yang benar dan hasil yang lebih baik untuk anak-anak.
Mungkin sudah menjadi rencana yang telah disusun oleh penulis buku ini, yakni pada buku ini belum terlalu membahas strategi pelepasan dan pengampunan dari seorang anak kepada ayah, apapun kelasnya, terutama yang tidak hadir dan membawa dampak buruk bagi kehidupan anak. Dan memang begitulah adanya, yaitu penulis sudah merilis buku lanjutannya yakni Release Forgiveness pada bulan Juli 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H