Mohon tunggu...
Gilang Mahadika
Gilang Mahadika Mohon Tunggu... Penulis - Social researcher

Graduate Fellow ARI-NUS (Asia Research Institute, National University of Singapore), AGSF (Asian Graduate Students Forum) 2021| Anthropology | Interested in Southeast Asian Studies

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peninggalan Tambang dan Kemungkinan Hidup di Tengah Kerusakan Alam

12 Mei 2020   03:53 Diperbarui: 12 Mei 2020   04:56 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegiatan menambang selalu dikaitkan erat dengan sebuah tindakan destruktif terhadap alam akibat dari banalnya kapitalisme, sungguh eksploitatif yang hanya memberikan kekayaan kepada segelintir pihak yang berkepentingan saja. Sifatnya yang masif dengan menggunakan alat teknologi berat seperti kendaraan operator tambang membuat kita pun tercengang barandai-andai berupaya untuk mengembalikan kembali keadaan alam yang rusak, dan bagaimana masa depan mata pencaharian masyarakat yang hilang akibat dari dampak yang dikeluarkan dari aktivitas pertambangan ini. Tambang hanya akan meninggalkan bekas galian tambang (post-mining areas) yang tidak sedikit terbayang di benak kita bahwa lahan paska tambang tidak mungkin untuk dapat dimanfaatkan kembali demi keberlanjutan kehidupan manusia.

Masih teringat pada bulan Januari-Februari (2019) melakukan riset kecil untuk keperluan tugas akhir skripsi saya di perusahaan tambang batu bara ternama di Indonesia, Kaltim Prima Coal (KPC) mengenai pemanfaatan kembali lahan paska tambang yang hingga saat ini masih terus dikembangkan. Keperluan riset ini juga tidak berhenti dalam melihat lahan paska tambang saja, melainkan bagaimana program-program pemberdayaan masyarakat juga turut diletakkan dalam pemanfaatan lahan paska tambang KPC.

Di sebuah desa bernama Desa Swarga Bara, Kec. Sangatta, di Kalimantan Timur terdapat lahan paska tambang yang dimanfaatkan kembali menjadi sebuah peternakan sapi. KPC pun menyebutnya sebagai PESAT (Program Peternakan Sapi Terpadu), sebuah program pemanfaatan kembali lahan-paska tambang yang dijadikan untuk peternakan terutama sapi bali. Awal mula pengembangan tersebut perusahaan KPC dibantu juga dengan kolega IPB (Institut Pertanian Bogor) untuk mengupayakan agar lahan paska tambang dapat dimanfaatkan kembali. Kepala CAD (Community, Agribusiness, and Development) KPC tersebut mengatakan,

"Kan orang pasti punya mindset bahwa lahan paska tambang setelah dilakukan proses mau mereklamasi itu kan masih punya kemungkinan tanahnya yang mengandung toxic, dianggap tanah yang marginal, macam-macam ya. Sehingga IPB mencoba penelitian, ternyata, singkat cerita, rumput yang ditanam di lahan paska tambang ini memberikan kontribusi positif untuk pertumbuhan, perkembangan daripada sapi bali," ujar Pak Sugeng, kepala CAD kala itu (19/02/2019).

Kantor Peternakan Sapi Terpadu (PESAT) di atas lahan paska-tambang KPC (Februari, 2019)
Kantor Peternakan Sapi Terpadu (PESAT) di atas lahan paska-tambang KPC (Februari, 2019)

Beberapa program pemberdayaan terhadap komunitas melalui Community Empowerment KPC juga diupayakan diterapkan dalam lahan paska tambang ini, seperti program pemagangan dan kemitraan kepada petani yang hidup di lingkar perusahaan tambang KPC.

"Konsep PESAT bagaimana caranya kehadiran ini bisa digandengkan dengan program pemberdayaan, KPC melihat tidak hanya itu, KPC mencoba menggandengkan dengan program sosial," ujar kepala operasional lahan paska tambang, Pak Rangga (11/02/2019).

Kegiatan tambang tentunya memberikan dampak yang signifikan terhadap alam seperti mengakibatkan adanya lubang raksasa (kawah) atau biasa dalam dunia pertambangan disebut void tambang yang ke dalamannya dapat mencapai sekitar 30 meter. Namun, tidak menutupkemungkinan dari upaya perusahaan KPC dalam mereklamasi lahan paska tambang tersebut akhirnya  menjadi sebuah telaga yang dinamai TBA (Telaga Batu Arang), sebuah telaga yang dapat dihidupi tambak ikan. Telaga yang menutupi void tambang ini mendorong mereka yang bertanggung jawab dalam Community Empowerment KPC untuk mengembangkan pemberdayaan masyarakat dan berupaya untuk melibatkan mereka dalam kegiatan pengelolaan wisata di Telaga Batu Arang. Namun, hingga saat ini Telaga Batu Arang (TBA) masih belum dapat memberikan dampak pemberdayaan kepada masyarakat karena pihak KPC dan Yayasan Sangatta Baru (YSB) terbentur dalam  menghadapi dilema persoalan yang ada di TBA. Apabila sebuah telaga ini dibuka untuk umum, maka ada kecenderungan dapat mengancam nyawa masyarakat karena adanya lubang galian tambang atau void tambang itu sendiri.

"Memang kita pingin membuka TBA menjadi salah satu wisata. Zonanya bisa nanti zona wisata. Itu untuk dijadikan pelayanan publik kunjungan wisata berbasis masyarakat. Cuma yang menjadi icon di sana itu kan void. Void itu lubang tambang. Itu yang menjadikan salah satu faktor kehati-hatian dari manajemen untuk menjadikan itu sebagai fasilitas publik", jelas Pak Sugeng (19/02/2019).

Tambak ikan di permukaan void tambang (Februari, 2019)
Tambak ikan di permukaan void tambang (Februari, 2019)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun