Fakta di lapangan terkait keberlangsungan kehidupan perkawinan dan berkeluarga menunjukkan bahwa sebagian besar pasangan pengantin baru (new married couple) mengalami kesulitan menyelaraskan berbagai perbedaan di antara mereka (internal) dan keluarga besar. Hal ini disebabkan kurangnya persiapan dalam perkawinan.Â
Tidaklah sedikit pasangan pengantin baru yang belum sepenuhnya sadar bahwa pernikahan mereka merupakan suatu ikatan janji setia lahir dan batin di antara seorang pria dan seorang perempuan sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga serta kehidupan berumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang di dalamnya terdapat suatu tanggungjawab dari kedua belah pihak.Â
Dan yang sering diremehkan adalah proses tawar-menawar identitas dan menegakkan batas-batas keluarga, di mana suami dan istri harus mengenali peranan masing-masing yang dijalankan. Harus ada komitmen dari kedua belah pihak untuk melakukan negoisasi tentang apa yang akan dilakukan dan diputuskan bilamana salah satu pihak dari mereka, entah suami maupun istri, tidak melaksanakan perannya dengan baik.
Fakta lain juga berbicara bahwa banyak calon pengantin tergesa-gesa menikah tanpa bimbingan psikologi, finansial, spiritual, dan sebagainya yang kiranya akan memadai atau menunjang keharmonisan dan keberlangsungan kehidupan keluarga mereka kelak. Perlu dicatat di sini bahwa pernikahan dan perkawinan bukan hanya urusan perorangan melainkan urusan segala pihak di masyarakat (sosial).Â
Maka, dalam hal ini masyarakat terdekat dan terkecil dari pasangan yang akan menikah, yang tidak lain adalah keluarga dari kedua mempelai, memiliki tanggungjawab yang besar dalam memberikan pendidikan pra-nikah dan hal-hal apa saja yang perlu dipersiapkan untuk terciptanya keberlangsungan kehidupan berumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
 Misalnya, bagaimana new married couple itu harus membagi hal-hal pribadi dan intim bersama pasangannya, menyediakan waktu lebih untuk memberi perhatian pada pasangan, berbagi pendapatan, dan berbagai kegiatan sehari-hari lainnya. Semuanya itu akan paling dekat mereka (calon new married couple) pelajari dari kehidupan berumah tangga keluarga induknya masing-masing. Tentu dalam hal ini pihak lain, misalnya Gereja Katolik, dapat mengintervensi pendidikan perkawinan dan hidup berkeluarga dari sudut pandang teologi, psikologi, moral, seksualitas, kesehatan, ekonomi, gender, dan lain-lain. Gereja Katolik secara khusus memberikan ruang belajar pra-nikah bagi kedua insan yang hendak membangun dan membina kehidupan berumah tangga. Hidup berkeluarga adalah persoalan penting dan mendasar dan karena itu masyarakat, khususnya kedua calon mempelai, memerlukan bantuan berupa kursus persiapan itu.
Kursus Persiapan Perkawinan (KPP), misalnya, yang dilakukan oleh Gereja memberikan bantuan kepada bangsa dan negara Indonesia dalam mewujudkan harapan tercapainya keluarga yang baik, bagi Gereja dan masyarakat, dalam menghadapi arus globalisasi yang amat deras ini. Dalam hal ini, ketercapaian lahirnya keluarga yang baik akan ikut menentukan pembentukan karakter seseorang (baca: manusia baru). Baik kita ketahui, bahwa menurut The Ecology of Human Development, terdapat beberapa faktor yang akan membentuk dan menentukan karakter manusia agar menjadi ciptaan Tuhan yang utuh dan menyeluruh (baca: holistik).Â
Salah satu faktor tersebut adalah keluarga (micro-system). Keluarga merupakan bagian inti dari sistem ekologi yang paling mempengaruhi perkembangan karakter seseorang apakah pribadinya tersebut menjadi pribadi yang tangguh atau pribadi yang rapuh. Pendidikan dalam keluarga bersifat dua arah, yakni aksi dan reaksi. Perlakuan orangtua terhadap anak akan menimbulkan reaksi balik dari si anak. Kalau perilaku orangtua dalam mendidik anak memberi keteladanan positif, maka anak akan bereaksi dengan berperilaku yang baik pula. Interaksi timbal balik ini yang diyakini Prof. Djamaludin Ancok, Ph.D, Psikolog akan sangat membentuk kualitas karakter seseorang.
Buku yang sekiranya ditulis oleh beberapa penulis ini, walaupun dipandang kurang efektif dalam penyajiannya alias terlalu tebal, buku ini mampu membahas pentingnya pendidikan dalam keluarga yang merupakan sistem ekologi kehidupan yang sangat menentukan kualitas dan kesempurnaan (baca: holistik) manusia baru seperti yang dinyatakan dalam The Ecology of Human Development.Â
Pembahasan dalam buku ini menggunakan pendekatan perkembangan keluarga sepanjang hayat (life long family life approach) yang dipandang, dikaji, disajikan melalui dan dalam berbagai bentuk kearifan lokal yang ada di bumi nusantara ini. Mulai dari masa pengantin baru, tahap keluarga dengan anak usia balita dan pra-sekolah, tahap keluarga dengan anak usia sekolah, tahap keluarga dengan anak usia remaja, tahap keluarga pelepasan anak pertama yang menikah, tahap keluarga dengan orangtua tengah baya, hingga tahapan keluarga dengan orangtua yang memasuki masa lansia.Â
Tentunya setiap tahapan memiliki tugas perkembangannya masing-masing yang perlu dicapai. Dan apabila tugas perkembangan, misal di tahap masa pengantin baru belum dipenuhi seluruhnya, maka akan berdampak pada tingkat perkembangan selanjutnya, yakni tahap keluarga dengan anak usia balita dan pra-sekolah. Yang terlupakan dari buku ini adalah bagaimana kedua insan tersebut harus membentuk pola relasi dan komunikasi di pra-nikah, alias dalam tahap penjajakan. Karena sejatinya tahap pra-nikah atau penjajakan amatlah penting agar kedua pasangan saling mengetahui, belajar, dan menerima satu sama lain, baik kelebihan dan kekurangan dari pasangannya.