Kita memasuki fase baru di mana buruh bukan lagi mengenai perjuangan akan hak-hak mereka, seperti memeroleh keamanan dan jaminan sosial atas pekerjan mereka.
Namun, buruh saat ini tengah menghadapi persoalan baru, yakni kecenderungan jatuh menjadi kelas pekerja prekariat (precariat), dalam artian menjadi pekerja yang rentan, memeroleh pekerjaan yang tidak tentu, ketidakstabilan upah, ketidakamanan pekerjaan, dan dituntut adanya fleksibilitas kemampuan pekerja dalam pasar tenaga kerja.
Pekerja prekariat tidak seperti pekerja atau buruh yang berada dalam kelas proletar seperti yang digambarkan dalam relasi masyarakat kelas, borjuis dan proletar. Proletarian adalah mereka yang masih memeroleh pekerjaan tetap dan stabil, jaminan pekerjaan jangka panjang, jam kerja yang tetap, dan adanya persetujuan kolektif serta memiliki sifat berserikat.
Meskipun masih ada perlu perbaikan dari beberapa aspek, seperti buruh perempuan yang tidak dapat disamakan dengan buruh laki-laki.
Mereka yang jatuh ke dalam prekariat terkadang tidak mengetahui pegawainya satu dengan yang lain atau berapa banyak pekerja di dalam suatu usaha, bahkan mereka tidak tahu apakah mereka akan dapat bekerja kembali di masa depan. Para prekariat tidak dapat memprediksi upah atau status dan manfaat yang seharusnya mereka peroleh.
Kita mengambil kasus prekariat seperti yang terjadi di Italia, khususnya kota Prato, di mana para pekerjanya hampir keseluruhan adalah orang lokal Italia, hingga pada tahun 1989, sekelompok pekerja dari Cina berumur 38 tahun hadir dan mengembangkan perusahaan garmen seperti yang sudah ada di Prato.
Hingga puncaknya, pada tahun 2008, terdapat sekitar 4,200 perusahaan cina di Prato dan 45,000 pekerja Cina yang memproduksi garmen setiap harinya, cukup untuk menyediakan kain bagi dunia. Hal ini yang yang membuat adanya penurunan pekerja lokal Itali sendiri dan mereka cenderung jatuh ke dalam keadaan yang rentan (precarious jobs).
Orang lokal Itali sendiri menjadi kehilangan peran proletariannya, dibiarkan saling berebut demi mendapatkan pekerjaan prekariat atau tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali (Standing, 2011: 5).
Terlepas dari adanya sentimen anti imigran, kita tahu bahwa di sini buruh atau pekerja dituntut untuk fleksibel dalam menyesuaikan keadaan pasar, atau dapat mengikuti mekanisme permintaan dan penawaran.
Tuntutan yang diajukan oleh paham neoliberal inilah agar tiap negara diharuskan untuk menciptakan "fleksibilitas pasar tenaga kerja" (labour market flexibility).
Akibat dari fleksibilitas ini membuat adanya upah yang fleksibel dalam menyesuaikan dengan perubahan permintaan pada pasar, lalu tuntutan kemampuan tenaga kerja yang fleksibel sehingga mampu menyesuaikan dengan tuntutan kemampuan pekerjaan dengan mudah.
Tentu hadirnya pekerjaan yang fleksibel ini mengurangi keamanan dan perlindungan bagi buruh (pekerja) dalam bekerja, bahkan tidak memeroleh jaminan sosial (dana pensiun atau asuransi kesehatan) yang dilindungi oleh perusahaan.
Prekariat dan Komodifikasi Pendidikan
Para prekariat ini akan memeroleh pekerjaan yang tidak menentu, terutama mereka yang terkena dampak terbesar adalah mereka para pekerja kerah biru, seperti pekerja pabrik tektil, garmen, rokok, tukang bangunan dan lain sebagainya.
Bahkan, prekariat juga dapat menyasar para sarjana terdidik yang telah berhasil lulus dari universitas-unversitas negeri ternama dan mulai terjun ke dunia tenaga kerja yang menuntut adanya fleksibilitas kerja. Apa yang berada dalam dunia akademisi tidak sama dengan yang terjadi di dalam aktivitas pasar.
Banyak para sarjana pun yang harus mencari lowongan magang (internship) agar memeroleh pengelaman dalam bekerja, dan terkadang tidak sesuai dengan apa yang telah dipelajari selama di perkuliahan. Ini adalah suatu yang absdurd dan cenderung aneh kemudian sebuah insititusi pendidikan pada akhirnya harus tunduk dengan sistem ekonomi klasik.
Tidak hanya mereka para buruh yang bekerja dalam pabrik, namun dari sini kita dapat melihat bahwa prekariat dapat terjadi di antara kita semua, dan pastinya lebih berdampak mereka yang bekerja di pabrik.
Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan bagi negara dan korporasi dalam menangani persoalan prekariat yang dapat terjadi di antara kita semua.
Sebelum beranjak menelusuri persoalan pelik kartu pra-kerja Jokowi yang kerap diperbincangkan, ada baiknya untuk merefleksi terlebih dahulu apa itu prekariat, terutama pengangguran di sini menjadi dapat dipahami bukanlah fenomena sosial yang diakibatkan karena kemalasan dan kebodohan, melainkan mereka yang tidak dapat menghadapi gempuran fleksibilitas tenaga kerja dalam pasar global.
Referensi
Standing, Guy. 2011. The Precariat: The New Dangerous Class. London: Bloomsbury Academic.