Mohon tunggu...
DJOKO MOERNANTYO
DJOKO MOERNANTYO Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Laki-laki biasa-biasa saja. Berujar lewat kata-kata, bersahabat lewat dialog. Menulis adalah energinya. Suka BurgerKill, DeadSquad, Didi Kempot, Chrisye & Iwan Fals. Semoga mencerahkan :)\r\n\r\n@personal blog:\r\n#airputihku.wordpress.com\r\n#baladaatmo.blogspot.com #Follow: Twitter: @matakucingku\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kelemahan Jurnalis Musik Sekarang, Teknik Wawancaranya PAYAH

13 Desember 2012   17:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:43 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam teori komunikasi, ada istilah erosi fakta. Ketika apa yang disampaikan kepada pihak kedua, ketiga atau keempat, sudah mengalami erosi dan perubahan dari fakta yang seharusnya tersampaikan utuh. Akibatnya? Antara tidak nyambung atau salah paham. Sayang sekali bukan, ketika fakta tergerus hanya karena kesalahan informasi atau adanya keinginan untuk “memotong” informasi itu.

+++ KETIKA awal menjadi jurnalis, saya mengalami pelatihan bagaimana menembus narasumber dan bagaimana melakukan wawancara yang baik dan benar, sehingga apa yang kita inginkan bisa didapat dengan memuaskan. Masa training yang sekitar 3 bulan itu, membuat saya benar-benar diasah untuk mempersiapkan diri ketika akhirnya harus terjun di lapangan dan keinginan yang benar-benar untuk menjadi jurnalis yang andal. Itu dulu, sekarang berbeda lagi. Dalam sebuah dialog dengan seorang musisi nasional, seorang dosen dan seorang wartawan musik senior, kita melihat adanya perbedaan kapasitas, kualitas dan pengetahuan jurnalis ketika bertanya, wawancara one on one, dan menuangkannya dalam tulisan. Kesimpuan pertama adalah banyak jurnalis yang sebenarnya bukan jurnalis. Artinya, mereka yang bekerja karena memang bidang inilah yang pertama kali menerima mereka bekerja. Hasilnya adalah senang-senang saja, tanpa ada keinginan untuk meng-update diri dengan wawasan, pemahaman dan pencerahan yang bertambah dan bertambah. No Passion.  Oke, kalau passion dianggap omong kosong, paling tidak ada sense of belonging atas profesinya. Jadi tidak hanya menjadi penggembira saja, tapi juga bisa menjadi pennginspirasi lewat tulisan atau fotonya. Lalu apa sebenarnya kajian wawancara yang memadai untuk seorang jurnalis. Sebenarnya secara teori, Anda bisa gugling dan akan menemukan ribuan tulisan yang membantu tentang teknik wawancara. Tapi pengalaman di lapangan, melihat jurnalis-jurnalis baru melakukan wawancara, kualitas pertanyaan dan pendekatan psikologis ke narasumber, terlihat sekali lemah. Usut punya usut, banyak media baru sekarang, tidak memberikan pelatihan jurnalistik yang memadai. Yah hanya mencetak wartawan ber-ID saja, tapi tidak melahirkan wartawan yang berkualitas, tangguh, berani, cerdas, atau penuh gagasan atas pertanyaan. Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam wawancara. Di buku-buku jurnalistik ada, tapi inilah yang saya amati, lihat dan perhatikan di lapangan secara langsung. Tahu Siapa Yang Diwawancara Ini menarik dan lucu [sebenarnya menyedihkan]. Dalam satu jumpa pers, ketika narasumber di depan bertampan bule, semua fotografer memotret dan reporter tulis menyimak apa yang mereka ucapkan. Ketika usai acara, tiba-tiba beberapa jurnalis itu bertanya, “Tadi siapa ya? Dia Terkenal nggak sih?”. Ini pertanyaan sungguhan, bukan becandaan. Wawancara tapi tidak tahu siapa yang diwawancara. Hasilnya apa? Pertanyaan-pertanyaan basi dan standar. Lah wong yang diwawancara saja tidak tahu. Riset Siapa Yang Diwawancara Riset kecil menjadi penting. Sekadar untuk berjaga-jaga supaya kita tidak malu karena salah menyebut nama, salah menyebut judul lagu, atau salah menyebut personel. Kalau perlu bawa catatan kecil supaya tidak terlupa. Data diri dari narasumber menjadi sangat penting secara psikologis, karena narasumber akan bangga ketika yang mewawancarainya ternyata tahu banyak dan detil tetang dirinya. Observasi Pertanyaan Dalam melakukan wawancara juga sebaiknya pewawancara memperhatikan etika dalam mewawancarai narasumber, seperti mendekatkan diri terlebih dahulu kepada narasumber, ketika narasumber sudah merasa nyaman kepada kita, maka ia akan lebih leluasa dalam menjawab pertanyaan. Kemudian observasi pertanyaan adalah hal penting. Jangan sampai terrjadi pengulangan pertanyaan yang itu-itu saja. Atau pertanyaan standar yang mungkin nyaris selalu ditanyakan tiap detik. Belajar melihat sudut yang berbeda dan unik. Percayalah, ada jutaan sudut pandang yang bisa ditanyakan kepada narasumber. Kecuali Anda memang pemalas dan ingin cepat-cepat selesai. Maaf, kalau begitu Anda cuma buruh, bukan jurnalis. Mempersiapkan Diri Utuh Mempersiapkan diri,  artinya harus menguasai terlebih dahulu apa yang harus ditanyakan kepada narasumber. Tidak begitu saja melakukan wawancara walaupun sudah memilki pertanyaan yang telah terstruktur, tetapi juga harus menguasai topik atau tema dalam mewawancarai narasumber tersebut sehingga tidak mempertanyakan kembali apa yang sudah dijawab oleh narasumber. Lebih baik bersiap lebih kuat, ketimbang nanti terlihat lemah dan tidak fokus pada bobot pertanyaan. Ketika wawancara berlangsung pewawancara juga harus peka dan sadar terhadap keadaan lingkungan sekitar dan keadaan narasumber. Dimana kita harus menghargai, menangkap dengan benar jawaban narasumber, memperhatikan, dan berempati dengan jawaban yang diberikan oleh narasumber. Sehingga kita dalam menganalisa jawaban nantinya tidak salah. Harus Tercerahkan, Bukan Terbodohi Kita yang harus mengatur alur wawancara, bukan narasumber kita. Tentu dengan menguasai hal-hal di atas yang sudah saya tuliskan tadi. Agak menggelikan ketika seorang jurnalis mewawancarai musisi yang kebetulan dia ngefans. Jangan bertingkah seperti fans dengan terlihat heboh, kecentilan, cari perhatian atau bertanya dengan gaya fans yang kegirangan. Itu hanya membuat Anda terlhat bodoh dan kekanak-kanakan. Justru itu kesempatan Anda untuk mengorek lebih banyak hal dibanding orang lain yang tidak ngefans. Kendalikan diri Anda, karena Anda jurnalis, bukan fans. Tidak usah jejeritan, lompat-lompat kegirangan dan memeluk dengan meriah. Wawancara harus membuat Anda tercerahkan, bukan malah terbodohi dengan jawaban-jawaban basi karena pertanyaan Anda yang tidak fokus tadi. Pertanyaan Cadangan Selalu siap dengan pertanyaan cadangan. Kalau Anda sudah membuat list pertanyaan, sediakan pertanyaan cadangan. Sehingga kalau tiba-tiba “ditodong” wawancara lebih lama, tidak kelimpungan dan gagu tiba-tiba. Meski biasanya kalau wawancara musisi asing, Anda hanya diberi waktu wawancara basa-basi selama 3-5 menit.  Bayangkan, Anda harus memberikan satu atau dua pertanyaan cerdas, supaya waktu yang kurang masuk akal itu bisa terisi. Jam terbang, kemudian penguasaan materi menjadi kata kunci untuk melakukan wawancara yang sehat, baik dan benar. Apa yang saya sampaikan di atas, sebenarnya bukan hal baru. Tapi ketika mengamati di lapangan, ternyata hal-hal yang saya papar di atas amat sering terjadi. Ketika jurnalisme menjadi ilmu kodian, ketika jurnalistik menjadi persinggahan, dan ketika jurnalis menjadi kacung kampret semata, tulisan yang tersampaikan hanya jadi sampah basi. Sayang bukan sebutan gagah sebagai wartawan atau jurnalis-nya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun