Mohon tunggu...
Mataharitimoer (MT)
Mataharitimoer (MT) Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

menulis sesempatnya saja | tidak bergabung dengan partai politik apapun Buku yang ditulis : Jihad Terlarang (2007, 2011), Guru Kehidupan (2010), Biarkan Baduy Bicara (2009), Ekspedisi Walisongo (2011). Bang Namun dan Mpok Geboy (2012)\r\n \r\nJabat erat!\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Biarkan Baduy Bicara : Buah Momolok

12 November 2009   01:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:22 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam semakin dingin, tapi penerimaan yang tulus keluarga Bidan Ros menebarkan kehangatan. Sejak awal bercengkrama, aku merasa diperhatikan oleh Abah Jadul, orang tua yang berpakaian layaknya pemimpin spiritual tradisional. Mungkin lebih tepat kalau aku merasa dicurigai. Tapi biarlah, mungkin perasaan itu muncul karena aku satu-satunya tamu yang kurang mengerti bahasa Sunda. Ini memang kelemahanku. Tapi untung aku punya banyak teman di setiap daerah. Begitupun dengan perjalanan ke Baduy ini. Aku ditemani oleh teman-teman yang kebanyakan orang asli Banten. Merekalah yang sering menerjemahkan istilah yang tak kupahami. Tiba-tiba Abah Jadul kembali dari kamar, membawa sebutir buah berwarna kuning. "Tahukah kamu, ini buah apa?" sambil memberikan buah itu kepadaku. "Kesemek!" jawabku singkat, tapi tak tepat. "Makanlah buah itu!" pintanya. Aku tersenyum, dan menanyakan buah apa sesungguhnya. Tapi beliau hanya menjawab, "Makan saja dulu, nanti baru saya beritahu." [caption id="attachment_21963" align="alignleft" width="300" caption="buah momolok digunakan untuk mendeteksi tamu, bisa aja hehehe..."][/caption] Aku membelah buah itu dengan kedua tangan. Mudah sekali membukanya. Saat buah terbelah, tercium aroma harum mewangi. "Ya sudah, makan!" Kata Abah Jadul ketika melihatku ragu. Aku ambil sepotongan kecil dan menikmati rasa yang manis, legit, dan hm... apa ya... pokoknya enak sekali. Aku harus memakannya sendiri. Teman-temanku juga ingin mencicipinya. Pak Asep datang membawa sepiring buah yang sama. Dalam hitungan detik, buah itu hanya tersisa bijinya saja. Habis dilahap kami semua. "Apa manfaatnya, Bah?" Tanya Hali. "Namanya apa?" tanya yang lainnya. Jawab Abah Jadul, "Nanti saja!" Lalu ia membuka obrolan baru, yang mungkin untuk menyudahi rasa penasaran kami akan buah yang baru pertama kali kulihat. Kamipun terbawa arus perbincangan Abah Jadul dan Pak Asep Kurnia. Lebih 30 menit berlalu, hanya tinggal empat orang yang terlibat dalam dialog. Hanya aku, Ipul, Pak Asep, dan Abah Jadul. Ia lalu berkata, "itu tadi, namanya buah Momolok." Aku baru dengar nama itu, sama seperti aku baru melihat wujudnya. "Apa manfaatnya, Bah?" tanyaku. Abah malah tersenyum dan memberikan isyarat ke arah tujuh temanku yang sudah tertidur di ruangan ini. Abah dan pak Asep menjelaskan lebih rinci. Sejak pertama kali kami datang, mereka curiga dengan kehadiranku di Ciboleger ini. Akupun merasakan kalau mereka memperhatikanku lebih seksama ketimbang yang lain. Tapi apa maksudnya? Pak Asep menyatakan bahwa tiga hari yang lalu, mereka berdialog dengan Ayah Mursyid, Wakil Jaro Tangtu Tujuh di Cibeo. Mereka membahas sebuah firasat, akan kedatangan seorang tamu. Orang itu belum diketahui identitasnya. Tapi, yang pasti orang itu sangat cepat bersahabat dan bersedia membantu urusan mereka yang belum selesai. Ketika melihatku pertama kali, merekapun bersepakat untuk mendeteksi kehadiranku di sini. Karena itu, akulah yang menjadi target utama mereka untuk menyantap buah berwarna kuning cerah itu. "Ternyata kamu adalah orang yang kami tunggu!" ucap Pak Asep. Abah Jadul menambahkan, "Mereka yang datang untuk sekedar wisata, hanya akan tidur saja malam ini di sini. Tak akan terlibat dalam dialog kita." Katanya sambil mengarahkan tangan kanannya ke arah teman-temanku yang pulas bahkan "ngorok" saling bersahutan. Aku cukup terkejut dengan ungkapan rahasia mereka. Bagiku, kehadiranku ke tanah Baduy ini memang memiliki tujuan yang sangat pribadi. Aku ingin mengetahui Baduy langsung dari sumber pertama. Selama ini, aku sudah membaca literatur tentang suku Baduy di Banten. Tapi semua bahan yang kubaca menyisakan ketidakpuasan. Akupun merasakan kecurigaan. Jika mereka mengetahui hal-hal yang dilarang oleh orang Baduy untuk difoto apalagi dipublikasikan, mengapa mereka bisa memiliki foto-foto itu dan bahkan menyebarkannya di internet? Aku merasakan kalau mereka telah berlaku curang. Mereka telah mencuri harta Baduy untuk kepuasan pribadi. Mereka sekedar menjadikan Baduy sebagai obyek wisata, tidak menjadi Subyek. Mereka bahkan telah meremehkan kehormatan orang Baduy dengan memotret obyek-obyek yang dilarang diabadikan, secara diam-diam. Yang menjadi pertanyaan besarku adalah, apakah pemangku wilayah Baduy menerima perlakuan mereka? Bilakah orang-orang Baduy bicara sendiri tentang apa dan siapa sesungguhnya Baduy itu? Karena itulah aku ingin memasuki tanah Baduy ini. "Tepat! Kamulah orang yang diarahkan Tuhan untuk membantu kami!" kata Abah Jadul. "Kami belum pernah kedatangan orang yang memiliki niat seperti kamu... tiga hari yang lalu kami sempat membicarakan tentang akan hadirnya orang yang mau menyelaraskan hati dan pikirannya dengan Baduy. Dan ternyata malam ini orang itu sudah ada di hadapan kami." Pak Asep tersenyum dan berkali-kali mengucapkan syukur kepada Tuhan. "Kenapa saya? Saya bukan orang pintar, apalagi terkenal." Aku rada terbebani dengan pernyataan mereka berdua. "Jika kamu ingin menulis sesuatu tentang Baduy, adakah judul yang kamu sudah siapkan?" tanya Pak Asep kepadaku. Aku kembali melihat buku agendaku. Membuka-buka coretanku tentang Baduy. Dan kubacakan rencana judul tulisanku, "Biarkan Baduy Bicara!" Pak Asep dan Abah Jadul bergerak dari duduk silanya. Mereka saling pandang... "Benar-benar ini kekuasaan Allah!" Merekapun menceritakan rencananya. Ada sebuah keinginan dari Ayah Mursyid (Wakil Jaro Tangtu di Cibeo) dan pak Asep untuk membuat sebuah buku tentang Baduy. Karena beberapa informasi di internet dan buku-buku referensi tentang Baduy, banyak mengandung kesalahanpahaman. Buku itu rencananya akan diberi judul "BADUY BICARA". Jadi, pak Asep menilai judul pilihanku sangat senafas bahkan sama dengan judul yang mereka rencanakan. Mereka yakin sekali kalau kehadiranku malam ini merupakan ketetapan Tuhan Yang Maha Kuasa. "Tapi saya tidak membuat buku, pak!" terangku ketika hati ini merasa terbebani dengan pandangan mereka terhadapku. "Biarlah bapak dan Ayah Mursyid yang menyusun buku. Itu lebih tepat ketimbang saya." "Lalu apa yang akan kamu buat?" tanya pak Asep "Paling saya hanya akan sekedar membuat sebuah esai atau sekedar catatan perjalanan ke Baduy. Intinya, saya hanya akan mengingatkan khalayak bahwa lebih baik, biarkan Baduy yang bicara tentang mereka sendiri. Bukan orang lain yang hanya bahkan merasa lebih pintar dari orang Baduy." "Saya yakin kamu bisa melakukan itu." Support pak Asep dan Abah Jadul. "Karena itu, saya berharap besok, saya bertemu dengan Ayah Mursyid!" kataku. Sejak awal aku memang ingin bertemu dengan tokoh yang sudah kulihat fotonya hanya dari internet saja. "Apa yang kamu tahu tentang Ayah Mursyid?" tanya Abah Jadul. "Saya hanya bisa menyatakan, ia adalah orang yang dipilih Tuhan untuk mewakili Baduy di tengah tekanan budaya global. Dan saya harus bertemu dengannya besok, walau sekedar melihat sosoknya saja!" "Insya Allah, biasanya Ayah Mursyid sudah bisa merasakan apa yang kamu inginkan. Insya Allah besok ia bisa menerimamu."

Malam sudah tertinggal dari batasnya. Kini sudah pukul 00.15 WIB. Tuan rumah yang ramah dan cerdas itu mempersilahkan kami tidur, agar bisa fit melakukan perjalanan yang cukup berat, bagi orang yang belum pernah menjejaki track Baduy sepertiku.

Catatan Selanjutnya : Baduy Dalam, Kami Datang!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun