Mohon tunggu...
Didit dit
Didit dit Mohon Tunggu... Guru -

mensyukuri hidup dengan cara menjalaninya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mencari Tuhan Lewat PK

24 Mei 2015   01:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:40 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada suatu terminologi yang menarik, tentang perjanjian antara Adam dengan Tuhan. Jadi, sebelum Adam diturunkan ke bumi, Tuhan berpesan akan memberinya gelar maha dahsyat yang disebut khalifah. Dengan gelar tersebut, Adam dinobatkan sebagai makhluk paling mulia dari segala makhluk, dengan akalnya ia didaulat untuk memimpin bumi, melestarikan jenisnya, dan memanfaatkan kekayaan alam yang Tuhan beri. Selain kekuasaan tertinggi itu, ternyata Tuhan juga memberi Adam sebuah misi yakni untuk menemukannya. Kelak, jika masa baktinya di bumi sudah tamat, Adam diminta untuk kembali kepada-Nya.

Terminologi tersebut entah benar terjadi, entah tidak, tapi ada sanepa atau kiasan-kiasan yang didalamnya mengandung makna yang bisa digali.

Jadi, selain menjadi khalifah, tugas lain manusia adalah menemukan Tuhan dan bergabung bersama-Nya ketika tubuhnya telah lepas dari kefanaan. Beberapa ada yang berhasil menjalankan tugas itu, beberapa yang lain gagal.

Paska zaman Adam, manusia berkembang biak, jumlahnya semakin banyak, terjadi peningkatan kuantitas, tapi tidak dengan kualitas mental spiritual. Artinya, makin lama, makin banyak manusia yang gagal menemukan Tuhan. Oleh sebab itu, Tuhan menurunkan nabi dan rasul juga wahyu-wahyu, yang di awal-awal hanya berupa lembaran-lembaran, Ten Commandments, sepuluh perintah Tuhan, adalah salah satu contohnya.

Manusia berkembang terus dan dalam perkembangannya terjadi kemunduran, Tuhan tidak lagi menurunkan wahyu dalam lembaran, melainkan kitab suci yang terus disempurnakan, dan hasil finalnya (berdasarkan keimanan saya pribadi) adalah AL Quran.

Demi apa Tuhan melakukannya?

Agar manusia tidak tersesat. Kitab suci merupakan peta menuju harta karun terpendam bernama Tuhan.

Lalu Untuk apa menemukan Tuhan?

Nah, pertanyaan retoris tersebut dibahas dalam film komedi satir dari India yang berjudul PK. Film tersebut sudah beredar sejak tahun kemarin, tapi baru sempat saya tonton beberapa hari yang lalu.

Saya tidak akan membahas siapa bintang, atau sutradara, atau aspek-aspek dalam bidang perfilman lainnya, sebab pengetahuan saya tentangnya amat sedikit. Satu-satunya yang saya tahu, pemeran utama dalam film ini adalah pemeran utama dalam film komedi satir yang meledak beberapa tahun sebelumnya, 3 idiots.

Jika dalam 3 idiots, yang jadi fokus utama adalah permasalahan pendidikan, budaya pengajaran, juga pola pikir tentang kesuksesan. Dalam PK, permasalahan yang diangkat lebih serius, agama.

Mengangkat dan mengkritisi Tuhan (yang dilembagakan dalam agama) adalah pekerjaan berisiko besar. Masih ingat Da Vinci Code? Satanic Verse? Atau cerpen Langit Semakin Mendung? Karya-karya tersebut dituding melecehkan Tuhan dan kepercayaan, dan akibatnya, pembuatnya dituntut macam-macam, ada yang dipenjara, bahkan dihalalkan darahnya.

Melihat PK saya jadi ingat Abu Nawas. Filsuf kocak yang punya banyak trik untuk menyengat otak-otak rakyat dan penguasa yang tertidur sebab dininakbobokan kepercayaan terhadap tuhan yang dikemas rapi, apik, tak boleh dicela, dalam sebuah produk bernama agama. Sengatan-sengatan dalam film ini serupa dengan sengatan Abu Nawas, nyentil, tapi tidak menyakitkan. Membuat orang terpukul tanpa merasa sakit.

PK menyentil habis kemapanan seseorang dengan kepercayaannya. Ia mengobrak-abrik agama, membedahnya, menyorongkan isi perut agama ke muka pemeluknya, dan menghantam keras kepala penonton dengan pertanyaan, siapa Tuhan sebenarnya?

Apakah film ini mendorong orang untuk jadi ateis atau memeluk lebih dari satu agama?

Menurut saya tidak. Film ini justru membuat mata saya terbuka. Manusia, pada hakikatnya adalah entitas yang selalu gelisah dan bertanya-tanya tentang hakikat Tuhan. Barangkali sudah tertanam di dalam gen manusia pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Tapi, tidak semua orang cukup peka untuk menelusuri misteri dan menemukan jawaban. Sebagian besar orang merasa nyaman dan nrimo dengan apa yang ada, sebagian lain terlalu sibuk dengan dunia, terlalu lelap dengan kenikmatan, hingga kegelisahan dan pertanyaan tentang Tuhan di lubuk hatinya tertimbun sesampahan.

Ibrahim, dan Muhammad, barangkali juga Budha, adalah orang-orang yang memiliki kepekaan tinggi untuk mengentaskan kegelisahan dalam hati mereka tentang hakikat Tuhan, mereka melakukan tindakan-tindakan pencarian yang dianggap nyeleneh demi memuaskan dahaganya akan Sang Maha Tinggi. Seperti PK.

Bayangkan, jika Anda adalah makhluk asing dari luar angkasa yang tidak tahu menahu tentang segala budaya dan adat istiadat suatu daerah. Tiba-tiba Anda mendapatkan musibah besar yang membuat Anda tak bisa pulang. Oleh seseorang Anda diberi informasi untuk meminta pertolongan kepada Tuhan.

Tapi, Tuhan yang mana?

Ibrahim menduga Matahari adalah Tuhan, tapi kepercayaan itu lenyap seketika matahari tenggelam, ia lalu menduga bulan sebagai Tuhan, dan seterusnya.

Perjalanan serupa dialami PK. Mula-mula dia meminta tolong di kuil, berharap dewa-dewa mau menolongnya, setelah gagal, dia menjumpai patung Yesus di gereja, tanpa ia sengaja, PK nyasar ke masjid dengan membawa anggur, karena mengira Tuhan di masjid menerima anggur sebagai persembahan sebagaimana Tuhan di gereja.

Karena mengalami kekerasan-kekerasan yang ditimbulkan oleh pemuka masing-masing agama, PK mengambil kesimpulan yang menggelitik. Ia bilang.

Tuhan bukan cuma satu, tapi ada banyak. Tuhan semacam perusahaan. Setiap perusahaan memiliki manajer yang berbeda. Setiap manajer menentukan aturan-aturan yang tak sama.

Melihat ritual-ritual dan budaya yang berbeda dalam setiap agama, membuat PK tertegun. Apakah ia harus berdoa dengan bersujud, atau mendekapkan tangan. Apakah ia harus memanggil Tuhan dengan lonceng atau dengan pengeras suara. Di puncak kebingungannya PK merasakan kekecewaan yang amat sangat sebab tak satupun Tuhan menjawab pertanyaannya.

Di tengah kebingungan tersebut PK membuat sebuah pesan yang ia sebarkan ke seluruh penjuru kota. Tuhan Menghilang, barang siapa yang menemukannya harap hubungi PK.

Apakah Tuhan dideskreditkan dalam film ini, ataukah dilecehkan.

Tidak, bukan Tuhan yang dipertanyakan PK, melainkan tingkah polah manusia dalam memaknainya.

Manusia mengaku Tuhan maha mendengar, tapi mengapa membuat patung dan memanggilnya lewat pengeras suara. Manusia mengaku Tuhan maha adil, tapi mengapa Dia memerintahkan manusia memandikannya dengan susu alih-alih memerintahkan agar susu itu diberikan kepada fakir miskin. Manusia mengaku Tuhan maha pengasih, tapi mengapa ada orang yang meledakkan bom di stasiun kereta atas nama Tuhan. Orang bilang Tuhan maha perkasa, tapi berbondong-bondong mereka mengangkat senjata untuk melindungi-Nya. Apakah Tuhan tidak bisa melindungi dirinya sendiri hingga butuh perlindungan.

Kalau begitu.

Apa fungsi agama?

Untuk apa ada agama?

Jangan-jangan selama ini kita salah sambung dengan Tuhan?

Jangan-jangan ada orang lain yang sengaja berolok-olok atas nama Tuhan agar kita bertengkar?

Maka siapa saja yang menonton film ini dengan hati yang terbuka, pikiran yang jernih akan terketuk nuraninya. Tuhan menurunkan kitab suci kepada umat manusia sebagai peta, sebagai petunjuk, agar manusia berupaya menemukan-Nya dalam hiruk pikuk kehidupan yang syarat kepentingan, ketakutan, ketidakadilan dan keserekahan. Tuhan memberi kita obat, penerang, cahaya.

Thomas Alfa Edison boleh berbangga menemukan bohlam untuk menerangi jagat raya, tapi tetap saja penemuannya tak akan mampu menerangi bagian paling penting dan paling dasar dari manusia, HATI dan PIKIRAN. Hanya cahaya dari Tuhan yang bisa. Oleh sebab itu kita membutuhkan-Nya.

Lantas, Tuhan yang mana?

Tuhan yang ada dalam nurani kita sendiri. Tuhan yang kita temukan lewat pengalaman pribadi, bukan Tuhan yang kita peroleh dari kata pendeta A, kata ustaz B, katanya, dan katanya.

Jangan biarkan orang lain membatasi hubungan kita dengan Tuhan. Jangan bertuhan lewat perantara orang lain. Jangan percaya 'katanya-katanya'. Beribadah, dan berbincang dengan Tuhan adalah privasi kita, jangan mau disuruh-suruh ritual begini ritual begitu.

Boleh mendengar masukan dari orang lain tentang tata cara beribadah, tapi tetap saja, kita berdaulat penuh untuk menentukan bagaimana rupa hubungan kita dengan Tuhan.

Itu saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun