Aku mulai kutak-kutik foto-fotoku dari pertemuanku dengan anak-anak Cakung Sawah. Lagi-lagi rambut merah jadi perhatianku. Berat badan anak-anak yang kurang. Juga penyakit kulit. Oh ya, aku lupa cerita. Kemarin aku juga mengunjungi rumah si kembar Lina dan Lini. Tinggi gubuknya tak lebih dari 1,5 meter. Orang dewasa harus menunduk untuk masuk ke dalamnya. Dindingnya dari tripleks yang sudah lubang di sana sini. Ditopang beberapa bambu, sebagai penguat. Atapnya dari beberapa papan yang dilapisi plastik. Ukuran rumahnya tak lebih dari 3 x 4 meter. Masih disambung tutup terpal biru dan bagor putih di samping pintu rumah, tempat meletakkan barang-barang bekas, hasil kerja ayah si kembar. Di depannya teronggok barang-barang tak terpakai. Aku melongok ke dalamnya. Gelap. Beralas tanah. Selain kembar, ada pula empat anak yang lain. Paling kecil Gio. Umurnya mungkin sudah lebih dari setahun. Di halaman depan rumah, Gio kecil berjalan telanjang ke sana kemari. Ibunya buru-buru memakaikan baju ketika aku mampir rumahnya. Sempat kulihat, sekujur tubuh Gio, penuh bercak-bercak putih. Dari atas badan hingga ke kakinya. Panu? Atau? Dan ternyata bukan cuma Gio, ada beberapa anak lain pula. Saat kutinggalkan rumah Lina dan Lini, aku sungkan membiarkan pikiranku membayangkan bagaimana kalau turun hujan. Lantai rumah becek dan yang pasti tak bisa ditiduri. Lalu bagaimana anak-anak kecil itu istirahat? Ah pikiran yang sibuk sendiri. Sementara lihat! Lina sangat gembira dengan apel besarnya. Digerogotinya apel itu sambil bermain-main dan tiduran di ban bekas yang teronggok di depan rumahnya. Dia bahagia. Anak perempuan kecil dengan celana kuning cerah dan kaos merah menyala. Lengkap dengan rambut merahnya. Kembar satunya entah sudah lari kemana. *** Benakku makin beradu. Konsentrasi mengedit gambar dan bertanya-tanya kenapa berambut merah, kenapa bertotol-totol putih. Kenapa Fajarwati, adik Intan sering sakit. Hampir dua jam aku berkutat dengan laptopku. Sebagian besar foto sudah aku retouch. Aku tidak tahu jawabnya, kenapa pekerjaan sosial bersama Ikka ini menyemangatiku. Aku berusaha membuat foto semenarik mungkin. Ikka bilang foto-foto itu nantinya untuk akan digunakan untuk mencari dana untuk kegiatan sosialnya. Menunggu senja, aku iseng mencari informasi kurang gizi di internet.……. Kurang gizi pada anak terbagi menjadi tiga. Pertama, disebut sebagai Kurang Energi Protein Ringan. Pada tahap ini, belum ada tanda-tanda khusus yang dapat dilihat dengan jelas. Hanya saja, berat badan si anak hanya mencapai 80 persen dari berat badan normal. Kedua, disebut sebagai Kurang Energi Protein Sedang. Pada tahap ini, berat badan si anak hanya mencapai 70 persen dari berat badan normal. Selain itu, ada tanda yang bisa dilihat dengan jelas adalah wajah menjadi pucat, dan warna rambut berubah agak kemerahan. Ketiga, disebut sebagai Kurang Energi Protein Berat. Pada bagian ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu kurang sekali, biasa disebut Marasmus. Tanda pada marasmus ini adalah berat badan si anak hanya mencapai 60 persen atau kurang dari berat badan normal. Selain marasmus, ada lagi yang disebut sebagai Kwashiorkor. Pada kwashiorkor, selain berat badan, ada beberapa tanda lainnya yang bisa secara langsung terlihat. Antara lain adalah kaki mengalami pembengkakan, rambut berwarna merah dan mudah dicabut, kemudian karena kekurangan vitamin A, mata menjadi rabun, kornea mengalami kekeringan, dan terkadang terjadi borok pada kornea, sehingga mata bisa pecah. Selain tanda-tanda atau gejala-gejala tersebut, ada juga tanda lainnya, seperti penyakit penyertanya. Penyakit-penyakit penyerta tersebut misalnya adalah anemia atau kurang darah, infeksi, diare yang sering terjadi, kulit mengerak dan pecah sehingga keluar cairan, serta pecah-pecah di sudut mulut. Ah......mengerti aku kini. Entah pada tahap satu, dua atau tiga, sebagian besar anak-anak itu menderita kurang gizi. Penyebabnya pun beragam: Pertama, jarak antara usia kakak dan adik yang terlalu dekat ikut mempengaruhi. Dengan demikian, perhatian si ibu untuk si kakak sudah tersita dengan keberadaan adiknya, sehingga kakak cenderung tidak terurus dan tidak diperhatikan makanannya. Oleh karena itu akhirnya si kakak menjadi kurang gizi. Kedua, anak yang mulai bisa berjalan mudah terkena infeksi atau juga tertular oleh penyakit-penyakit lain. Selain itu, yang ketiga adalah karena lingkungan yang kurang bersih, sehingga anak mudah sakit-sakitan. Karena sakit-sakitan tersebut, anak menjadi kurang gizi. Keempat, kurangnya pengetahuan orang tua terutama ibu mengenai gizi. Kelima, kondisi sosial ekonomi keluarga yang sulit. Faktor ini cukup banyak mempengaruhi, karena jika anak sudah jarang makan, maka otomatis mereka akan kekurangan gizi. Keenam, selain karena makanan, anak kurang gizi bisa juga karena adanya penyakit bawaan yang memaksa anak harus dirawat. Misalnya penyakit jantung dan paru-paru bawaan. Hampir semua faktor penyebab komplit ada di Cakung Sawah. Mungkin juga di banyak daerah lain di Indonesia. Bagaimana pun anak-anak itu konsumen pasif, mereka belum bisa mengurus dirinya sendiri termasuk untuk makanan. Aku salut dengan Kak Debby, Rika, Uju, Mala, Indri, Qori dan pendamping lain yang sampai saat ini masih terus datang untuk membantu anak-anak belajar, memberi contoh hal-hal kecil tentang hidup sehat. *** Aku tahu, bukan pekerjaan mudah untuk membuat tempat belajar bersama di Cakung Sawah. Tahun-tahun awal, yang terjadi justru penolakan demi penolakan. Satu setengah tahun berdiri, perangkat desa setempat tidak memberikan izin. Ada syarat yang harus dipenuhi: menyetor dana untuk kas desa secara rutin. Ini tentu saja berat. Kegiatan ini murni kegiatan sosial, proyek nurani.Ketika orang tua mereka sibuk bergulat agar mereka dapat bertahan hidup, perhatian terhadap perkembangan anak pun akan berkurang jauh. Kemiskinan yang lekat dengan kebodohan makin menjauhkan mereka dari akses informasi tentang tumbuh kembang anak yang seharusnya. Kebutuhan pendidikan dasar dan pengetahuan umum tidak lagi menjadi prioritas dalam kemiskinan mereka. Inilah yang mendasari Debby memulai pekerjaan besarnya di sini. ”Lewat pendidikan alternatif, kami hanya ingin memberikan kesempatan kepada anak-anak agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang penuh percaya diri, otentik dan integral,” ujar Kak Debby panjang lebar dalam surat elektroniknya kepadaku. Pelajaran sederhana sebetulnya, tetapi entah mengapa tumbuh keyakinanku bahwa ini adalah pembelajaran yang benar: lebih penting membentuk karakter dan kepribadian anak daripada hanya sekedar membuatnya cerdas, tetapi abai etika. Mungkin ini sekolah yang sebenar-benarnya. Sekolah yang membuat anak-anak nyaman belajar di dalamnya. Sekolah yang menyesuaikan diri dengan anak-anak. Bukan sekedar tembok megah yang justru memaksa anak-anak untuk menyesuaikan diri dan tunduk dengan sekolahnya, bagai penjara. *** http://matasasan.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H