Mohon tunggu...
Mataharitimoer (MT)
Mataharitimoer (MT) Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

menulis sesempatnya saja | tidak bergabung dengan partai politik apapun Buku yang ditulis : Jihad Terlarang (2007, 2011), Guru Kehidupan (2010), Biarkan Baduy Bicara (2009), Ekspedisi Walisongo (2011). Bang Namun dan Mpok Geboy (2012)\r\n \r\nJabat erat!\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ekspedisi Walisongo : The Last Caliph

4 November 2009   03:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:27 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makam Sunan Giri | Gresik, Jawa Timur Kujejaki tangga menuju makam Syech Ainul Yaqin, yang lebih dikenal sebagai Sunan Giri. Tinggal beberapa anak tangga kugenapi. Aku berhenti dan menoleh ke belakang. dari bawah sana aku menanjaki anak tangga menuju ketinggian bukit Sidomukti. Kusaksikan fakta - yang menjadi latar belakang orang Belanda dan orang Hitu, Ternate pada masanya menyebut Sunan Giri (Prapen) sebagai Raja Bukit. Kuberalih tatapan. Aku sampai pada sebuah ketinggian. Kuperhatikan keluasan area kompleks makam. Kutatapi satu demi satu lokal demi lokal. Kubayangkan sebuah kompleks besar yang tertata. Seperti sebuah kompleks istana. Masih berdiri kokoh Masjid beratap tumpang, yang menjadi tungku perapian spiritual Sunan Giri dalam menjalani sejarahnya. Masjid inilah yang pertama kali dibangun oleh Syech Ainul Yaqin saat membuka lahan di bukit Sidomukti ini. Runtuhan arkeologis di sekitar kompleks membawaku pada imajinasi tentang geliat kehidupan di bukit ini, saat menjadi pusat spiritual dan politik. Para punggawa yang berbaris di teras kedhaton. Terbayang pula kelompok jubah putih sedang duduk bersama menyanyikan dzikir cinta pada Tuhannya. Mereka adalah orang-orang yang telah menunaikan Haji. Amat beragam kehidupan di sini pada masanya. Sekelompok pedagang hidup bersama di kompleks kedhaton ini. Para lelaki tak berbaju. Kulit tubuh mengilat karena peluh. Menempa besi merah membara. Mengubahnya jadi sebentuk senjata. Di sisi lain, sebuah kebun subur dengan beberapa orang yang sedang menuai hasil kebun dan menggotong keranjang rempah-rempah. Sementara sekelompok pekerja menimbuni gerobaknya dengan hasil bumi dan kriya. Mereka membawanya menuju pelabuhan, pusat ekonomi strategis pada masanya. Kusadari, aku memasuki wilayah kedhaton yang megah karena sosok pemimpinnya. Sosok wali yang menjadi panutan raja-raja. Lahirnya kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram, tak lepas dari advise Sunan Giri yang menguasai hikmah dan ilmu administrasi pemerintahan. Raja-raja dari Makasar, Hitu, dan Ternate bahkan baru merasa sah kerajaannya jika sudah mendapatkan restu dari Sunan Giri. Kharisma sang Wali menyebar hingga ke wilayah timur nusantara. Madura, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa wilayah di ujung timur. Siapa sangka jika sang Wali yang oleh kakeknya, Raja Blambangan - Prabu Menak Sembuyu - adalah seorang bocah yang dibuang dan dipisahkan dari ayah dan ibunya. Saat itu sang ayah telah kembali ke Pasai meninggalkan Blambangan karena menyelamatkan diri dari ancaman pembunuhan mertua yang tidak mendukung dakwah Islam. Bocah kecil yang diberi nama lahir Raden Paku itu diselamatkan oleh awak kapal dagang dari Gresik, milik Nyai Ageng Pinatih (versi babad dilegendakan, sang bayi dihanyutkan dalam peti ke samudra, wallahu a'lam). Oleh sang sang saudagar Gresik, bocah malang itu dititipkan di padepokan Sunan Ampel. Dalam asuhan Sunan Ampel, bocah buangan itu dididik menjadi orang besar, baik dalam ilmu agama maupun pemerintahan. Raden Paku baru bertemu dengan ayahnya, Syech Maulana Ishaq (dalam kisah lain disebut juga Syech Wali Lanang) setelah Sunan Ampel memintanya berguru pada ayahnya sendiri di Pasai. Dalam perjalanan ke Pasai ia ditemani sepupunya, anak sulung Sunan Ampel, Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) yang sejak kecil menjalin persahabatan dengannya. Dari Pasai, mereka berdua melanjutkan perjalanan kemuridannya ke Mekkah. Pulang dari Mekkah, Syech Ainul Yaqin melaksanakan amanat ayahnya untuk membangun padepokan di sebuah bukit di Gresik. Di bukit desa Sidomukti itulah ia mulai menjadi guru bangsa. Gelar Sunan Giri (yang berarti bukit dalam bahasa Jawa) kian melekat padanya. Banyak santri dari berbagai penjuru bumi yang berguru padanya. Bukan hanya dari tanah Jawa, Madura, Minangkabau, Bawean, Kangean, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Haruku, Ternate, dan Maluku. Bahkan banyak muridnya yang berasal dari China, Mesir, Arab, dan Eropa. Empat pokok rahasia kehidupan yang sering diamanatkan kepada murid-muridnya adalah :

  1. Tuhan itu bersemayam dalam hati manusia yang suci, karena itu Tuhan disebut pula sebagai hati yang suci.
  2. Mengetahui zat Tuhan berarti mengenal diri sendiri. Barang siapa yang belum mengenal dirinya sendiri, berarti belum mengenal Tuhan.
  3. Keadaan dunia ini bukanlah keabadian. Karena itu jangan mengagungkan kekayaan dan derajat. Sebab bila sewaktu-waktu terjadi perubahan keadaan, kita tidak akan menderita dalam aib yang memalukan.
  4. Realitas adalah dinamika, pasti mengalami perubahan. Oleh karena itu, jangan merendahkan dan meremehkan sesama.

Itulah "the Giri's Secret of life" yang berulang-ulang ia pesankan kepada murid-muridnya. Kharisma Giri bukan hanya dalam urusan agama, tapi juga dalam bidang ketataprajaan, pemerintahan, dan perekonomian. Pada masanya, Giri menjadi kiblat ruhani, sosial, ekonomi dan politik. Namun kebesaran itu tidak tercipta pada satu periode, melainkan empat periode. Peletakan dasar sistem pemerintahan ulama dibangun oleh Sunan Giri pertama, yaitu Raden Paku atau Maulana Ainul Yaqin. Setelah wafat, kharisma Giri melekat pada Sunan Dalem, anak Raden Paku. Generasi ketiga meski hanya sebentar dipimpin oleh sang cucu, yang bergelar Sunan Seda ing Margi. Sunan Giri ketiga ini gugur tahun 1548 ketika ikut Sultan Trenggana dari Demak menyerbu kerajaan anti Demak di Panarukan. Puncak kharisma trah Sunan Giri ada pada Sunan Giri Prapen, kakak dari Sunan Seda ing Margi. Pada kepemimpinan Sunan Giri Prapen inilah kharisma Giri makin kuat di tanah Jawa bahkan melintas ke wilayah luar Jawa. Keemasan era Giri Prapen terwujud karena sang cucu benar-benar memahami dan menjadikan ajaran kakeknya - Raden Paku - sebagai panutan. Ialah yang merawat makam kakeknya. Kharisma sang kakek benar-benar mewujud pada dirinya. Meskipun menguasai perdagangan antar pulau dan pengaruh politik yang besar bagi raja-raja di berbagai wilayah, tak menjadikan Sunan Giri Prapen sebagai pemimpin yang lupa akan kesalehan. Ia tidak menjadikan agama sebagai jubah, sebagaimana layaknya raja-raja Jawa pada masa Mataram. Ia menjadikan agama sebagai jiwa, sehingga seberapa besarpun kekuasaannya, selalu memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi masyarakatnya. Agama sebagai Jiwa tak membuatnya angkuh sehingga ia tidak melakukan penaklukan layaknya raja-raja di Jawa. Justru karena kesalehannya itulah - meski tanpa penaklukan politik - kharisma dan restu Sunan Giri menjadi penting bagi raja-raja di berbagai lintas pulau hingga ke Timur Nusantara. Mengamalkan amanat sang kakek - the Giri's Secret of Life - membentuk Sunan Giri Prapen sebagai "khalifah" yang sesungguhnya. Pada kharisma sang Khalifah Terakhir inilah, Demak yang semakin agresif dan Kudus yang membangun citranya sendiri, menjadikan Giri sebagai daya hidup, sandaran, perlindungan, dan pendamai dari kecamuk konflik yang digelutinya. Pada sosok Giri Prapen jua, kesultanan Pajang mendapatkan keabsahan kekuasaannya. Bahkan pada sosok ulama Giri dan keanggunan Kedhaton Giri, penguasa Mataram terinspirasi untuk memindahkan kharisma Giri ke Mataram. Namun sejarah menjawab rencana. Selama agama sekedar dijadikan jubah kekuasaan, tak akan pernah terwujud kharisma pemerintahan. Yang ada hanyalah nafsu amarah, ekspansi kekuasaan duniawi. Tak puas dengan kuasa dunia, Dinasti Mataram bermimpi menjadi penguasa ruhani layaknya Sunan Giri. Tapi mimpi itu tak pernah nyata, tatkala agama menjadi jubah belaka. Tak ada lagi khalifah Islam di Nusantara pasca Giri. Ialah khalifah terakhir pada faktanya. The Last Caliph. Di bukit ini ia membangun jiwa bangsa, di bukit ini ia dimakamkan, di bukit ini, beberapa peziarah mengharapkan titisan kharismanya.

Laporan Selanjutnya : Maulana Guru Segala Kasta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun