Karakteristik setiap orang tentu selalu berbeda-beda. Ada yang berkarakter pendiam, pemarah, adapula yang memiliki karakter melankolik. Begitulah keajaiban Tuhan dalam meciptakan manusia di muka bumi ini.
Seseorang dikatakan unik dan menarik, apabila di dalam diri orang tersebut memiliki karisma dan berbeda dari orang lain. Bung Karno, Presiden pertama Indonesia sosok yang begitu karismatik. Kelebihan Bung Karno adalah karena ia mampu membakar semangat massa ketika dirinya berpidato. Tak heran Ia dijuluki sebagai 'singa podium' karena kepiawaiannya dalam berpidato.
Ada pula tokoh hebat lainnya seperti, Ki Hajar Dewantara dan Pramoedya Ananta Toer. Kedua tokoh ini mengukir namanya dalam catatan sejarah bangsa Indonesia. Ki Hajar Dewantara dijuluki sebagai bapak pendidikan Indonesia, sedangkan Pramoedya Ananta Toer telah menorehkan namanya sebagai salah satu penulis paling produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Begitu banyak karya tulis yang dilahirkannya.
Tentunya beberapa tokoh hebat di atas, menjadi terkenal bukan sebuah kebetulan semata. Mereka lahir, besar melalui sebuah proses panjang bukan terbentuk secara instan. Bung Karno, dalam buku Otobiografinya "Penyambung Lidah Rakyat" yang di tulis oleh Cindi Adams mengkisahkan bagaimana Bung Karno menjadi "singa podium". Di masa remajanya dan perkulihannya ia pernah di sebut sebagai "orang gila'oleh teman-teman sebayannya.
Keseringannya berlatih berpidato dan berorasi di kamar sendiri dengan suaranya yang lantang dan menggelegar, membuat teman-teman sekostnya memyebut dia sebagai "orang gila". Namun buah dari kegilaannya itu membuat dirinya menjadi hebat dan penuh karismatik serta banyak orang kagum akan kehebatannya dalam berpidato. Ternyata untuk menjadi hebat diperlukan orang-orang yang gila dalam berpikir dan bertindak.
Begitu pula, menghasilkan sebuah karya sastra yang produktif bukan sebuah perkara mudah. Penulis terkenal seperti Pramoedya Ananta Toer saja harus melewati proses dan perjuangan panjang. Ia menjadi penulis hebat karena kecintaannya terhadap sastra sehingga banyak karya tulisnya yang sudah ia hasilkan.
Sejak awal mula dirinya menulis, peraih penghargaan Nobel 6 kali ini tidak pernah berpikir apakah karya tulisnya baik atau di terima serta di puji masyarakat atau tidak. Bagi dia tugasnya hanya menulis, soal penilaian biarkan kritikus atau pengamat serta masyarakat yang menilainya. Karena menjadi seorang sastrawan sejati bukan untuk di puja puji melainkan bagaimana karya tulis itu dapat memberikan manfaat bagi banyak orang.
Menulis itu harus muncul dari hakekat pribadi seseorang paling dalam. Ia tidak sekedar hobi yang sewaktu-waktu akan pergi setelah hobi seseorang berpindah ke hobi yang lain. Menulis itu harus disadari sebagai tugas dan tanggungjawab moral dari seseorang sebagai pelita dan penerang bagi para pembaca.
Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian". Ungkapan ini minimalnya memotivasi para pemikir dan kaum intelektual untuk terus mengekspresikan pengetahuan dan kepandaian lewat menulis.
Investasi pengetahuan lewat menulis merupakan sesuatu kewajiban bagi kaum intelektual. Sebab, setinggi tingginya kepandaian seseorang, suatu saat kepandaian itu akan lenyap dan pergi ketika orang tersebut telah tiada. Sehingga menulis itu ibaratnya menghidupkan yang sudah mati.