Portugis berlaku bengis pada Aceh. Tahun 1529 Fransisco de Mello berlayar dengan persenjataan penuh. Dalam perjalanannya, ia berjumpa kapal Aceh yang membawa 300 orang beserta 40 warga arab. Kapal ini dalam perjalanan pulang dari Mekah setelah menunaikan haji.
Pihak Portugis mengebom kapal tersebut dan menenggelamkannya. Mereka yang selamat pun dibunuh oleh Portugis. Perlakuan Portugis ini akhirnya memicu balas dendam.
Pasukan Aceh mematahkan perlawanan Portugis tahun 1575. Kapal-kapal Portugis di bawah pasukan Joao Pereira, Bernadim da Silva, and Fernando Pallares kalah telak.
Tiga kapten Portugis tewas dalam perlawanan. Armada Aceh datang membawa 113 kapal dan membunuh 75 pasukan Portugis. Lima diantaranya berhasil kabur dengan berenang.
Penguasa Aceh tidak pernah berkompromi dengan Portugis. Segala bentuk penyerangan diusahakan agar Portugis mengangkat kaki dari tanah Aceh. Turki turut membantu kerajaan Aceh kala itu, baik dengan mengirim pasukan atau perlengkapan perang.
Kota Banda Aceh pernah menjadi saksi kekuatan kerajaan Aceh. Jauh sebelum belanda, Bandar Aceh Darussalam menjadi basis kejayaan. Uang produksi kerajaan bahkan pernah ditemukan, berikut pedang dan beberapa peninggalan masa lampau.
Sebagaimana nama yang melekat, Banda Aceh sejatinya merupakan pusat pelabuhan perdagangan dunia. Selat malaka pernah berjaya di masa kerajaan Aceh. Kapal-kapal asing dipercaya membawa kekayaan ke Eropa.
Lada sicupak adalah simbol hubungan diplomatik Turki dan Aceh di masa lalu. Selat Malaka menjadi saksi bisu bagaimana Eropa 'merampas' hasil alam Aceh. Lada dan rempah Aceh.
"The existence of Aceh as a world pepper port is not an empty message. Aceh's pepper trade has achieved success that no other country or kingdom can match. Aceh was the main supplier of about half of Europe's pepper needs in the 1550s."Â [cited from:https://voi.id/]
Pelabuhan Aceh terbukti berhasil mentransformasi budaya Eropa. Setengah pasokan lada ke Eropa berasal dari Aceh. Abad ke 15 Aceh memainkan peran strategis dalam perdagangan laut.Â