Sinopsis:
Sepasang pria dan wanita sedang dalam perjalanan pulang ketika mobil mereka mogok di jelang dimulainya “Hari Pembersihan.” Sementara itu seorang seorang sersan polisi mengusung misi balas dendam kepada seorang pria yang membunuh anaknya. Seorang ibu dan anak perempuannya terpaksa bertahan hidup dari serangan orang tak dikenalnya.
Kelima orang itu bertemu dengan tujuan yang sama, yaitu bertahan hidup dalam sebuah “Hari Pembersihan” yang diusung oleh pemerintah Amerika Serikat saat itu. Hari dimana semua dilegalkan dan tidak akan dikenai hukuman apapun, termasuk pembunuhan.
Bertahan hidup (dok. Pribadi)
Satu tahun setelah film pertamanya dirilis, James DeMonaco kemudian merilis “The Purge: Anarchy.” Berbeda dengan film pertamanya dimana ada satu nama pemain bintang (Ethan Hawke) disana, “The Purge: Anarchy” ini mengandalkan pemain-pemain yang kurang familiar.
Bisa jadi ini merupakan konsep atau visi dari sang sutradara sendiri atau dari rumah produksinya. Karena memang terlihat jelas bahwa film ini tidak berusaha untuk menjual nama pemainnya, tapi lebih ke ceritanya yang memang terasa sedikit original.
The Purge: Anarchy movie poster (dok. Pribadi)
Kalau di film pertamanya cerita berkutat di sekitar keluarga Ethan Hawke, kali ini cakupannya lebih luas lagi. Kota Los Angeles menjadi wadah untuk mengangkat cerita mengenai “Hari Pembersihan” atau “The Purge” itu sendiri. Cerita diantar oleh ilma karakter sebagai perwakilan dari penduduk Los Angeles yang berusaha untuk bertahan hidup dari ide gila pemerintah Amerika tahun itu (setting film tahun 2023).
Buat yang doyan sama film-film seperti “Battle Royale,” “Saw,” dan “Hostel,” tentu akan menikmati film ini. Meski tidak sesadis “Saw,” dan “Hostel,” tapi ide besar DeMonaco ini cukup membuat kita bakal geleng-geleng kepala dan bertanya, “gila! Ada ya orang kayak gini?”
[caption id="attachment_342304" align="aligncenter" width="560" caption="Hari pembersihan (dok. Pribadi)"]
Namun ambisi besar DeMonaco yang ingin membawa “Hari Pembersihan” ini ke tingkat yang lebih tinggi lagi ternyata tidak dibarengi dengan teknik dan gaya bertutur yang baik. Kamera yang terlalu goyang, editing yang masih bilang dibilang kasardan storytelling yang tidak lebih baik dari film pertamanya membuat sekuel ini kurang lebih sama buruknya dengan film sebelumnya.
Buruknya gaya bertutur DeMonaco di film ini membuat cerita terasa draggy akibat dari banyaknya subplot-subplot yang tidak begitu penting yang dimasukkan ke dalam film ini. Film menjadi tidak fokus. Belum lagi dengan logika irasional yang ditampilkan oleh karakter-karakter di film ini.
Tapi apabila anda merasa bosan dengan genre film yang sekarang sedang beredar di jaringan bioskop nasional, anda bisa menjadikan film ini sebagai pilihan hiburan anda.
Rating: 6,5/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H