Mohon tunggu...
matatita suluhpratita
matatita suluhpratita Mohon Tunggu... -

MATATITA is a published author lives in Yogyakarta. Her two published travel books are "TALES from the ROAD" (2009) and EUROTRIP Safe & Fun (2010). Experience difference culture is her passion to travel around the world. [contact: lost_traveler@matatita.com | www.matatita.com ]

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Edinburgh

21 September 2010   03:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:05 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_264076" align="aligncenter" width="500" caption="Kota Edinburgh difoto dari Calton Hill"][/caption]

Edinbra, begitu melafalkannya. Kota lama yang masuk dalam daftar UNESCO World Heritage ini merupakan salah satu alasan saya ke Skotlandia. “Edinburgh itu nggak hanya kota tercantik di Skotlandia, tapi juga se-Inggris” ujar sahabat saya, seorang penulis yang tergila-gila pada seni. Apresiasinya membuat saya makin yakin untuk tidak melewatkan Edinburgh. Apalagi ia seorang pemerhati seniyang juga mengagumi karya arsitektur seperti saya. Pasti dia bisa mempertanggungjawabkan pomosinya.

Perjalanan menjemput keindahan Edinburgh itu ternyata harus saya tempuh dengan banyak pengorbanan. Ini gara-gara saya lupa jam keberangkatan kereta dari York (Northern England) ke Edinburgh. Saya pun harus membeli tiket kereta berikutnya yang kalau dikurs ke rupiah harganya 1,2 juta! Kurs rupiah atas poundsterling pada saat itu (2007) Rp18.500,00 dan harga tiket baru yang harus saya beli lagi adalah 68 pounds, padahal tiket pertama hanya 24 pounds.

Sebelum meninggalkan York, sebenarnya saya sudah mengecek tiket-tiket untuk pergi ke/dari Edinburgh yang semuanya sudah saya beli secara online sewaktu masih di Jogja, jauh-jauh hari sebelum traveling. Tiket berangkat ke Edinburgh dengan Virgin Train dari York tertera pukul 15.00, sementara tiket dari Edinburgh ke London dengan pesawat Jetstar untuk dua hari kemudian adalah jam 16.00. Gara-gara saya lupa ingatan, saya berpikir sebaliknya yang jam 16.00 adalah kereta dari York ke Edinburgh dan yang jam 15.00 adalah jam penerbangan ke London. Ketika sore itu tiba di stasiun York sekitar jam 3 kurang dikit, saya nyantai-nyantai aja. Masih ada waktu 1 jam untuk meluruskan kaki yang pegel-pegel setelah menyusuri York.

Sambil menanti kereta datang, saya mengeluarkan print-out tiket dari dalam tas. Dan alangkah terkejutnya saya, ketika melihat jam keberagkatan Virgin Train yang tercetak di sana. Oh my God! Jadi kereta yang barusan meninggalkan stasiun ini sesaat setelah saya keluar dari toilet tadi adalah kereta yang seharusnya saya naiki! Saya langsung pucat membayangkan poundsterling yang terbuang sia-sia dan yang akan dikeluarkan lagi untuk membeli tiket berikutnya.

Karena pengin ngirit, saya mencari alternatif ke Edinburgh dengan bus. Masih ada bus terakhir ke Edinburgh sekitar pukul 17.00. Memang sih waktu tempuh perjalanannya lebih lama, sekitar 5 jam sedangkan dengan kereta hanya 3 jam. Kebetulan di stasiun itu juga terdapat loket National Express. Lalu bertanyalah saya pada petugas loket pada petugas loket dengan penuh harap. “Sold out,” jawabnya membuat saya kecewa. Tiket bus ke Edinburgh sudah habis terjual dan saya makin mengutuki keteledoran diri sendiri.

Sementara itu perjalanan ke Edinburgh nggak mungkin dibatalkan karena semua biaya akomodasi dan pejalanan selama di Edinburgh sudah dipesan lewat internet ketika masih di Jogja. Biar dapat tiket murah dan nggak buang waktu selama traveling, saya memang membiasakan memesan semuanya sebelum berangkat.

Solusi terakhir menuju Edinburgh sore itu adalah dengan Virgin Train berikutnya yang karena tiketnya dibeli dadakan, sejam sebelum keberangkatan, nggak mungkin dapat fun fare alias harga murah. Apaboleh buat. Saya pun menghibur diri dengan memberi permakluman pada kealpaan.

Harga mahal yang harus saya bayar untuk bisa mengunjungi Edinburgh itu tertebus begitu kaki saya keluar dari gerbang Waverly Train Station yang berada di tengah kota Edinburgh sekitar pukul 19.00. Langit Edinburgh masih terang benderang karena menjelang musim summer, hari siangnya lebih panjang, matahari baru terbenam sekitar pukul 22.00.

Malam saya tiba di Edinburgh itu seperti sore yang cerah. Seketika langkah saya terhenti di gerbang Waverly Train Station demi melihat bentangan bangunan berasitektur klasik di Edinburgh Old City. Saya menyapukan pandangan ke sekeliling. Menengok ke kiri, ke sebelah selatan stasiun, mata saya menemukan deretan bangunan klasik kota tua, Edinburgh Castle, National Gallery dengan hamparan hijaunya taman kota Princess Garden, serta The Scott Monument yang berarsitektur Gothic yang berdiri tinggi menjulang. Makin ke kanan, di sebelah utara stasiun, nampak kawasan Edinburgh New City yang menjadi pusat perbelanjaan modern di sepanjang Princes Street. Kedua kawasan Old and New City yang berhadapan ini sama-sama merupakan kompleks world heritage yang dilindungi.

Karena mata biologis saya nggak tahan melihat keindahan yang menakjubkan itu, segera saya keluarkan kamera untuk mengabadikan Edinburgh dengan mata digital. Jepret..jepret..jepret…! Foto-foto ala kartupos itu pun terekam di kamera. Supaya lebih leluasa memotret, saya memutuskan untuk check-in dan menyimpan barang dulu di hotel yang kebetulan hanya beberapa langkah dari Waverly Train Station. Setelah itu kembali menghabiskan malam yang benderang dengan kamera di tangan. Ketika senja tiba dan lampu-lampu mulau dinyalakan, gedung-gedung klasik yang tersusun dari batu warna tanah itu berkilau seperti tembaga.

Edinburgh merupakan kota yang dengan warisan mahakarya arsitektur sejak era abad 12. Masing-masing era memiliki gaya dan karakteristiknya tersendiri. Arsitektur bergaya Roman (abad 12) dapat dilihat di Duddingston Parish Church dan St. Margareth’s Chapel yang merupakan bangunan tertua yang terjaga di Edinburgh. Abad berikutnya hingga abad ke-16 gaya arsitektur Gothic yang diadopsi dari Inggris dan Eropa juga dijumpai di Edinburgh dan Skotlandia pada umumnya. Pada abad ke 17, setelah tahun 1560 yang dikenal sebagai era paska reformasi, memberi pengaruh pada arsitektur gereja-gereja di Edinburgh yang dipengaruhi semangat agama Protestan.

Gaya arsitektur yang paling banyak dijumpai di Edinburgh adalah gaya Georgian (abad 18). Arsitektur bergaya Georgian yang pada masa itu berjaya adalah Robert Adam (1728 – 1792) yang melahirkan bangunan-bangunan penting seperti University of Edinburgh, Register House, Charlotte Square, dan Hopetoun House. Selain gaya Georgian, gaya Victorian (abad 19) yang diinspirasi dari Eropa juga cukup banyak terdapat di Edinburgh, seperti The Royal Museum dan The Scottish National Portrait Gallery.

Tempat paling strategis untuk menikmati mahakarya arsitektur itu adalah di Calton Hill. Dari atas bukit yang terdapat di sisi Timur kota itu, seluruh kota Edinburgh baik Old Town maupun New Town yang dibelah Princes Street dapat terlihat jelas. Jika mau sedikit berusaha menaiki 143 anak tangga di Nelson Monument yang terdapat di Calton Hill, pemandangan indah Edinburgh nggak bakalan habis dikagumi.

Selain sebagai viewpoint untuk menikmati keindahan arsitektur bangunan di Edinburgh, Calton Hill sendiri menyimpan mahakarya arsitektur abad 19 yang tak kalah indahnya. Ada monument Dugald Stewart yang dibangun pada tahun 1831 oleh arsitek Willian Henry Playfair, Observatory House (1776), City Observatory (1818), Nelson Monument (1807), serta National Monument (1829) yang bentuknya paling aneh di antara bangunan lain. National Monumen ini merupakan pilar-pilar bergaya Yunani yang sebenarnya belum tuntas dibangun. Konon monument ini merupakan replika dari Parthenon, bangunan di Yunani yang kemudian menjadikan Edinburgh dijuluki “The Athens of The North”.

Di Calton Hill itu, saya menikmati Edinburgh sambil leyeh-leyeh di atas bangku kosong yang terdapat di sekeliling bukit. Dan ternyata saya sudah lupa sama sekali dengan tiket kereta yang hangus dan poundsterling yang harus saya keluarkan lagi untuk membeli tiket pemberangkatan berikutnya ke Edinburgh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun