Mohon tunggu...
Andy Hung
Andy Hung Mohon Tunggu... Marketing Manager, Merchandiser, Mandarin Interpreter -

I love Indonesia I Love Challenges

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peninggalan Presiden Soeharto

20 Mei 2016   18:48 Diperbarui: 20 Mei 2016   19:02 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa yang tidak kenal Presiden Soeharto, Pemimpin yang berkuasa selama 30 tahun lebih di negara tercinta kita ini. Bicara mengenai Presiden Pak Harto hal yang teringat di kepala saya adalah tahun 1998 di mana saya lari tanpa sempat pakai sandal di saat api melahap ratusan rumah termasuk rumah saya. Terjadi 2 bulan setelah kerusuhan di Jakarta, saat itu, saya berumur 9 tahun dan yang bisa saya lakukan hanya menangis dan mengikuti kakak saya. Kenangan tersebut masih sering terkenang sampai sekarang, tapi itu sudah menjadi masa lalu dan saya sudah melewatinya. 

Teringat saat kecil, ibu saya sering bercerita pada saat zaman Soeharto pintu rumah jarang dikunci, terkadang terbuka sampai pagi dan aman saja. Makanan yang sangat murah 500 perak bisa membeli sebungkus nasi dan lainnya. Saya memcoba membayangkan suasana saat itu, alangkah kondusif. Setelah rumah terbakar, kami sekeluarga ber-6 numpang tinggal di rumah tetangga yang selamat dan berdempetan tidur di satu kamar. Saya tidak mengerti, kenapa perbedaan antar etnis sebegitu nyata, sebegitu jelas. Kita seringkali melihat secara fisik seseorang dan menghakimi dia berdasarkan pola pikir diri kita sendiri. 

Setelah lulus SMU, saya mencoba memperbaiki nasib dengan merantau ke Jakarta. Di Jakartalah pandangan saya terbuka, saya yang dulu ketika jalan di kota kelahiran sendiri akan menghindari orang pribumi yang berada di depan saya karena tidak ingin ada masalah. Ketika terjadi tabrakan motor, orang orang akan bertanya yang tabrakan antar orang apa? Kalau sesama orang Tionghoa atau orang Pribumi maka semua akan bernafas lega. Tetapi Ketika tabrakan terjadi antara orang Tionghoa sama orang Pribumi? Maka pada akan mulai menutup pintunya, seakan akan tidak mau ikut campur dengan urusan tersebut. Belum lagi, bila yang terluka adalah orang Pribumi, bila tidak diselesaikan dengan baik maka bisa menjadi sebuah awal dari sebuah kerusuhan. 

Tetapi di Jakarta, saya harus mencoba naik angkutan umum sendiri dan saya benar-benar mengalami perkembangan mulai dari pola pikir, tidak lagi membedakan. Saya benar-benar membaur dengan masyarakat Jakarta, masyarakat Jakarta yang begitu jamak namun unsur SARA jelas tidak menjadi sebuah penghalang untuk berinteraksi. Setelah sekian lama di Jakarta, bekerja di beberapa perusahaan kemudian kuliah di Jakarta. Saya sangat bersyukur, karena saya tidak lagi takut untuk berinteraksi, bahkan di dalam angkutan umum yang penuh orang asing saya berani menyapa mereka dengan senyuman dan dia akan menyapa balik. Di Jakartalah saya baru memahami arti sebenarnya dari Bhinnekka Tunggal Ika. 

Setelah dewasa, saya memulai perjalanan ke berbagai daerah dan orang-orang di setiap daerah begitu ramah dan baik. Saya mulai berpikir apa yang terjadi dengan kampung halaman saya, kenapa perbedaan disana begitu jelas. Saya mulai menyadari satu hal saat saya berwisata ke negara Thailand, dan saya berkenalan dengan seorang Malaysian Chinese, kami bicara banyak dan dari pembicaraan dengan dia, saya baru mengetahui ternyata perbedaan etnis di Malaysia lebih parah. 

Di Malaysia orang Chinese bicara bahasa Chinese dan terkadang Inggris, sedangkan orang Melayu bicara bahasa Melayu dan Inggris, tidak ada basaha pemersatu disana, mulai dari perbedaan bahasa, tempat tinggal hingga budaya. Itulah yang terjadi di kampung halaman saya, masing-masing sibuk dengan budaya, bahasa sendiri sehingga interaksi dan komunikasi antar budaya menjadi sangat jarang, istilah kata tidak kenal maka tidak sayang. 

Sentak saya langsung berpikir, meski saya tidak terlalu jelas dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Soeharto. Namun ada satu hal yang dilakukan oleh Pak Soeharto yang melarang segala bentuk budaya, bahasa, tulisan berbau Tiongkok "mungkin" bukanlah sebuah hal yang buruk. Buktinya seperti yang terjadi di Indonesia kita sekarang, kita mempunyai satu bahasa Indonesia, yang bisa dipakai dari Sabang sampai Merauke. Kita tidak seperti Malaysia yang masing-masing masih memegang ego budaya sendiri, itu akan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapanpun. Dengan terlepasnya budaya negara asal, warga keturunan harus mempelajari bahasa Indonesia, budaya Indonesia dan dengan makin mengenalnya akan makin cinta sama Indonesia. 

Di Indonesia kita masih sering menghadapi isu SARA . Tapi saya sangat senang, masyarakat yang semakin cerdas sekarang ini sudah tidak bisa lagi dihasut oleh isu tersebut. Pendahulu kita mempuyai pola berpikir sedemikian rupa, memberi jalan untuk kita tetap bersatu meski tidak sama secara fisik, secara suku dan ras. Tapi kita sama-sama lahir di negara Indonesia, menggunakan bahasa Indonesia, bangga dengan negara Indonesia, suka dengan masakan Indonesia. Kenapa kita harus mencari atau melihat pada perbedaan, kita semestinya bangga dengan budaya toleransi, ramah tamah, murah senyum dan gotong royong yang diajarkan sejak dini, itulah peninggalan paling berharga dari nenek moyang kita. 

Cheers

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun