Aceh di masa kesultanan memiliki kekuatan maritim yang diakui dunia. Sebagai salah satu kerajaan islam yang paling berpengaruh, kesultanan Aceh tidak hanya kuat secara militer, namun cerdas mengelola pajak.Â
Secara geografis, Aceh diuntungkan karena posisi berdekatan dengan selat Malaka. Hubungan dagang dengan negara asing mudah dilakukan lewat jalur laut. Terutama jalur menuju Burma, Bengal, Sri lanka, dan India.Â
Karena hubungan dagang inilah, banyak keturunan Aceh mewarisi budaya dengan variasi bumbu makanan dalam setiap masakan. Kerajaan Aceh bertahan hampir 400 tahun lamanya (1514-1903). Beberapa sumber mencatat awal abad ke 14 adalah awal terbentuknya kerajaan Aceh.
Kejayaan Aceh masyhur ketika Sultan Iskandar Muda memimpin, yakni sejak 1907-1636. Aceh unggul secara ekonomi, politik, militer, pendidikan dan agama. Bandar Aceh Darussalam, yang kini dikenal sebagai Kota Banda Aceh, menjadi pusat perdagangan internasional kala itu.
Di bawah kepemimpinan Sultan iskandar Muda, pendapatan kerajaan salah satunya berasal dari pajak. Sultan memiliki sistem manajemen pajak yang disebut Qananul Asyi Ahlulsunnah wa-Aljamaah Meukuta Alam Iskandar Muda. Sebutan lainnya adalah, Qanun Meukuta Alam.
Mereka yang bertanggungjawab mengelola pajak berada di bawah institusi bernama Balai Furdhah. Kerajaan menunjuk pegawai yang disebut Orang Kaya Sri Maharaja  Lela dan Penghulu Kawa Nazir Perniagaan.Â
Fungsi lembaga ini tidak terbatas pada mengelola pajak domestik dan internasional, namun juga melakukan supervisi pertanian, perternakan, maupun pertambahan yang hasilnya bisa diekspor.Â
Adapun individu yang bertugas mengelola ekspor-impor dinamai Syahbandar. Sebutan Syahbandar berasal dari kata Sah dan Bandar yang bermakna pemimpin pelabuhan. Uniknya, istilah ini masih dipakai walaupun perannya tidak sepenuhnya sama seperti masa kerajaan.
Hubungan Diplomasi Aceh-Belanda
Cornelis De Houtman yang memimpin perdagangan laut ke Aceh pertama kali, tiba pada tahun 1599. Pada awalnya Sultan menerimanya dengan baik, namun sikapnya yang arogan memperburuk keadaan.Â
Cornelis adalah keturunan Belanda yang memiliki sepupu kaya bernama Reynier Pauw. Ayahnya adalah seorang barista kopi.Â
Ekspedisi Cornelis untuk menjamah rempah disponsori oleh sepupunya dan beberapa pedagang kaya Belanda kala itu. Mereka didanai langsung oleh perusahaan  bernama Compagnie van Verre.
Sebelum datang ke Aceh, Cornelis sudah lebih dahulu dikenalkan pada sultan Banten saat pertama kali melakukan perjalanan laut ke Indonesia, atau dulunya dinamai kawasan  East Indies.Â
Sayangnya, ia bukanlah orang yang pandai berdiplomasi. Kedatangannya ke Banten pada tahun 1596 tidak menghasilkan apa-apa. Orang portugis yang berada disana mencurigainya karena tidak melakukan transaksi lada hitam (black pepper). Karena itu, ia diusir oleh sultan Banten tanpa transaksi jual beli apapun.
Sejarah mencatat jika Cornelis dikalahkan oleh seorang pejuang ternama Aceh, yaitu Keumalahayati. Ia adalah laksamana laut pertama dunia. Keumalahati mengalahkan Cornelis di bawah pasukan perempuan terbaik sepanjang masa.Â
Keumalahayati adalah anak dari Machmud Syah dari kerajaan Aceh. Keumalahayati merupakan lulusan sekolah militer kerajaan Aceh yang dikenal dengan nama Ma'had Baitul Maqdis.Â
"Following the fall of Malacca to Portuguese invaders, Aceh became a stronger faction and ensured that merchant shipping routes in the Malacca Strait remained exclusively for Asian traders. "
Tidak berlebihan jika saat itu Aceh menguasai sebagian besar perairan selat Malaka sejauh 800 kilometer. Pedagang Asia mendapat keistimewaan berkat kekuatan maritim Aceh di bawah kendali sultan. Sebuah kesuksesan yang mungkin tidak mampu dilakukan Indonesia pada abad ke 21.
11 September 1566 menjadi hari naas bagi Cornelis. Ia terbunuh di tangan pejuang perempuan terbaik pada masanya. Setahun kemudian, pasukan Belanda di bawah komando Paulus Van Caerden merampok kapal Aceh yang dipenuhi rempah. Â Â
Pada Juni 1601, Keumalahayati mengelurkan maklumat penangkapan Jacob Van neck setelah beberapa insiden laut. Sebuah surat diplomasi berisi permintaan maaf datang dari Maurits van Oranje yang merupakan pemimpin Belanda saat itu.
Maurits setuju membayar 50 ribu gulden sebagai konpensasi pembebesan Paulus. Bayangkan bagaimana seorang perempuan mampu menaklukan seorang pemimpin terkuat kala itu dan tunduk pada permintaannya untuk membayar kerugian akibat perampokan. Hal ini hampir tidak mungkin terjadi di zaman ini.
Ya, begitulah kekuatan maritim Aceh di masa kerajaan. Bahkan, sekelas Belanda dibuat tunduk dengan peraturan kelautan. Tanpa pandang bulu, pemimpin Aceh menghukum siapa saja yang melanggar aturan kemaritiman.Â
Tidak berhenti disana, reputasi Malahayati terdengar sampai ke Inggris. Kerajaan Inggris memilih untuk membangun hubungan diplomasi yang baik ketika melewati selat malaka. James Lancester membawa surat dari ratu Elizabeth kepada sultan Aceh pada 1602.Â
Keumalahayati akhirnya memberi ijin bagi Inggris untuk melewati selat Malaka. Hubungan diplomasi inilah yang membuat Lancester mendapatkan julukan knighthood, sebuah hadiah dari ratu Elizabeth I karena keberhasilan membuka hubungan diplomasi antara Aceh dan Inggris.Â
Kekuatan maritim Aceh di bawah kendali kesultanan memiliki pengaruh besar terhadap jalur perdagangan Eropa. Portugis, Inggris dan Belanda beberapa kali harus berhadapan dengan tentara Aceh ketika melewati selat Malaka.Â
Peran Petugas LapanganÂ
Jika bukan karena kekuatan diplomasi dan politik di zaman kesultanan Aceh, Eropa tidak pernah mampu membawa pulang kekayaaan dari hasil impor rempah. Pun demikian, keuntungan perdagangan jalur laut bangsa Eropa telah membuka warisan sejarah nusantasa di masa lalu.
Cornelis the Houtman pernah menulis bagaimana transaksi rempah terjadi. Dalam gambarannya, terdapat empat pemimpin dengan panggilan harbormaster. Mereka memiliki tanggung jawab besar, termasuk mengontrol pasar dan lokasi gudang untuk menyimpan barang untuk diekspor.
Pun demikian, mereka juga menentukan skala dan besaran barang transaksi serta memberi saran mengenai mekanisme perdagangan di wilayah tersebut. Lebih lanjut, empat orang ini ditugaskan untuk menentukan besaran pajak terhadap jenis barang dan keuntungan yang diperoleh kerajaan.
Berkat peran mereka mengelola perdagangan jalur laut, pendapatan yang didapat tentu besar. Disisi lain, Uleebalang bertugas memungut pajak pada area tertentu sebagaimana tertulis pada Kanun Meukuta Alam.
Kerajaan juga memberi tanggung jawab khusus pada Uleebalang untuk membangun masjid, sekolah, dan fasilitas umum seperti dayah tempat pengajian.Â
Uleebalang menugaskan tim yang bertanggungjawab di lapangan. Pemasukan dari pajak ini lalu dikumpulkan dan diserahkan pada sultan. Semua hasil pajak dikelola di istana Daruddunya.Â
Nah, Cukup sekian dulu tulisan tentang kekuatan maritim Aceh. Tulisan berikutnya akan fokus pada pajak barang pada transaksi pasar di jaman kerajaan. stay tuned!
***
Penulis,
Masykur Mahmud
[Pembaca dan penulis sejarah Aceh]
Referensi bacaan
[1]. Tax and Customs Revenues During the Kingdom of Aceh Darussalam [kunjungi]
[2]. Keumalahayati [kunjungi]
[3]. Cornelis de Houtman [kunjungi]
[4]. Aceh-Penang Maritime Trade and Chinese Mercantile Networks in the Nineteenth Century [kunjungi]
[5]. Maurice, Prince of Orange [kunjungi]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H