Mohon tunggu...
Mateus Hubertus Bheri
Mateus Hubertus Bheri Mohon Tunggu... Penulis - Menulis Itu Seni

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Budi Luhur Penguasa

2 Januari 2025   12:19 Diperbarui: 2 Januari 2025   12:19 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Kompas) 

2. Lupa Diri

Penyakit lupa diri seringkali melekat  pada diri penguasa. Sifat ini muncul ketika semua keinginan penguasa serba terpenuhi. Tentunya, semua yang didapat tidak ingin berlalu begitu saja oleh penguasa. Ujung-ujungnya segala carapun ditempu kendati dengan cara jahat sekalipun.

Penyakit lupa diri juga dialami oleh seseorang saat berada di puncak kekuasaan. Ia lupa darimana dan siapa yang telah menghantarnya sampai di puncak kekuasaan. Hasratnya telah ditutup oleh silaunya kekuasaan.

3. Terobsesi Kekuasaan

Mengkultur kekuasaan sebagai puncak dari kebahagian hidup adalah pemikiran yang keliru dan sempit. Kekusaan itu hanyalah titipan. Kekuasaan yang di pegang tidaklah kekal dan abadi. Sebab, sewaktu-waktu dia akan pergi dan hilang dari seseorang.

Penyakit berikut yang sering terjadi pada diri penguasa adalah terobsesi dengan kekuasaan. Ketika jabatan ataupun kekuasaan itu dipegangnya ia tak rela untuk melepas. Dampaknya, ketika jabatan atau kekuasaan itu hilang, maka depresi, stres, dan gangguan psikis lain akan dideritanya.

Gejala ini muncul apabila penguasa terlalu menikmati kegemerlapan kekuasaan yang di dapat. Tahta dan kehormatan tak ingin berlalu begitu saja dari padanya.

Banyak orang terjebak oleh gemerlapnya kekuasaan. Disaat itu, seseorang lupa karakter sejatinya. Sim salabim seseorang telah disulap menjadi wajah ganda yang sebelumnya naif dan cupu. Kini menjadi wajah yang beringas dan rakus akan segala hal.

Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln mengatakan semua orang bisa tahan dengan kesengsaraan, tapi bila kau ingin mengetahui karakter seseorang berilah dia kekuasaan. Dari gambaran di atas ternyata kekuasaanlah yang bisa mengubah karakter seseorang.

Karakter seorang penguasa akan dinilai baik tergantung keluruhan budinya. Itu dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang selalu berpihak pada rakyat kecil. Lebih dari itu, dapat dilihat dari gaya kepemimpinan, apakah menindas rakyat kecil atau berlaku tidak adil terhadap orang yang di pimpinnya.

Ada sebuah semboyan yang sangat terkenal dalam bahasa jawa yakni sugi tanpa banda, digdaya tanpa aji, unggul tanpa bala, menang tanpa ngasorake (kaya tanpa harta, tak terkalahkan tanpa senjata, unggul tanpa tentara, menang tanpa merendahkan). Ciri ini harus di miliki oleh penguasa apabila ia adil,  berbudi luhur dan bijaksana. (Franz Magnis Suseno, Etika Politik-1987).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun