Bayangkan seorang remaja yang sedang bahagia membuka Instagram di waktu senggangnya. Ia melihat unggahan foto teman-temannya yang sedang berlibur, menghadiri acara menarik, atau menikmati momen kebersamaan yang terlihat begitu sempurna. Sementara itu, ia sendiri hanya menghabiskan waktu di rumah. Perasaan kecewa dan cemas mulai muncul, bertanya-tanya mengapa dirinya tidak berada di sana, mengapa ia tidak diundang, atau mengapa hidupnya terasa kurang menarik dibandingkan yang dilihatnya di media sosial. Fenomena ini dikenal dengan istilah FOMO, singkatan dari Fear of Missing Out.
Apa itu FOMO?
FOMO adalah perasaan cemas atau khawatir bahwa seseorang mungkin kehilangan pengalaman, informasi, atau momen penting yang dialami orang lain. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Patrick J. McGinnis pada tahun 2004 dan menjadi semakin relevan dalam konteks media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter membuat pengguna terus-menerus melihat aktivitas orang lain, yang memicu rasa takut tertinggal dan menimbulkan perasaan kurang berharga.
Penelitian dari jurnal ilmu keperawatan jiwa, menunjukkan bahwa FOMO sangat berhubungan dengan penggunaan media sosial yang tinggi. Sebuah survei di platform Twitter mengungkapkan bahwa 43,8% responden remaja memiliki intensitas penggunaan media sosial yang tinggi, dan 50% dari mereka mengalami depresi berat. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara seberapa sering remaja menggunakan media sosial dengan tingkat depresi yang dialami. Semakin sering remaja melihat kehidupan orang lain yang terlihat sempurna di media sosial, semakin besar kemungkinan mereka merasa tertinggal dan tidak puas dengan kehidupannya sendiri.
Mengapa Media Sosial Memperkuat FOMO?
Penggunaan media sosial secara intensif adalah faktor utama yang memperkuat FOMO. Melalui platform ini, pengguna sering terpapar dengan pembaruan tentang aktivitas teman atau orang lain yang menarik, seperti pergi ke pesta, makan di restoran mewah, atau berlibur di tempat eksotis. Melihat hal-hal tersebut membuat seseorang merasa tertinggal atau kehilangan momen penting, terutama jika ia sendiri tidak sedang melakukan hal serupa.
Media sosial juga menjadi tempat bagi remaja untuk memamerkan kehidupannya. Banyak yang merasa perlu menunjukkan pencapaian atau momen bahagia mereka sebagai bentuk validasi sosial. Survei dari KOMINFO (2017) menunjukkan bahwa pengguna media sosial terbanyak adalah usia 20-29 tahun, yang termasuk kelompok usia mahasiswa. Usia ini rentan terhadap perasaan FOMO karena berada pada fase mencari identitas dan pengakuan dari lingkungan sekitar.
Dampak Psikologis FOMO pada Remaja
FOMO sering kali menyebabkan perasaan cemas dan rendah diri. Menurut Teori Perbandingan Sosial yang dikemukakan oleh Leon Festinger, individu cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain untuk mengevaluasi kemampuan dan nilai diri sendiri. Dalam konteks FOMO, perbandingan sosial ini terjadi setiap kali seseorang melihat unggahan orang lain yang terlihat lebih bahagia atau sukses di media sosial. Hal ini dapat memicu perasaan tidak puas dengan kehidupan mereka sendiri, menimbulkan kecemasan, dan berujung pada depresi.
Penelitian oleh Andrew K. Przybylski dan timnya yang berjudul "Motivational, Emotional, and Behavioral Correlates of Fear of Missing Out", menjelaskan bahwa FOMO merupakan ketakutan atau kecemasan seseorang akan ketertinggalan, sehingga menimbulkan dorongan kompulsif untuk terus memantau aktivitas orang lain di media sosial. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengarah pada perasaan kesepian, isolasi sosial, dan menurunnya rasa percaya diri.