Mohon tunggu...
DJOKO MOERNANTYO
DJOKO MOERNANTYO Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Laki-laki biasa-biasa saja. Berujar lewat kata-kata, bersahabat lewat dialog. Menulis adalah energinya. Suka BurgerKill, DeadSquad, Didi Kempot, Chrisye & Iwan Fals. Semoga mencerahkan :)\r\n\r\n@personal blog:\r\n#airputihku.wordpress.com\r\n#baladaatmo.blogspot.com #Follow: Twitter: @matakucingku\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[Resensi Buku] Sejarah Kecil, Pejuang Marjinal

20 Juni 2015   13:40 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:43 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa sejatinya yang pantas disebut “pahlawan” itu? Apakah nama-nama yang berseliweran di buku-buku sejarah itu, atau mereka-mereka yang kerap diangkat-angkat oleh media? Bagaimana dengan orang-orang biasa, tapi kemudian tercatat melakukan hal-hal luar biasa dalam lintasan sejarah? Pertanyaan-pertanyaan yang coba diberi tempat oleh Hendi Jo dalam bukunya Zaman Perang – Orang Biasa dalam Sejarah Luar Biasa.

SAYA yakin tak banyak orang mengenal kisah-kisah “kecil” dalam catatan buku ini. Mengapa kata “kecil” saya tekankan, karena memang yang dibahas dan diceritakan di buku ini adalah orang-orang kecil, tidak terkenal, mungkin malah sudah tersisih dalam catatan buku-buku sejarah, tapi sebenarnya mereka adalah pahlawan yang –dalam istilah saya--  gileee beneer….

Kurang ajarnya Hendi, yang secara personal saya kenal dengan panggilan Jipel, memulai kisahnya dengan “jorok”.  Saya tersenyum dan terus terang ngebatin, ada ya kisah itu? Perang tinja! Ketika Kerajaan Mataram sekitar tahun 1628-1629 menggempur Batavia –cikal bajal Jakarta—tersebutlah pasukan bule-bule itu terdesak atas gempuran Kerajaan Mataram. Serbuan yang masiv mmebuat serdadu VOC ketika itu kelimpungan mencari cara menyelamatkan diri. Sampai akhirnya ada salah satu sersan bayaran asal Jerman tiba-tiba beride “aneh”. Bagaimana tidak aneh, ketika dia meminta kawan-kawannya untuk mengumpulkan “beolan” dan menjadikannya peluru ke arah pasukan Kerajaan Mataran yang memilih kabur, daripada kena tahi. “O seytang orang Ollanda de bakkalay samma tay” celetuk pasukan Mataram [hal.6-7].  Oh ya, tahukah Anda celetukan bahasa Melayu itulah yang tercatat pertama kali dalam salah satu buku sejarah di Jerman?

Saya tercenung justru ketika Hendi menulis tentang Ki Amok. Ini nama meriam di daerah Banten. Terletak di depan Masjid Agung Banten dan Benteng Surosowan. Meski pernah menjadi daerah pertahanan yang luar biasa menahan serangan Gubernur Jendral Daendels, kini nasibnya tak terurus. Soal Ki Amok sendiri, adalah salah satu meriam yang canggih pada zamannya. Dibuat oleh tukang-tukang terbaik asal Persia, meriam ini jadi salah satu peringkat pertama untuk menggempur Belanda [hal. 9].

Lalu pernahkah Anda mendengar kisah tragedi perang di Takokak? Takokak adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Cianjur Selatan, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terletak di ujung selatan Cianjur dan ujung Sukabumi. Merupakan kecamatan perbatasan antara Sukabumi dan Sukanegara. Di daerah inilah pernah terjadi kisah “horror” pembantaian penduduk lokal, ditembak dari jarak dekat kemudian mayatnya dibuang begitu saja. Rata-rata tewas dengan sebuah lubang peluru di tengkuk. Seorang pelaku dan saksi sejarah bernama Yusuf Supardi [dijamin Anda tidak bakal menemukannya di buku-buku sejarah mana pun sebelumnya], mengumpulkan 14 mayat dan membawa pergi untuk dikuburkan secara layak. [hal.165].

Cerita yang terserak ini, sebenarnya sudah pernah dimuat di beberapa media. Hendi kemudian “memulungnya” dan menjadikannya satu buku ini. Kelebihan buku ini adalah: alurnya mengalir ringan, meski cerita kisah yang dipaparkan, tentu bukan cerita pendek yang habis begitu saja. Ada perjuangan, pengorbanan dan heroisme, dalam  konteks “marjinal”.  Kita memang seperti membaca potongan kisah [nyata], tapi dalam rasa yang lebih renyah. Tapi perhatikan, tokoh-tokohnya bukan manusa ringan yang [seharusnya] mudah dilupakan begitu saja.

Oh ya, saya suka dengan kovernya. Bagaimana seorang pejuang Indonesia yang tubuhnya pendek, kerempeng berpeci, matanya menatap langsung kepada perwira Perancis [Kapten Dhose] yang lebih tinggi dan besar di depannya.  Tak ada rasa takut ketika perwira Indonesia itu ikut berkacak pinggang di deretan pasukan asing di sekelilingnya. Buku ini dalam kacamata bodoh saya, memberi pemahaman baru: pahlawan adalah tangga terbawah dari perjalanan sejarah. Mereka yang tak tersebut namanya, adalah kesejatian dari perjuangan itu sendiri. Kalau kemudian kita tak mau tahu dan memilih tak tahu, saya harus bilang: Kita [memang] sudah buta.  Hendi Jo menjadikan kita paham,  ada sejarah kecil yang luput. Beruntung, dia memercikkannya dalam buku setebal 247 halaman ini.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun