Semar dalam dunia pewayangan adalah manusia setengah dewa penjelmaan Sang Hyang Ismaya. Semar sendiri berasal dari kata tan samar, artinya tidak tertutupi oleh tabir. Terang trawaca cetha tur wela-wela sangat jelas tanpa terselubungi sesuatu. Semar adalah sosok yang nyata dan tidak nyata. Ada dalam tiada, tiada tetapi ada. Keberadaannya memang dimaksudkan untuk menjaga ketentraman di muka bumi (memayu hayuning bawana) dan ketentraman antar sesama umat manusia (memayu hayuning sasama). Sebagai titah  atau makhluk Semar mengemban amanat untuk ngawula (mengabdi) berupa dharma atau amalan baik kepada bendara alias juragan bin majikan, juga kepada bangsa dan negara. Ini dibuktikan ketika Jonggring Saloka kayangan para dewa bergejolak, maka Semar turun tangan lewat Semar Mbangun Kayangan (Semar membangun Kayangan). Begitu muncul ketidakadilan dan ketidakbenaran sistem, maka Semar pun tergerak dalam Semar Gugat (Semar Menggugat), dan masih banyak lagi.
Yang menarik pada sebagian masyarakat Jawa masih menganggap Semar merupakan sosok filosofis yang diyakini menjadi pamong para kesatria agung. Siapapun tokoh yang berdekatan dengan Semar dan dari mana ia berasal akan merasa tentram dan ujung-ujungnya mengalami pencerahan. Bapak dari tokoh punakawan Gareng, Petruk, dan Bagong ini seolah tidak pernah mengenal kata sedih. Bicaranya spontan tetapi mengandung kebenaran. Setiap bertutur selalu menghibur. Sehingga orang yang sedih menjadi gembira, mereka yang susah bisa tertawa. Itulah Semar yang tumakninah mengawal kebenaran dan hati nurani pandawa sebagai representasi tokoh dunia putih.
Bagaimana dengan Gus Dur? Entahlah. Penulis merasa kentekan candra luwih rupa, kehabisan kata-kata untuk berkisah tentang beliau. Sama halnya para elemen bangsa yang tidak bisa membicarakan Gus Dur kecuali rasan-rasan terkait amal baik almarhum. Karena Gus Dur adalah sosok guru bangsa yang harus disyukuri keberadaannya oleh keluarga besar bangsa Indonesia, menurut ungkapan Cak Nun.
Pembaca, Gus Dur memang bukan Semar yang dianggab setengah dewa atau wali bagi sebagian pengikutnya. Tetapi jika mau merunut dan mengilas balik tindakan, ucapan, dan sepak terjang beliau semasa sugeng, potret filosofis Semar seolah mengejawantah pada pribadi cucu Hadratussyeh KH Hasyim Asy'ari pendiri pondok pesantren Tebuireng, Jombang ini. Jika ada Semar Mbangun Kayangan, maka di alam nyata Gus Dur pernah duduk menjadi presiden ke-4 Republik Indonesia. Pun kalau ada Semar Gugat Gus Dur sering melakukan lewat banyak forum, termasuk menggagas Forum Demokrasi atau Fordem dan banyak hal yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Dan antara Gus Dur dan Semar terdapat kemiripan, bahwa di antara keduanya kaya anekdot. Dalam pewayangan Semar pernah mengingatkan Arjuna lebih baik makan berlebih daripada kelebihan omongan, karena kelebihan makan bisa buang air, sebaliknya kelebihan bicara bisa berakibat maut, "Langkung prayogi keladuk mbadog tinimbang keladuk cocot. Keladuk mbadog saged diisingaken, nanging menawi keladuk cocot saged dibacok tiyang." Sedangkan Gus Dur ketika ditanya wartawan soal peluang menjadi presiden kembali sangat tipis, beliau dengan enteng menjawab, "pendukung saya kan orang kampung yang ndak punya HP." Atas keunikan-keunikan Gus Dur inilah sejumlah pelukis Jombang yang tergabung dalam Komunitas Pelukis (Kopi) Jombang merefleksikan pada lukisan bertema Gus Dur dan Semar.
Sosok almarhum Gus Dur dalam beberapa hari terakhir telah menyedot perhatian ribuan, bahkan jutaan umat manusia di muka bumi. Mereka seolah enggan mengatakan bahwa Gus Dur telah wafat. Terbukti pada malam peringatan 7 hari berpulangnya kakak kandung KH Solahudin Wahid (Gus Solah) itu di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, ketika sesi ceramah yang diisi Cak Nun (budayawan Emha Ainun Najib), salah seorang jamaah berteriak, "Hidup Gus Dur!" Alhasil Cak Nun sempat terhenyak dan berkomentar, "Awakmu iku ngawur ae, Rek!" Ya, Gus Dur memang hidup abadi di hati siapapun yang menghargai harkat kemanusiaan dan religiusitas tinggi. Tidak mengherankan apabila KH Abunyamin Ruhiat, pengasuh pondok pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat mencatat ada tiga hal yang bisa diteladani  dari KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur; pertama kebangsaan yang majemuk, artinya mengutamakan pluralisme, kedua Islam yang moderat menunjukkan Islam sebagai rahmat seluruh alam, dan yang ketiga peran Gus Dur mengembalikan NU ke khittah 1926.
Gus Dur sebagai bapak bangsa dan tokoh pro kemajemukan, penulis mencatat sejumlah komentar dari tokoh lintas agama dan keyakinan atas pribadi almarhum sebagai berikut;...Gus Dur jadi Presiden itu agama Kong Hu Cu diadakan.Jadi yang memperjuangkan agama orang Tionghoa, ini Gus Dur... (Ny Hoolan umat kong hu cu  kelenteng Boenbio Jl Kapasan 131,Surabaya),...Saya rasa beliau (Gus Dur) memberikan banyak contoh untuk bagaimana seorang manusia itu harus hidup di dunia ini dan saya rasa memberikan keteladanan yang bukan hanya untuk Indonesia tapi saya rasa untuk seluruh dunia, bagaimana seorang pemimpin harus bersikap...(George Soraya pimpinan Masyarakat Agama Bahai Indonesia),...Gus Dur adalah sosok orang yang bisa kita jadikan teladan bagi bangsa ini khususnya, karena bagaimanapun karya beliau terlepas dari orang suka atau tidak suka, beliau telah berkarya nyata untuk mengembangkan, membangun nilai-nilai universalisme, nilai-nilai multikultural yang diusung untuk menghargai berbagai macam perbedaan...(Bante Yana Suryanadi pimpinan Sangha Agung Indonesia)...Mungkin belum saya temukan orang segusdur (sebaik) Gus Dur di negeri ini...(Romo Franz Magnis Suseno, pastor dan budayawan). Ternyata dengan pemahaman keagamaan yang paripurna sosok Gus Dur telah melampaui sekat-sekat dimensi ruang dan waktu. Gus Dur telah menjadi makrokosmos (jagad besar) atas nilai-nilai kemanusiaan, spiritualitas, sosial budaya dan lain-lain. Gus Dur telah menggabungkan tiga fitrah kemanusiaan menurut Muhammad Iqbal sastrawan Mesir, yaitu agama, filsafat, dan seni budaya. Seorang ulama yang tinggi derajat keilmuannya, seorang yang paham akan filsafat kehidupan, dan pribadi yang menyukai keindahan lewat produk-produk kebudayaan, seperti musik klasik hingga tarling Banyumasan.
Gus Dur... Kami akan selalu rindu dengan kebijaksanaan dan anekdotmu yang menghibur. Selamat jalan Bapak bangsaku. Semoga njenengan terus tersenyum di alam langgeng  dan Kami tetap tegar menghadapi segala sesuatu sebagaimana sering njenengan katakan, "gitu aja kok repot..."
Sumber : http://www.gusdur.net/opini/Detail/?id=202/hl=id/Filosofi_Semar_Dan_Makrokosmos_Gus_Dur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H