Mohon tunggu...
Mataharitimoer (MT)
Mataharitimoer (MT) Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

menulis sesempatnya saja | tidak bergabung dengan partai politik apapun Buku yang ditulis : Jihad Terlarang (2007, 2011), Guru Kehidupan (2010), Biarkan Baduy Bicara (2009), Ekspedisi Walisongo (2011). Bang Namun dan Mpok Geboy (2012)\r\n \r\nJabat erat!\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ekspedisi Walisongo : Wali dengan Pusara Melati

2 November 2009   05:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:28 3127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makam Sunan Bonang | Desa Bonang, Lasem, Rembang Perjalanan menuju Makam Sunan Bonang adalah yang paling kunantikan. Keinginan itu terpicu saat aku lebih cenderung shalat di depan satu dari empat tiang (soko guru) Masjid Demak. Saat itu aku shalat di depan soko guru bertuliskan nama Sunan Bonang. Padahal sebelumnya aku ingin sekali shalat di depan soko guru bertuliskan nama Sunan Ampel. Perubahan kecenderungan hatiku berpindah posisi shalat, membuat aku ingin cepat sampai menuju makam Sunan Bonang. Dari parkiran desa Colo, pegunungan Muria, beberapa anggota tim ekspedisi menjelaskan bahwa tujuan kami berikutnya adalah kota Tuban, kota tempat Sunan Bonang dimakamkan. Kamipun melesat memburu waktu. Menurut perkiraan teman-teman yang sudah tiga kali berziarah ke makam Sunan Bonang, kami akan tiba di Tuban sekitar pukul 2 dini hari. Aku me-navigator-i Fauzi yang menyetir Phanter tua. Sementara teman-teman yang duduk di jok tengah dan belakang, tertidur karena kelelahan. Di depan kami, Om Somad melesatkan Teriosnya dengan kecepatan di atas 100 KM/Jam. Ketika kami melintasi pesisir pantai Lasem, Rembang, Fauzy memberitahuku, "Barusan saya lihat ada plang di sebelah kanan bertuliskan Makam Sunan Bonang?!" Pernyataan Fauzy mendesakku untuk menelepon Om Somad yang sepertinya tak membaca plang tersebut. Namun tiga kali panggilan, tak juga diangkat olehnya. Aku dan Fauzy jadi bertanya-tanya, apa benar plang yang telah kami lewati tadi adalah makam Sunan Bonang? Padahal menurut informasi, lokasi makam Sunan Bonang yang kami tuju adalah di kota Tuban, bukan di Rembang. Tak berapa lama Om Somad menelponku. Ia haus dan minta air minum yang masih tersedia di mobil kami. Aku memintanya berhenti dimana saja agar ia bisa mendapatkan minuman. Walau sebenarnya aku ingin mempertanyakan padanya tentang plang yang dilihat Fauzy. Di sebuah SPBU kami memarkirkan kendaraan. Aku langsung menuju mobil Om Somad, memberikan sebotol air putih dan langsung bertanya, "Tadi ada plang Makam Sunan Bonang, kenapa dilewati, Om?" Om Somad menjelaskan, iapun melihat plang yang kami maksud, tapi karena ia sudah 3 kali berziarah ke makam Sunan Bonang di Tuban, maka ia memutuskan untuk lanjut menuju Tuban. Aku dan Fauzy bertanya kepada Kyai Nasrudin. Sebagai pimpinan ziarah, ialah yang mesti memutuskan apakah kami harus melanjutkan perjalanan ke Tuban atau kembali ke Rembang. Sang pimpinan memutuskan untuk kembali ke Rembang, tempat dimana hanya Fauzy melihat plang Makam Sunan Bonang, karena selain kami bertiga, yang lain tertidur lelah selama perjalanan. Kami tiba di sebuah area parkir yang amat luas di pinggir pantai. Aku melihat sebuah plang besar berbentuk setengah lingkaran bertuliskan "Pasujudan Sunan Bonang, Makam Ratu Cempo". Kutuju sebuah bangunan tanpa penerangan yang layak. Kulihat ada seorang petugas penunggu makam yang duduk di sana. "Makam Sunan Bonang dimana, pak? Koq yang ada hanya makam Ratu Cempo?" tanyaku. Petugas itu menuding ke arah kanan. Ada sebuah plang kecil tanpa penerangan bertuliskan "Ke Arah Makam Sunan Bonang". Tanpa penerangan! Aku baru menyadari kalau lokasi makam Sunan Bonang berbeda arah dengan makam Ratu Cempo. Kuajak teman-teman mengikuti arah yang ditunjuki plang tersebut. Tidak semua peserta mengikuti. Hanya aku, Kyai Nasrudin, Achey, Kopral Hanafi, dan Kyai Haji Abdul Rozak. Baru kira-kira melangkah 50 meter memasuki gelapnya rimbunan pohon dan semak belukar, kami dihadapkan pada beberapa batu nisan. Sama sekali tak ada lampu yang menerangi jalan setapak yang kami lalui. Kyai Nasrudin menyapaku, "Makam Sunan Bonang yang pernah beberapa kali saya ziarahi, tidak seperti ini!" Kyai Nasrudin menceritakan tentang makam Sunan Bonang yang amat megah, terang benderang dengan lampu pelengkap makam, dan tidak jauh dengan sebuah pesantren yang juga megah dan ramai. Sangat jauh berbeda dengan apa yang kami lintasi di sini, sebuah lokasi yang gelap, semak belukar yang rimbun, pepohonan besar yang menambah pekatnya malam, dan suasana sepi, hening, dan deretan batu nisan pemakaman penduduk yang menambah kesan menyeramkan. Aku bilang pada Kyai Nasrudin, "kita lanjutkan saja. Makam Sunan Bonang masih 200 meter lagi!" Kamipun tetap melangkah menyusuri jalan setapak dalam liputan tengah malam yang gelap, hingga sampai di sebuah persimpangan. Pada pesimpangan itu ada tulisan yang menjelaskan dua arah. Lurus ke gelapnya hutan menuju sebuah nama yang asing. Belok ke kanan menuju makam Sunan Bonang. Kami duduk bersama di persimpangan itu dan kembali melanjutkan perjalanan ketika PS dan Fauzy telah bergabung. Kami tiba di depan sebuah tembok batu merah tanpa plesteran semen yang terkesan tua. Aku berdiri di depan pintu gerbang berbentuk gapura. Sepasang daun pintunya terbuat dari kayu, dengan ukiran kaligrafi membentuk lingkaran. Kembali Kyai Nasrudin menyatakan bahwa apa yang ia lihat saat ini amat berbeda 180 derajat dengan yang pernah ia datangi. Sebelum memasuki komplek makam yang terkesan seperti sebuah padepokan tua, kami berwudhu di sebuah sumur persegi. Di atas sumur itu ada tulisan, "Sumur peninggalan Sunan Bonang". Walaupun lokasi ini dekat dengan pantai, namun kurasakan airnya tidak asin. Justru airnya segar ketika aku berkumur-kumur dan menyempurnakan wudhu. Kami masuki gerbang kusam kompleks makam yang amat sepi. Berbeda dengan situasi makam lainnya yang sudah kami datangi sebelumnya. Kami terus melangkah menuju gerbang kedua dan terdiam di depan pintu ketiga yang tertutup. Melihat isyarat Kyai Nasrudin, aku membuka pintu tersebut dan masuk ke dalam area. Ada sosok lelaki bertudung putih yang mengejutkanku. Andai lelaki itu tak menjawab salam Kyai Nasrudin, mungkin aku mengira lelaki itu bukan manusia. Lelaki penunggu makam itu menanyakan maksud kedatangan kami. Ia meminta kami menunggu sebentar sampai tiba seorang juru kunci makam Sunan Bonang. Pintu menuju makam masih terkunci. Heningnya malam merasukkan kedamaian saat duduk menunggu di depan pintu. Mungkin hanya lima menit, seorang lelaki berperawakan kurus menyalami kami dengan keramahan. Batik yang dikenakannya mengesankan kebersahajaan. Ia menyapa kami dengan tata bicara yang santun. Setelah membukakan pintu makam, ia membimbing kami masuk dan menjelaskan tentang sosok Sunan Bonang yang hidup dalam kesederhanaan. [caption id="attachment_17590" align="alignleft" width="300" caption="pusara sunan bonang hanyalah pohon melati"][/caption] Kami duduk bersimpuh menghadap makam sang Sunan. Tak ada pusara dari batu. Tak ada cungkup dan kelambu layaknya makam Sunan lainnya. Hanyalah sebuah pohon melati di tengah hijau pekat rerumputan. Itulah pusara Sunan Bonang. Kami duduk bersimpuh di depan pusara sederhana. Melantunkan doa dan wirid bagi ruh sang Wali yang memeluk para tamunya dengan cinta dan kasih sayang. Makhdum Ibrahim adalah putra Sunan Ampel dari istri yang bernama Nyai Ageng Manila. Diperkirakan lahir tahun 1456 dan meninggal 1525. Sejak kecil ia dibimbing langsung oleh ayahnya, berbarengan dengan saudara sepupunya, Raden Ainul Yaqin (Raden Paku) anak dari Maulana Ishaq. Sekitar tahun 1473 Sunan Bonang dan Raden Paku mendapatkan amanat dari Sunan Ampel untuk menemui ayah kandung Raden Paku, yaitu Syech Maulana Ishaq di Pasai. Di Pasai itulah mereka mendalami tariqat Naqsyabandiyah dan Maulawiyah lalu melanjutkan haji dan mengaji ke Mekkah. Setahun kemudian, Sunan Ampel mengubah gerakan dakwah Bhayangkare Ishlah menjadi Walisongo. Inilah pertamakali Sunan Bonang mulai dilibatkan langsung oleh ayahnya sebagai bagian dari walisongo. Pada usia 18 tahun inilah ia sudah mengemban tugas dakwah di Daha, wilayah kekuasaan Girindrawardhana, yang melakukan kudeta kepada Majapahit (Kertabhumi) pada 1478. Namun sebelum terjadinya kemelut politik Majapahit -Kudeta oleh Girindrawardhana -, Sunan Ampel menarik Sunan Bonang dari Daha untuk berkonsentrasi ke Tuban. Di Tuban Sunan Bonang membangun pesantren. Diperkirakan pada saat itulah ia mendidik seorang begal Lokajaya menjadi sosok murid yang kelak dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Ketika ayahnya wafat pada 1481, Sunan Bonang diminta untuk kembali ke ranah politik sebagai imam walisongo, sekaligus sebagai imam masjid Demak. Saat itulah Sunan Bonang mengikutsertakan Sunan Kalijaga, muridnya sebagai bagian dari walisongo. Saat memimpin walisongo, bersama Sunan Kalijaga, Sunan Bonang sempat merenovasi masjid demak menjadi lebih luas dan megah. Karena masjid merupakan pusat koordinasi gerakan dakwah, maka harus diprioritaskan perawatannya ketimbang merawat istana sultan/raja. Sunan Bonang adalah sosok wali yang lebih memilih terlibat langsung dalam pembinaan masyarakat. Karena alasan itulah, akhirnya ia melepaskan jabatan sebagai imam masjid Demak dan melakukan safar (perjalanan seorang suluk untuk berdakwah) ke beberapa daerah, lalu kembali menetap di sebuah desa yang ia bangun sendiri. Desa tersebut kelak dikenal sebagai desa Bonang, di Lasem, Rembang, tempat ia membangun masyarakat dengan pesantren, tempat ia membangun perekonomian masyarakat dengan memproduksi Terasi, dan tempat ia terakhir dimakamkan. Sunan Bonang banyak menghasilkan karya seni baik dalam bentuk tembang, lirik, komposisi musik, bahkan seni kriya. Selain itu ia merupakan sosok wali yang memiliki tradisi literasi yang baik. Banyak karya tulis yang dibuatnya, Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Regok, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Ing Aewuh, Suluk Pipiringan, Suluk Jebeng dan lain-lain. Satu-satunya karangan prosanya yang dijumpai ialah Wejangan Seh Bari. Risalah tasawufnya yang ditulis dalam bentuk dialog antara guru tasawuf dan muridnya ini telah ditranskripsi, mula-mula oleh Schrieke dalam buku Het Boek van Bonang (1913) disertai pembahasan dan terjemahan dalam bahasa Belanda, kemudian disunting lagi oleh Drewes dan disertai terjemahan dalam bahasa Inggris yakni The Admonition of Seh Bari (1969). Sedangkan Suluk Wujil ditranskripsi Purbatjaraka dengan pembahasan ringkas dalam tulisannya "Soeloek Woedjil: De Geheime leer van Soenan Bonang" (majalah Djawa no. 3-5, 1938). Melalui karya-karyanya itu kita dapat memetik beberapa ajarannya yang penting dan relevan. Purbatjaraka menyebutnya sebagai ajaran rahasia untuk orang-orang tertentu saja. Rahasia artinya tidak begitu saja bisa dipahami, seperti dapat diperiksa dari kutipan-kutipan berikut:

"Tak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda hingga tua renta. Mereka tak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi wali." "Apabila seseorang sembahyang di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang yang bersembahyang, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang itu saja. Namun jika terdapat 10.000 orang bersembahyang di sana, maka Ka'bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia akan dimasukkan ke sana, maka seluruh dunia akan tertampung juga."

Sunan Bonang bukan sekedar ahli dalam memimpin organisasi. Bukan hanya pandai bicara, beliau juga terlibat langsung dalam membina masyarakat dengan pengajian, pendidikan, suluk, seni, bahkan memberdayakan ekonomi masyarakat dengan membudidayakan udang sebagai bahan produksi terasi khas desa Bonang. Dari sikap keberagamaan, Sunan Bonang adalah sosok yang akomodatif. Ia bisa menerima beragam perbedaan paham. Banyak orang yang kurang menyukai cara dakwah dan ajaran Sunan Kalijaga dan Syech Siti Jenar. Tapi Sunan Bonang bisa memahami perbedaan tersebut bahkan menjadi guru bagi keduanya. Keluasan ilmu dan kedewasaan sikapnya menumbuhkan kebijaksanaan yang mencipta kebajikan. Tak cukup ruang untuk mengurai sosok Sunan Bonang pada catatan ekspedisi ini. Masih banyak karyanya yang perlu dieksplorasi lebih dalam. Aku merasakan makam Sunan Bonang bagai magnet yang menyerapku. Merekatkanku pada jejak dakwah yang pernah ia lakukan. Menginspirasiku tentang kesederhanaan. Mendamaikan pikiran dengan semerbak melati yang menjadi pusara sang wali.

laporan selanjutnya : darah ningrat jiwa rakyat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun