Selain itu pusat-pusat pendidikan keagamaan juga amat berpengaruh dalam menjaga kebinekaan. Kita dapat melihat bagaimana pesantren sejak dulu tak mendidik santrinya untuk membenci orang-orang yang berbeda madzhab maupun agama. Mereka bahkan bisa menerima kehadiran tamu berbeda agama yang ingin melihat secara langsung kehidupan di pesantren.
Mereka yakin berinteraksi dengan orang yang beragam latar belakang malah menumbuhkan kesadaran hidup bersama sebagai masyarakat multi-kultural. Para Kiai tak pernah mengkhawatirkan santrinya berinteraksi dengan penganut agama lain sebab mereka telah menanamkan akidah Tauhid dan bagaimana hidup bermasyarakat kepada santrinya.
Jadi aku mengingatkan kembali kepada siapapun bahwa, kemiskinan bukan akar radikalisme maupun terorisme. Adapun pelaku teroris memiliki sentimen negatif terhadap kesenjangan ekonomi memang iya namun itu bukan pemicu mereka bergabung dalam gerakan ekstrem dan melakukan aksi terorisme.
Kemiskinan adalah persoalan pemerintah yang tak kunjung selesai tertangani karena memang mereka yang bermain dalam urusan politik tidak pernah benar-benar berpihak kepada kaum miskin dan marjinal.
Perlu diskusi lebih mendalam untuk menguji pendapatku soal keterputusan budaya (uprooted culture) sebagai akar intoleransi dan ekstremisme yang pada waktunya memicu aksi terorisme. Dalam hal ini perlu keterlibatan multi pihak di luar aparat keamanan. Sudah saatnya persoalan ini dibahas di luar dari tinjauan security-act saja.
Boleh jadi kita perlu diskusi dari tinjauan antropologi, lingkungan, teknologi, dan etnologi.
Selamat memikirkan tindaklanjutnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H