LEBARAN kemarin, tak menyurutkan niat saya untuk tetap mencoba kopi-kopi yang direkomendasikan. Saya yang mudik ke Semarang dan Jogjakarta, jauh-jauh hari sudah woro-woro  ke beberapa teman, untuk menyediakan kopi yang belum pernah saya coba. Dan salah satunya adalah Kopi Semarang.Â
SEKADAR perbandingan saja, kopi yang saya tulis ini kerap dibandingkan dengan Kopi Banaran, meski sejatinya punya karakter rasa yang berbeda. Dan hasil rasa yang saya coba juga nantinya memberi rekomendasi yang berbeda untuk penikmatnya. Oh ya, jujur saja, meski saya lahir dan besar di Semarang, tapi justru saya jarang menyeduh kopi dari kampung sendiri. Maafkan saya Semarangku…
Sudah lama seorang kawan lama [terima kasih Zabriel ‘Gajah’], merekomendasikan kopi yang menurutnya cukup banyak diminati pecinta kopi di Semarang. Sembari browsing, saya menemukan bahwa kopi dengan label KnK – Koffee Resources ini berjenis robusta. Selain itu, KnK ini juga merupakan pelopor coffee roaster di Semarang. Apakah coffee roaster itu? Silakan baca tulisan-tulisan saya sebelumnya.
Secara ekonomi, kopi Semarang sebenarnya punya pasar besar di Eropa. Ekspor kopi ke kawasan Eropa Tengah dan Timur berjalan cukup lama. Pada tahun 2013 mengekspor 40 peti kemas senilai 1,48 juta dolar AS dan tahun 2014 sebanyak 40 peti kemas senilai 1,62 juta dolar AS. Sementara itu, hingga Mei 2015 mengekspor sebanyak 12 peti kemas senilai 520 ribu dolar AS. Nah, persoalannya adalah apakah barang selalu tersedia dalam kapasitas yang diinginkan buyer.
Kembali ke Kopi KnK tadi. Terpampang jelas tipe robusta. Sekadar ngingetin, robusta memiliki variasi rasa netral sampai tajam dan sering dianggap memiliki rasa seperti gandum. Biji kopi robusta sebelum disangrai beraroma kacang-kacangan. Sayangnya jarang terdapat robusta berkualitas tinggi di pasaran. Seperti yang sudah-sudah ketika saya mencoba kopi robusta, kesan pertama selalu aromanya yang tajam dan memenuhi ruangan.
Benar. Ketika pertama menyeduh dengan air panas, harum kopinya begitu kuat. Hanya gumpalan kopinya terasa kasar. Oh ya, kopi ini bukan racikan pabrik, karena yang saya dapat ini kabarnya adalah olahan tangan. Kemudian ada tulisan green bean. Nah, ada penjelasan soal green bean ini. Olahan jenis ini disebut juga dengan beras hijau merupakan hasil dari proses pengeringan, green bean adalah proses kelanjutan dari raw beans dalam pengolahan kopi luwak, kondisinya berupa kopi hijau yang sudah dikelupas kulit arinya serta sudah steril dari kotoran luwak.
Saya menyeruputnya pelan-pelan, mencari rasa yang benar-benar natural dari kopi ini. Ada ampas yang menempel di langit lidah saya, tapi meninggalkan rasa yang kuat. Sedikit asam, tapi nagih. Hati-hati dengan yang berlambung aleman alias manja, karena kopi ini cukup punya pengaruh yang cepat ke lambung. Saya membatasi untuk menghabiskan satu gelas saja, meski rasanya masih cukup mampu tambah segelas lagi.
Anda pecinta kopi yang kebetulan mampir di Semarang, mungkin perlu mencobanya kapan-kapan. Sampai bertemua di tulisan tentang kopi, dari daerah yang berbeda lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H