26 Desember selalu dikenang oleh masyarakat Aceh. Tepat 20 tahun yang lalu, 26 Desember 2004, Aceh berduka. Gelombang tsunami menghancurkan sebagian besar kota banda Aceh dan beberapa kawasan pesisir laut Aceh.
Pada minggu pagi, cuaca yang cerah disambut oleh gempa kuat. Saat itu saya sedang berada di rumah hendak berpiknik ke laut. Toko-toko bangunan bergoyang seperti sebilah besi yang lentur.
Beberapa saat kemudian dinding pagar sebuah rumah rubuh. Semua masih terlihat baik-baik saja. Terdengar suara dentuman keras dari arah laut. Kejadian tsunami terjadi begitu cepat.
"Lariiiii, air laut naikkk"
Suara teriakan dari arah jalan mulai bergema. Kendaraan memadati jalanan. Sepeda motor dan mobil saling mendahului. Semua masih belum bisa membayangkan makna teriakan air laut naik.Â
Seorang teman tiba-tiba muncul sambil berlari. "cepat, air laut naik" sambil menarik nafas kuat-kuat dan menghembuskannya. Saya lantas bertanya heran, "ada apa"?
Setelah menjelaskan apa yang dilihatnya, saya dan keluarga bergegas menaiki mobil. Tujuan kami hanya satu, menuju tempat yang lebih tinggi secepat mungkin.Â
Teman saya ini pada awalnya sedang ikut lomba lari di lapangan Blang Badang. Gempa yang kuat membuat air laut tertarik ke dalam beberapa saat. Laut kering seketika dan ikan-ikan berlompatan. Sebuah pertanda bencana segera tiba.
Menurut beberapa saksi, gelombang tsunami berdiri tegak puluhan meter berwarna gelap. Siap menghantam siapa saja, tidak perduli sedang lari atau tertidur.Â
Kami terjebak di tengah laju kendaraan. Suara klakson terdengar saling bergantian. Semua panik dan ingin mencari jalan keluar. Beruntung ada yang mau mengalah dan tumpukan kendaraan kembali bergerak.
Melewati simpang tugu Lambaro, perbatasan kota Banda Aceh dan Aceh Besar, kami menemui lebih banyak kendaraan. Sebagian terlihat cemas seakan sesuatu mengerikan baru saja terjadi. Saya belum bisa membayangkan makna kata tsunami ketika itu.