Mohon tunggu...
Didit dit
Didit dit Mohon Tunggu... Guru -

mensyukuri hidup dengan cara menjalaninya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Penyebar Hoax dan Generasi Auto Copas

22 Januari 2017   07:22 Diperbarui: 22 Januari 2017   16:01 1593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Shutterstock

Penyebar hoax adalah generasi gamang di era tsunami informasi. Mereka melek informasi, tapi buta literasi. Dan itu membuat keberadaan mereka berbahaya. Karena kebanyakan besar penyebar hoax biasanya tidak tahu (atau tidak mau tahu) informasi yang mereka sebarkan adalah hoax. Mereka adalah tipe manusia bodoh yang tidak tahu kalau mereka bodoh. Meminjam kata Pak Ganjar, jago cerewet tanpa literasi. Wabahnya menggila pada pilpres Jokowi vs Prabowo beberapa tahun silam, dan terus menggila hingga sekarang. Membuat SBY curhat di Twitter. Membuat masyarakat gerah dan memunculkan gerakan anti hoax di beberapa tempat.

Penyebar hoax tidak hanya melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang baik, yang harus menjaga suasana kondusif dengan hati-hati mengolah dan memilah informasi. Mereka juga mencerabut hak warga negara untuk mendapatkan asupan bergizi berupa informasi yang sehat. Selain itu, mereka adalah prajurit-prajurit pembunuh budaya literasi, dan penyebar kebodohan, virus yang membuat sebuah negeri berada pada posisi ke 60 dari 61 negara dalam literasi.

Penyebar hoax bebal bak Peter Griffin, pandir bak Akihisa Yoshii. Tapi keduanya masih jauh lebih baik, sebab keduanya tokoh-tokoh kartun yang sengaja dibuat bebal untuk menghibur dan memberikan pelajaran bagi penonton. Tidak seperti mereka, penyebar hoax tidak membuat otak jadi lebih sehat, justru nutrisi pikiran akan terserap, mereka adalah vampir tanpa taring,  menghisap, dan merugikan. Lebih buruk lagi, mereka bak kutu di badan hewan peliharaan.

Seringkali, penyebaran hoax lahir dari prasangka-prasangka jahat yang mendekam di kepala, prasangka jahat, saya rasa, seperti penyakit yang sejuta kali lebih berbahaya dari kanker otak stadium akhir.

Anda tahu, prasangka selalu mengaburkan fakta-fakta. Itu pelajaran yang saya dapatkan dari membaca novel The Atonement karya Ian McEwan’s dan menonton film Pride and Prejudice yang diangkat dari novel klasik dengan judul yang sama karya penulis inggris, Jane Austen.

Orang yang penuh prasangka cenderung memercayai informasi apa pun yang diterima oleh otaknya selama hal itu sesuai dengan prasangka yang ia pelihara. Ia malas membaca buku, ogah mencari fakta-fakta, emoh membandingkan dengan informasi lain, tidak tergerak bertindak selayaknya detektif, menyelidiki asal muasal informasi, mencari tahu apa info itu sudah divalidasi? Siapa yang menulis? Apa latar belakang penulisnya? Apakah ada motif tertentu? dan lain sebagainya.

Itu bukan kebiasan sehat menurut saya, tapi ada yang lebih buruk dari itu. Entah mengapa, orang yang penuh prasangka gemar sekali mengajak orang lain memercayai prasangka-prasangka yang sama yang ada dalam otaknya. Mereka melakukan berbagai cara untuk membuat orang percaya pada prasangka mereka. Yang umum mereka lakukan adalah menyebarkan prasangka mereka lewat social media, dalam berbagai bentuk, tulisan singkat, berita palsu, atau meme provokatif.

Kebiasan orang macam ini yang sangat mengganggu bagi saya adalah, mereka hobi copy paste informasi begitu saja. Kadang saya membayangkan, bagaimana cara kerja otak mereka. Dalam benak saya bertanya-tanya, apa mungkin otak mereka disetting dalam mode auto copas ketika membaca informasi yang mendukung prasangka mereka?

Jika iya, maka saya punya julukan yang pas bagi mereka, Generasi Auto Copas.

Seperti orang yang bekerja sebagai pelacur rentan terhadap virus HIV, generasi auto copas rentan menjadi korban (sekaligus pelaku) penyebaran hoax. Saya berharap generasi auto copas ini seperti karya-karya populer, sebentar meledak kemudian hilang bersamaan dengan meredupnya selera pasar. Tapi sayangnya, dengan memiliki harapan seperti itu, saya merasa seperti kungkang yang berharap menang lomba makan tahu bulat dengan kera berekor panjang. Generasi auto copas tidak seperti karya pop, mereka seperti cendawan di musim penghujan. Tumbuh subur di negeri ini, negeri dengan minat baca hanya 0,001, artinya hanya ada 1 orang yang gemar membaca dari 1.000 orang.

SBY merasa prihatin, seperti yang saya bilang di depan. Dalam cuitannya di Twitter beliau berkata “Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah dan penyebar hoax merajalela. Kapan rakyat dan yang lemah menang?”

Beliau telat mengeluarkan statement itu sekarang. Juru fitnah dan penyebar hoax merajalela sudah sejak akhir masa pemerintahannya, ketika dua kandidat beradu argumen, bersaing untuk jadi RI-1.

Mustofa Bisri, tokoh sepuh dari Rembang, mengaku resah terhadap penyebar hoax dan generasi auto copas. Beliau bahkan menyamakan masyarakat sekarang seperti Habil dan Qabil, yang satu memangsa yang lain, yang satu memperlihatkan keganasannya kepada yang lain. Beliau seperti ingin mengatakan kepada kita, para penyebar hoax, generasi auto copas, adalah Qabil-Qabil baru di era modernitas.

Dengan sangat satir dan menohok Gubernur Jawa Tengah, Pak Ganjar mengatakan, Indonesia salah satu negara peringkat terbawah dalam literasi, tapi paringkat ke-5 dalam soal berkomentar. “Jadi kita itu jago cerewet tanpa literasi,” begitu ujarnya pada saat acara masyarakat anti hoax digelar di Semarang.

Apa kabar Pak Jokowi?

Pada peringatan ulang tahun Gontor tahun lalu, dalam pidatonya, saya masih ingat Pak Jokowi mengaku geram melihat perilaku pengguna media sosial di Indonesia yang acapkali menebar kebohongan dan kata-kata tidak manusiawi. Mungkin beliau merasa hal ini adalah tamparan bagi jargon revolusi mental yang ia jual pada pemilu yang lalu. Atau beliau masih menyimpan kekesalan mengingat baru-baru ini beliau menjadi korban keganasan penyebar hoax lewat Jokowi Undercover yang membaca halaman pertamanya saja membuat saya seperti memakan bangkai berusia tiga belas purnama.

Saya sependapat dengan Pak Ganjar. Saya bukan orang Jawa Tengah, juga bukan simpatisan PDI-Perjuangan, maka pilihan saya untuk sependapat tidak berdasar kepentingan apapun. Saya suka pendapat beliau yang menghubungkan perilaku hoax dengan buruknya budaya literasi di Indonesia yang membuat banyak sastrawan nangis darah dan maki-maki dalam karya-karyanya.

Rendahnya budaya literasi, rendahnya minat baca, rendahnya kemauan dan kemampuan untuk menulis mendorong generasi kita menjadi generasi serampangan, sembarangan, pemalas, dan auto copas.

Saya punya sedikit saran bagi orang-orang semacam ini. Karena mereka adalah pesakitan, maka saya tawarkan obat. Membaca dan menulislah banyak-banyak, berhenti copy paste, berhenti jadi penyebar, kreatiflah, berubahlah menjadi penyaji, jika tidak sanggup maka diamlah. Jika memiliki gagasan, ide, sesuatu yang ingin dibaca banyak orang, buatlah karya orisinil milik sendiri, jangan cuma salin dan tempel, sangat tidak elegan. Mungkin saran saya tidak akan berhasil sepenuhnya, tapi mungkin juga akan berhasil, siapa yang tahu karena belum dicoba?

Menulis, Anda tahu? mendorong orang-orang untuk lebih giat membaca dan mengumpulkan fakta-fakta. Menulis mendorong orang-orang untuk merenung, sibuk menenun kata-kata, dan membuat mereka kehabisan waktu untuk berprasangka jahat dan menyalin berita-berita palsu. Menulis mematikan mode auto copas dalam otak mereka.

Saya sedikit sangsi mereka akan mau mendengar apa yang saya sampaikan, tapi saya tidak boleh berhenti berharap, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun