Mohon tunggu...
Matheus Giovanni CTNLP MBTLTA
Matheus Giovanni CTNLP MBTLTA Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup adalah kesempatan jadi berkat

Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan. Tuhan ingin kita kembali istimewa. Melayani : Psikoterapi berbasis Neuro-Linguistic Programming, Time Line Therapy, Past Life Regression Therapy, Clinical Hypnotherapy Konseling Anak/Remaja/Keluarga/Pasutri Training/Workshop Neuro-Linguistic Programming, Time Line Therapy, Past Life Regression Therapy, Clinical Hypnotherapy Resensi Buku Call : 085700745872 (WA/Line) Instagram (@matheusgiovanniputragana) Rumah & Kantor : Jalan Cindelaras Gang Randu No 1 RT 07 RW 05 Kepuhsari Krodan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, DIY

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reinternalisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Pembangunan Kembali Paradigma Negara Maritim

28 Juli 2016   19:42 Diperbarui: 28 Juli 2016   19:54 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.

Ir. Soekarno

Nenek moyangku orang pelaut gemar mengarung luas samudra menerjang ombak tiada takut menempuh badai sudah biasa…

Saridjah Niung

-50 Besar Essai Terbaik Kategori Mahasiswa Lomba Essai tingkat Nasional : Membangun Generasi Muda Berjati Diri ke-Indonesia-an-

Pengantar

Entah sudah berapa kali masyarakat dan media digemparkan dengan aksi heroik yang dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiatuti. Kini, berbagai media massa cetak maupun elektronik senantiasa secara rutin mengabarkan kondisi kelautan dan perikanan Indonesia, baik secara regional, nasional, maupun global. Apakah ini sebuah fenomena reinternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam pembangunan kembali paradigma negara maritim? Barangkali benar, paling tidak telah meningkatnya kesadaran dan keprihatinan akan kedaulatan maritim secara konstruksional dan institusional.

Setelah berjuang selama 70 tahun mengisi kemerdekaan, Indonesia kini dihadapkan dengan semakin kompleksnya permasalahan berbangsa dan bernegara. Menjadi sebuah rambu-rambu yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno yang patut kita perhatikan sunguh-sungguh, bahwa kini yang kita hadapi bukan lagi penjajahan dari bangsa lain, melainkan watak dari bangsa kita sendiri yang tentunya bersifat senyap dan membaur dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Sebagai negara besar yang sebagian besar wilayahnya dikelilingi oleh laut dan lautan, maka sudah sepantasnya rakyat Indonesia berbangga dengan karunia yang tak ternilai dari Yang Kuasa. Nenek moyang kita telah menunjukan itu dengan mengarungi samudera yang luas itu sampai jauh.Tidak berlebihan jika Saridjah Niung atau yang lebih akrab kita sapa Ibu Soed menggambarkan sejarah emas nenek moyang Indonesia ke dalam lagu.

Pembangunan Negara Maritim : Keniscayaan Sejarah Dunia

Menjadi sebuah keniscayaan sejarah bangsa-bangsa di dunia, bahwa di era Sriwijaya, Majapahit, dan Demak, “Indonesia” adalah bangsa tangguh dan tangkas yang disegani di kawasan Asia. Banyak negara mulai dari Tumasik, Pasai, hingga Campa tunduk oleh kegagahan armada kapal Sriwijaya dan cetbang (meriam api) yang dimiliki Majapahit, strategi politik ekonomi Demak, dan lain sebagainya. Dunia mencatat bahwa I Tsing pernah menyebarluaskan kekagumannya akan Shih Li Fo Shih (Sriwijaya) yang adalah sebuah kerajaan maha besar yang memiliki armada laut teramat kuat. Kekaguman yang ia alami selama kurang lebih 6 bulan di Sriwijaya itu meyampaikan doktrin negara maritim kekinian, terutama dalam hal pertahanan dan keamanan nasional. Doktrin negara maritim memandang bahwa Negara terdiri atas wilayah lautan yang menghubungkan pulau-pulau.

Belajar dari kemunduran dan keruntuhan Sriwijaya, bahwa sesungguhnya kota pelabuhan harus ditopang oleh hasil darat berupa pertanian dan perkebunan yang menjadi komoditas unggulan dari wilayah pedalaman.[1] Menjadi keniscayaan bersama bahwa ketangguhan agraria dan maritim yang renewable atau berkelanjutan yang didukung kemajuan teknologi dan pengolahan menjadi taruhan kelangsungan sebuah bangsa dan negara yang besar.

Reinternalisasi Nilai-Nilai Pancasila

Sejak memasuki era reformasi, bangsa Indonesia telah melakukan evaluasi dan merombak secara besar-besaran terhadap nilai-nilai Orde Baru dan menggantinya dengan nilai-nilai baru. Dalam jangka waktu yang relative singkat, legislatif telah banyak mengesahkan produk-produk hukum baru. Pelembagaan (institusionalisasi) berbagai produk hukum ini ternyata tidak disertai dengan proses penanaman nilai-nilai hakiki yang melandasi kelahiran produk hukum tersebut (internalisasi).

Misalnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang tampak penuh unsur ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan, dan kesejahteraan tidak diikuti dengan penanaman nilai-nilai terserbut pada masyarakat luas, khususnya para pengusaha perikanan tangkap tradisional (baca: nelayan) dan para pemangku kebijakan di sektor perdagangan, perindustrian, dan yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan dunia perikanan dan kemaritiman. 

Dikhawatirkan akan terjadi gejala “institusionalisasi tanpa internalisasi”, yang berakibat aturan dijalankan tanpa dilandasi penghayatan nilai-nilai. Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, pengakuan masyarakat hukum adat, dan penguatan kearifan lokal tanpa melihat secara utuh dan menyeluruh karakter dan kapasitas dari setiap komponennya, menjalankan fungsional dana desa pesisir tanpa dijiwai nilai keadilan yang hakiki.

Hukum yang tidak didukung oleh sistem nilai masyarakat akan tumpul, dan setiap orang bisa saja tidak memiliki rasa bersalah bila melanggarnya karena sudah tidak ada lagi etika diri di dalam jiwanya. Bukan hanya kehilangan rasa bersalah, masyarakat dan pemerintah juga akan kehilangan rasa malu terhadap publik. Dalam akhir-akhir ini, Indonesia diperlihatkan gejala bahwa sudah banyak orang yang kehilangan rasa takutnya pada hukum, mulai dari individu kecil sampai lembaga negara, karena hukum dan kebijakan dapat dibeli dan diatur dengan uang.

Pembangunan Negara Maritim : Sebuah Keharusan!

Kejayaan para pendahulu negeri ini dikarenakan kemampuan mereka dapat membaca lalu mengolah potensi yang mereka miliki. Pemerintah sekarang sudah harus menyadari betapa pentingnya memiliki ketajaman visi dan kesadaran kemaritiman terhadap posisi strategis Nusantara di percaturan dunia. Pembangunan negara maritim bukan lagi sebuah wacana besar bangsa dan negara Indonesia, melainkan sebuah keharusan!

Mengakui bahwa pertahanan laut dan teknologi kelautan kita masih lemah merupakan kerangka dan titik awal untuk memacu kesadaran akan pembangunan Negara Maritime tanpa menghilangkan makna sesungguhnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki pekerjaan rumah yang amat berat mulai dari merevolusi paradigma masyarakat luas akan kecintaan terhadap laut hingga tata kelola perdagangan kemaritiman. 

Walaupun Indonesia kini seakan mendapatkan angin segar dengan kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan, pemandangan di lapangan masih teramat banyak pengusaha tangkap tradisional yang belum mendapatkan fasilitas pemberdayaan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Masalah-masalah faktual di lapangan seperti pencetakan sumber daya manusia perikanan yang berkualitas, handal, dan tangkas, keterbatasan alat tangkap ikan, keterbatasan pelabuhan perikanan, keterbatasan teknologi penangkapan ikan, keterbatasan modal, keterbatasan akses pemasaran, keterbatasan teknik pascapanen, dan sebagainya.

Bahwa sesungguhnya penting dalam pengadaan segera pelabuhan perikanan secara besar-besaran di Indonesia karena akan lahir multi player yang mana akan menyerap banyak sumber daya manusia pribumi. Jumlah pelabuhan perikanan di Indonesia masih terlalu sedikit jika dipandang dari jumlah total panjang garis pantai yang dimiliki. Dapat kita bayangkan jikalau saja setiap 100 km garis pantai Indonesia memiliki satu pelabuhan perikanan, berapa banyak sumber daya manusia Indonesia yang dapat diberdayakan menuju cita-cita Indonesia yang makmur. Bahwa sesungguhnya penting melalui sumber daya manusia di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan di berbagai instansi pendidikan, baik formal maupun non formal, untuk memberikan pengetahuan dan skill yang didukung teknologi dan informasi modern kepada komunitas-komunitas nelayan tradisional.

Dalam kuliah Teknik Penangkapan Ikan perdananya di jurusan Perikanan UGM, Dr. H. Suwarman Partosuwiryo, A. Pi., M. M. (24/08/2015) mengakui meskipun tertanda tanggal 22 April 2015 Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah mengadakan pengadaan fish finder yang memakan budget hingga 4,5 M, nelayan Indonesia, khususnya DIY, masih belum mendapatkan edukasi tentang fish finder sehingga mengakibatkan ketika fish findertersebut telah berada di tangan nelayan, nelayan enggan memakainya karena takut rusak. Hal ini diperparah dengan biaya abonemen VMS sebesar enam ratus ribu rupiah pertahun kepada negara.

Apakah fenomena pengadaan fish finder yang tanpa dilandasi peri kemanusian dan peri keadilan, di mana sumber daya manusia perikanan semakin diinjak-injak karena gagap akan teknologi, mahalnya penyewaan alat bantu tangkap ikan, dan permainan harga di pasar ikan oleh sejumlah oknum, adalah benar dan sesuai dengan cita-cita luhur Pancasila? Apapun fenomena di lapangan mengenai Kelautan dan Perikanan Indonesia, sejarah emas kerajaan-kerajaan di nusantara merupaka cermin jernih dan referensi terpercaya untuk melakukan restorasi kejayaan bahari masa silam, guna membangun masa depan Indonesia sebagai Negara Maritim yang unggul[1].

Penutup

Keutamaan (virtus) Pancasila merupakan sebuah jiwa keharusan dalam pembangunan Negara Maritim. Sebagaimana disampaikan melalui Japanese Proverbvirtue is not knowing but doing”, keutamaan Pancasila terverifikasi dalam seluruh tindakan. Dalam hal berbangsa dan bernegara, keutamaan itu dapat menjadi moralitas yang dihidupi dan dihayati. Moralitas Pancasila pada akhirnya dapat dilihat sejauh mana tindakan bermoral Pancasila dapat menjadi habitus. Semuanya akan baru terjadi ketika pemerintah bersinergi bersama masyarakat luas meng-reinternalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam rangka pembangunan kembali paradigma Negara Maritim.

Sistem evaluasi yang berkesinambungan akan internalisasi Pancasila dapat terasa secara nyata ketika pemerintah melalui lembaga legislatifnya menciptakan produk-produk hukum yang senantiasa mengedepankan cita hukum (rechtsidee) Pancasila dalam setiap produknya, yang juga senantiasa dibarengi dengan pendampingan secara dini dan teratur dari bidang penyuluhan mengenai produk-produk hukum yang baru tersebut. Pengawasan terpadu terhadap pelaksanaan di lapangan mulai dari wilayah pesisir maupun zona-zona di laut sangat diharapkan dapat meningkatkan kualitas reinternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam pembangunan kembali paradigma negara maritim.

Bersama pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat mari kita mewujudkan visi Indonesia sebagai poros maritim. Mari kita memanfaatkan posisi strategis lndonesia sebagai poros maritim dunia. Penyediaan tempat berlabuh, baik pelabuhan perikanan maupun pelabuhan dagang, yang aman dan nyaman, penyediaan pelabuhan bongkar muat yang efisien, penyediaan galangan kapal yang mumpuni, penyediaan pelayanan pengisian bahan bakar dan air tawar yang kompetitif, mewaiibkan penggunaan pandu bagi kapal-kapalyang melintasi alur sempit agar tidak teriadi kecelakaan yang dapat mengakibatkan tertutupnya alur pelayaran, penyediaan keperluan awak kapal yang reprentatif, penyediaan sistem informasi yang cepat dan terkini, dukungan manajemen yang efektif dan handal, perawatan jalan dari dan menuju pelabuhan, pengadaan alat tangkap ikan dan alat bantu tangkap ikan yang renewable bagi pengusaha tangkap tradisional, penyediaan akses peminjaman modal yang memihak pada pengusaha tangkap tradisional, pemberian akses untuk pemasaran hasil tangkapannya, serta masih banyak lagi peluang yang dapat digali agar laut Indonesia semakin produktif dan bersifat renewable.

[1] M. Taufik & Willy Aditya, Negara Maritim Indonesia : Takdir Sejarah Kita, 22 Januari 2009

[2] HB X, Mengenal Sosok Sultan Agung dengan Mewarisi Api Semangat Patriotismenya, Seminar Dies 40 Tahun UNISSULA, Semarang, 14 November 2002


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun