Oleh karenanya bagi pejuang Aceh yang ada dalam lingkaran kekuasaan hari ini, baik yang di legislatif Aceh, DPD RI, DPR RI dan eksekutif Aceh jangan lagi mengikuti jejak Pang Tibang, yang mengorbankan rakyat demi kekuasaan. Kekuasaan bukan untuk mengabdi pada rakyat dalam melanjutkan cita-cita perjuangan tetapi kekuasaan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Dikhianati itu sangat sakit rasanya. Masalah Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang belum selesai sampai saat ini, sebetulnya tidak ada hambatan lain, hanya saja karena sifat plin-plan Gubernur Aceh sekarang. Andai saja Abu Doto atau Gubenur H. Zaini Abdullah berani dan tegas masalah bendera Aceh, pasti sudah kelar dalam satu tahun beliau menjabat.
Jika dalam masa setahun Abu Doto menjabat Gubernur dan beliau langsung memanggil seluruh Bupati/Walikota untuk membahas soal Qanun Bendera Aceh, kemungkinan bendera Bintang Bulan sudah berkibar di setiap instansi di seluruh kabupaten/kota di Aceh. Pemerintah pusat sudah tidak punya lagi celah hukum untuk mencabut Qanun Bendera dan Lambang Aceh, karena sudah melewati masa waktu 60 hari. Jika itu dilakukan maka sangat keliru ataupun sangat tidak logis Qanun Bendera dan Lambang Aceh dijadikan alat bargainning untuk negosiasi masalah RPP bagi hasil migas.
Para elit politik Aceh yang ada di eksekutif, legislatif Aceh maupun di legislatif pusat serta saudara senator asal Aceh yang ada di Senayan, janganlah terkecoh dengan isu yang dihembuskan oleh si Pak Tedjo Menkopolhukam. Jangan baru dikatakan Aceh boleh mengelola migas sampai 200 mil dari garis bibir pantai anda terus latah dengan cepat mengangguk-anggukkan kepala, untuk segera mengubah Bendera Aceh. Sebetulnya anda belum tahu berapa persen pembagian hasil Aceh dengan pusat, tapi anda sudah mengangguk-angguk (pu hom neuh meuka neu agoek ajue). Karena di Aceh, Bendera Bintang Bulan itu harga mati dan anda tahu akibatnya jika menyetujui perubahan pada Bendera dan Lambang Aceh.
Jika itu terjadi, maka jangan harap perdamaian Aceh akan terus berlanjut. Bendera saja diubah apalagi untuk berbicara tentang kelangsungan hidup rakyat banyak. Begitulah anggapan orang Aceh nantinya pada pemimpin Aceh hari ini jika mengubah Bendera Aceh. Jika itu terjadi maka obok demi obokan dan letusan senjatapun akan terdengar lagi, karena penyakit lama akan segera kambuh lagi. Ribuan nyawa sudah melayang, ribuan rakyat Aceh telah jadi korban hingga tidak cukup tinta pena untuk kita tulis apa yang sudah terjadi, betapa besarnya pengorbanan rakyat Aceh untuk perjuangan ini, walau berakhir dengan damai, tapi harapan kita damai bermartabat dan saling menghargai antar pihak.
Yang penting kita harus ingat satu hal ! Ribuan nyawa melayang karena mempertahankan harkat dan martabat, rakyat Aceh rela mati demi bendera itu. Jika saudara-saudara tidak mampu memperjuangkan turunan UU PA, baik itu RPP Migas, PP Pertanahan serta Bendera dan Lambang Aceh, lebih baik saudara-saudara mundur dari jabatan, karena jabatan itu adalah amanah rakyat bukan teumpat meuleumak dengan kemewahan yang difasilitasi oleh negara dengan uang rakyat.
Untuk mahasiswa dan pemuda Aceh harus ikut berpartisipasi memperjuangkan kejelasan turunan UU PA, jika UU PA tidak terealisasi dalam waktu dekat ini, kita semua harus bersikap tegas pada eksekutif dan legislatif di Aceh. Sesegera mungkin kita gerudheuk seluruh instansi Pemerintah Aceh. Sesungguhnya kekuatan terbesar di Aceh berada di tangan mahasiswa dan pemuda Aceh oleh karena itu jangan disia-siakan waktu kita, terus memantau dan menyuarakan tentang implementasi UU PA sesuai dengan poin-poin perjanjian damai. Semoga penderitaan kita di masa lalu akan menjadi sebuah kekuatan untuk meraih masa depan yang lebih gemilang. Karena apapun yang kita dapatkan di dunia ini tidaklah kekal, begitu juga dengan pangkat dan jabatan itu semua hanya bersifat sementara, namun hendaklah kita memelihara damai ini untuk membangun kembali apa yang telah hancur.
Harapan kita bersama, perdamaian ini menjadi perdamaian yang terakhir dan perdamaian yang hakiki karena kekacauan dan kehancuran akan merusak negeri. Biarpun kita tidak bisa menyembuhkan luka tetapi kita tidak perlu lagi menyakiti. Karena tidak semua pendapat itu sama dan sejalan apa yang kita fikirkan. Dan tak semua sehaluan apa yang kita rancangkan, perbedaan pendapat hal yang lumrah. Maka dari situlah kita belajar tentang arti saling menghargai. Orang bijak itu pandai menghargai dan memotivasi orang lain walaupun ia tidak sesuai dengan keyakinan itu. Semoga dengan perdamaian ini para mantan kombatan bisa hidup layak dan bisa berdampingan dengan seluruh masyarakat Aceh menuju Aceh yang lebih sejahtera, Aceh lebih maju dan Aceh lebih jaya. Selamat Milad GAM ke 38.
Penulis: Imran Nisam adalah seorang mantan kombatan asal Nisam Aceh Utara yang cinta perdamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H