Mohon tunggu...
DJOKO MOERNANTYO
DJOKO MOERNANTYO Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Laki-laki biasa-biasa saja. Berujar lewat kata-kata, bersahabat lewat dialog. Menulis adalah energinya. Suka BurgerKill, DeadSquad, Didi Kempot, Chrisye & Iwan Fals. Semoga mencerahkan :)\r\n\r\n@personal blog:\r\n#airputihku.wordpress.com\r\n#baladaatmo.blogspot.com #Follow: Twitter: @matakucingku\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Rapat" Eks Tapol Dibubarkan? Simbiosis FPI dan Aparat?

17 Februari 2014   09:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:45 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang, Minggu [16/2/2014] sekitar pukul 13.00 WIB, saya mendapat telepon dari ibu. Beliau mengabarkan bahwa ayah saya, Ngunandar, bersama 10 orang kawannya, sekitar pukul 11.00 WIB dibawa oleh “intel” kepolisian di Semarang, karena dianggap mengadakan rapat ilegal. Selain intel, menurut penjelasan kakak saya, Dyah Bintarini, yang juga sempat dibawa ke kantor polisi, ada anggota FPI yang sebelumnya mengancam “menyerbu” kalau pertemuan tidak dibubarkan.

Ada beberapa hal menarik dari peristiwa yang dialami ayah saya dan kawan-kawannya, yang notabene memang mantan tahanan politik dari Nusakambangan dan Pulau Buru. Benar, ayah saya dulu adalah anggota Partai Komunis Indonesia [PKI]. Dan itulah yang kemudian “dibesar-besarkan” oleh beberapa media yang entah kebetulan atau tidak, sudah standby di rumah keluarga kami, di Srondol Kulon, Banyumanik Semarang.

Menurut penjelasan ayah kepada saya, kumpul-kumpul –betul, istilahnya memang begitu yang dipakai—dengan beberapa kawan dan sahabat, yang kebetulan memang eks tapol ini, sudah dirancang jauh-jauh hari. Dan bukan kali pertama hal itu dilakukan. Ibarat kekerabatan, nyaris setiap bulan mereka bergiliran menjadi tempat untuk sekadar ngobrol, makan bareng dan diskusi ringan soal kenegeraan. Oh ya, beliau yang saya maksud adalah ayah dan teman-temannya yang rata-rata sudah berusia 70 tahun ke atas. Jadi ngumpul sudah seperti klangenan saja buat mereka.  Apalagi kemudian kondisi ayah saya sedang sakit, jadi sekaligus membezuk ayah.

Dan inilah “keanehan” yang kemudian muncul. Sekitar pukul 11.00 Tiba-tiba muncul dua orang berjubah putih, berjanggut dan mengaku anggota FPI. Mereka datang diantar anggota kepolisian [intel], dan meminta kumpul-kumpul ini dibubarkan. Kalau tidak, kata dua orang ini, akan diserbu oleh kawan-kawannya –mungkin anggot FPI lainnya—yang sudah siap meluncur ke lokasi.  Jelas-jelas ancaman “penyerbuan” itu dilontarkan oleh anggota FPI itu, tapi yang terjadi adalah ayah dan 10 kawannya diminta ikut ke mobil polisi yang sudah menunggu diluar. 3 orang –termasuk ayah dan kakak saya—dibawa ke Poltabes Kalisari, sisanya dibawa ke Polsek Banyumanik.  Dan saya tidak tahu, kemana anggota FPI yang tampaknya merasa “berjasa” sudah membubarkan acara kumpul-kumpul priyayi sepuh itu.

Ternyata pula, sudah ada beberapa wartawan yang ikut dalam kejadian itu. Nanti akan saya ulas beritanya. Dan ternyata pula, beberapa jam sebelumnya, sudah ada angota polisi yang ngetem di dekat rumah “menunggu” anggota FPI datang. Lucu bukan? Bukan FPI yang diamankan, apalagi ada embel-embel menyerbu, tapi para pinisepuh yang sedang kumpul yang dibawa dan diinterogasi. Beruntunglah kakak saya yang ikut dibawa adalah salah satu caleg dapil 1 Jawa Tengah, seorang yang bekerja di lembaga bantuan hukum di Jakarta. Paling tidak, punya kapabilitas menjelaskan kepada polisi-polisi dan FPI itu,  hak dan kewajiban aparat ketika melakukan aksinya.

Saya sangat yakin, polisi dan FPI tentu akan kebingungan kalau diajak diskusi tentang komunisme, marxisme atau leninisme. Patokan saya adalah diskusi, karena kumpul ini dianggap sebagai gerakan baru dari eks tapol, khususnya PKI. Dalam wacana dialog –kalau masih mampu berdialog—tentu ada penjelasan ilmiah tentang apa yang menjadi kekuatiran dari polisi dan FPI itu. Tapi lagi-lagi keyakinan saya adalah, “mampukah polisi dan FPI itu berdialog dengan cerdas?”. Dan kumpul itu juga bukan diskusi aneh-aneh.

Sorotan Media

Karena ada beberapa media yang ikut dalam kejadian itu, saya mencoba menganalisa bagaimana jurnalis di Semarang memberitakan kejadian itu.

Liputan6.com - Pertemuan Eks Tapol di Semarang Dibubarkan Polisi

Dalam reportasenya, wartawan media online ini mengutip Kasat Intelkam Polrestabes Semarang, AKBP Amad Sukandar yang menjelaskan, pihaknya membubarkan pertemuan tersebut karena mendengar adanya informasi dari warga bahwa ada pertemuan yang dihadiri mantan tapol yang diduga sebagai Liga Komunis Indonesia (LKI). Sungguh, saya yang dekat dengan ayah pun baru kali ini mendengar ada LKI. Dan itu amat menggelikan buat saya. “Hanya 10 yang dibawa, sisanya lari,” begitu kalimat pak polisi itu. He..he..he, mau lari kemana pak? Kalau mengeluarkan statemen, mbok iyao yang rada cerdas dan masuk akal. Mereka sudah di atas 70 tahun semua, santai, dan dibawa.

Merdeka.com - FPI bubarkan rapat di rumah eks tapol PKI, 10 orang diperiksa

Media online ini jelas-jelas menyebut FPI. Dan seperti yang sudah saya tulis di atas, dua orang yang datang awal, mengaku FPI [dan diantar aparat]. Dalam salah satu kalimatnya, media ini menuliskan: “Dalam penggrebekan yang dilakukan oleh petugas, ada beberapa dokumen yang dibawa.” He..he..he, saya harus tertawa lagi. Siapa yang digrebeg ya? Agak rancu dan bias artinya. Karena datang dan dibawa karena ada ancaman. Dan dokumen apalagi? Kalau buku-buku yang mengupas tentang peristiwa G 30 S memang ayah saya punya banyak, tapi itu juga banyak dijual di Gramedia atau toko buku lainnya. Yang agak pintarlah.

Republika.co.id - Polisi Bubarkan Rapat di Rumah Eks Tapol

Kasat Intel Poltabes Semarang mengatakan: "Kami memperoleh laporan tentang akan digelar rapat di tempat tersebut." Memperoleh laporan atau pura-pura nabok nyilih tangan dengan menggelindingkan FPI dulu sebagai tameng? Apakah salah kalau saya kemudia berasumsi, ada “kerjasama” FPI dan aparat? Maaf ya, kalau rapat kok kesannya ada sesuatu yang luarbiasa akan dilakukan dan dibicarakan. Kalau pun toh mereka eks tapol ini bernostalgia tentang masa lalu, bercerita soal pengalaman ditahan, disiksa aparat dan nyaris dibunuh ketika itu,  apakah itu menjadi dosa besar dan kesalahan fatal?

Detik.com - diduga-bahas-paham-terlarang-10-lansia-diamankan-polisi-di-semarang

Kali ini membahas sesuatu yang dianggap terlarang, adalah kesalahan dan perlu diamankan. Agak aneh buat saya karena membicarakan sesuatu yang sebenarnya bisa jadi dialog cerdas, malah masih dijejali dengan ketakutan-ketakutan yang tidak penting.

Diluar bahasan di atas, di Semarang sedang ramai diskusi Buku tentang Tan Malaka yang –kabarnya—juga ditolak FPI dan Pemuda Pancasila. Saya kembali yakin, kalau penolak-penolak riset ilmiah ini tidak tahu apa yang mereka tolak. Tapi kalau otak sudah mampet, pikiran sudah cupet, kemampuan mencerna dengan cerdas, nol besar, penjelasan apapun akan jadi sia-sia. Dan yang harus kita lawan adalah “ketidakcerdasan sia-sia” itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun