Sengketa tentang tapal batas, sengketa lahan antar warga, antar suku, bahkan antar Kabupaten seringkali terjadi dan itu bukan barang baru dalam kehidupan maanusia dibumi ini.
Tanah dianggap sebagai simbol yang amat sangkral, bahkan melebihi nyawa manusia. Saking sakralnya tanah, manusia rela berkorban dan mempertaruhkan nyawanya demi tanah.
Tanah dinilai lebih mahal dari selembar nyawa manusia. Ini bukan fiktif, melainkan sebuah fakta yang seringkali terjadi dipersada nusantara ini.
Peristiwa berdarah akibat perebutan tanah baru-baru ini terjadi Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai Provinsi dengan sebutan nusa toleransi.
Kali ini tragedi berdarah terjadi di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, tepatnya di wilayah perkebunan Wulen Wata.
Pada hari Kamis, 05/03/2020, tragedi berdarah antara kedua sukupun tidak dapat dibendung. Peristiwa ini bermula karena perebutan tanah antar kedua suku yaitu suku Kwaelega dan suku Lamatokan, (http://www.kompas.com).
Korbanpun berjatuhan dari kedua suku sebanyak 6 orang, 4 dari suku Kwaelega dan 2 orang lainnya dari suku Lamatokan. Ternyata tanah lebih berharga daripada nyawa manusia.
Sengketa dalam perebutan tanah ataupun lahan bukan baru sekali terjadi di Provinsi nusa toleransi. Walaupun korban tidak berjatuhan, minimalnya menyadarkan setiap stackholders, bahwa NTT belum tuntas soal sengketa tanah.
Masih lekang dalam ingatan kita sengketa tapal batas antara Kabupaten Ngada dan Kabupaten Manggarai. Konflik yang terjadi di suku Paumere Kabupaten Ende.
Semua peristiwa tersebut menjadi catatan penting bahwa implentasi tentang UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan pembagian sertfikat secara gratis di pemerintahan Jokowi dinilai gagal dan absur.
Pemerintah seharus lebih konsisten dengan kebijakan yang dikeluarkan agar berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat bukan menimbulkan persoalan baru bagi masyarakat.
Tragedi berdarah di Adonara seharusnya menjadi pembelajaran penting bagi Pemerintah di periode kedua Presiden Joko Widodo. Sehingga dalam mengeluarkan kebijakan perlu adanya sosialisasi secara simultan sampai ke masyarakat akar rumput.