Mohon tunggu...
Mataharitimoer (MT)
Mataharitimoer (MT) Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

menulis sesempatnya saja | tidak bergabung dengan partai politik apapun Buku yang ditulis : Jihad Terlarang (2007, 2011), Guru Kehidupan (2010), Biarkan Baduy Bicara (2009), Ekspedisi Walisongo (2011). Bang Namun dan Mpok Geboy (2012)\r\n \r\nJabat erat!\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memahami Multikulturalisme dari Pesantren

24 April 2011   08:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:27 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu, 23 April 2011 Indonesian Center for Deradicalization and Wisdom (ICDW) menyelenggarakan seminar tentang ketahanan agama dalam keberagamaan di Indonesia. Seminar tersebut dihadiri oleh perwakilan pondok pengurus dan para santri pesantren yang ada di Bogor, perwakilan ormas pemuda, dan pemerintahan. ICDW menggagas seminar ini dalam rangka membuka ruang dialog kepada audiens tentang sikap keberagamaan dalam keberagaman hidup beragama. Konflik antar pemeluk agama yang terjadi di Indonesia masih kerap terjadi. Pada tingkat grass-root, konflik tersebut bisa berakibat sangat fatal, mulai dari saling cerca hingga saling bunuh. Ini adalah sebuah kenyataan pahit yang masih harus kita saksikan. Tetapi sebenarnya konflik tersebut dapat diantisipasi apabila para tokoh agama dapat menjadi panutan dalam menyikapi keberanekaragaman. Tokoh-tokoh agama mestinya bisa membawa iklim sejuk di kalangan jamaah. Saat memberikan sambutan, direktur ICDW, Mataharitimoer mengingatkan tentang bagaimana menyikapi perbedaan. Tuhan menciptakan kodok dalam beragam spesies. Begitupun dengan hewan lainnya. Apalagi terhadap penciptaan manusia. Perbedaan tersebut merupakan kuasa Tuhan agar manusia bisa menciptakan keharmonisan. "Kita bisa menyatakan ratusan alasan untuk menunjukkan perbedaan keyakinan. Tetapi, kita punya ribuan alasan untuk menciptakan keharmonisan" kata MT. Seminar sehari ini menampilkan 2 orang narasumber. Pertama adalah Profesor Mark Woordward, seorang peneliti keagamaan dan budaya Indonesia dari Arizona State University. Kedua adalah Ir. I Gde Suratha, MMA, dari Kesbangpol Kemendagri RI. Dalam kesempatan itu, Profesor Mark Woodward menyampaikan bahwa istilah pluralisme sama sensitifnya dengan istilah Islam maupun kristen. Di wilayah yang mayoritas Kristen, amat beresiko jika kita menyampaikan peristilahan Islam. Begitupun sebaliknya jika kita menyampaikan peristilahan Kristen di kalangan Islam. Sedangkan pluralisme dapat saja menyinggung kedua agama, karena umumnya pluralisme kadang dianggap sebagai kalangan yang anti agama samawi. "Saya lebih suka menggunakan istilah multikulturalisme. Itu lebih sejuk ketimbang pluralisme dan tidak menafikan perbedaan karena konteksnya adalah kebudayaan. Multikulturalisme tidak mengganggap semua agama sama, tetapi memposisikan setiap agama memiliki karakteristik dan norma yang berbeda tanpa menyudutkannya." demikian kata Profesor yang datang ke Indonesia sejak tahun 1970 itu. [caption id="" align="alignnone" width="539" caption="Prof. DR. Mark Woodward, Fauzy Ba"][/caption] Ir. I Gde Suratha menyampaikan fakta dari tahun ke tahun tentang konflik pemeluk agama di Indonesia. Dalam makalahnya, beliau menghimbau agar para pemimpin agama dapat menjadi teladan dalam mengurangi resiko konflik sesuai dengan panduan yang telah diberikan pemerintah. "Itulah peran pemimpin agama dalam menciptakan keharmonisan hidup beragama. Jika mereka lengah, bisa saja peran mereka diambil alih oleh pihak-pihak yang menginginkan konflik terus terjadi." kata pembicara yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Kesbangpol Kemendagri RI. Meskipun menyampaikan makalah dalam perspektif yang berbeda, kedua pembicara memiliki kesimpulan yang sama, yaitu peran lembaga pendidikan dalam menumbuhkan sikap toleran dalam keberagaman hidup beragama. Pesantren adalah salah satu lembaga yang tepat untuk menjadi panutan dalam menyikapi perbedaan. Banyak generasi muda yang dididik di pesantren, memiliki sikap yang lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan. Hal ini dilandasi oleh nilai-nilai universal yang menjadi "makanan sehari-hari" di dunia pesantren. "Lembaga pendidikan -seperti pesantren Daarul Uluum- selalu aktif dalam mendidik generasi muda untuk secara dewasa menyikapi perbedaan sehingga sikap radikal tidak semena-mena dilakukan." kata Fauzy Ba'ats, salah seorang ustadz dari Pesantren Daarul Uluum yang dalam seminar ini bertindak sebagai moderator. Sumber : icdw

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun